Maqashid menurut Imam al-Syatibi (wafat th 790 H)
Thursday, 8 September 2016
SUDUT HUKUM | Ibrahim ibn Muahmmad
al-Gharanathi Abu Ishaq atau dikenal al-Syatibi menjadi masyhur karena dinilai
berhasil mensistematisasikan teori Maqashid al-syari’ah dalam karya
al-Muafaqat. Jika Imam Syafi’I dikenal pioner ilmu ushul fiqh, aristoteles
pioner ilmu logika, maka imam al-Syatibi merupakan pioner dalam ilmu Maqashid
al-syari’ah.
Dalam al-Muafaqot al-syatibi
mendefinisikan maslahat sebagai hal yang menunjang tegaknya hidup manusia yang
makmur sentosa, serta terpenuhi segala kebutuhan dasar manusia (akal dan
biologisnya) sehingga manusia di dunia dapat hidup layak. Maslahat dalam
pemikiran al-Syatibi pada intinya mengarah tegaknya pilar-pilar kehidupan,
bukan sebaliknya, yakni menghancurkan sendi-sendi kehidupan.
Terkait dengan persoalan
bercampurnya antara maslahat dan mafsadat, al-Syatibi memiliki penjelasan yang
menarik. Jika maslahat dapat mengalahkan mafsadat, maka wajib bagi agama untuk mendorongnya,
sebaliknya jika mafsadat bisa mengalahkan maslahat, maka wajib bagi agama
unntuk melarangnya. Bagi imam al-syatibi, maslahat dari agama tidak mentolelir
mafsadat sekecil apapun.
Al-syatibi membagi maslahat
menjadi dua: pertama, Maqashid al Syar’i atau Maqashid al-syari’ah;
kedua Maqashid Mukallaf. Pada Maqashid al-Syar’i, al-Syatibi
membaginya menjadi empat: pertama, tujuan Maqashid al-syariah kedua,
cara memahami Maqashid al-syari’ah ketiga, pembebanan Maqashid
al-Syari’ah untuk mukallaf dan keempat, mukallaf masuk ketentuan dalam
hukum syari’ah.
Pertama, tujuan Maqashid
al-syari’ah menurut al-Syatibi untuk melindungi tiga kategori hak manusia: dharuriyyat,
hajiyayyat dan tahsiniyyat.
Telah diketahui sejak al-Ghazali istilah-istilah tersebut sebenarnya telah dipakai dikalangan ulama ushul. Namun baru di tangan al-syatibi terminologi tersebut mendapat penjelasan yang terang mengenai batasan dan cakupanya. Inilah yang menurut banyak pemikir seebagai capaian al-Syatibi yang sangat penting.
Dharuriyyat terdiri atas segala sesuatu yang mendasar dan esensial terjaganya kepentingan dunia dan akhirat. Dharuriyat adlah segala sesuatu yang apabila tidak tersedia akan menyebabkan rusaknya kehidupan.
Telah diketahui sejak al-Ghazali istilah-istilah tersebut sebenarnya telah dipakai dikalangan ulama ushul. Namun baru di tangan al-syatibi terminologi tersebut mendapat penjelasan yang terang mengenai batasan dan cakupanya. Inilah yang menurut banyak pemikir seebagai capaian al-Syatibi yang sangat penting.
Dharuriyyat terdiri atas segala sesuatu yang mendasar dan esensial terjaganya kepentingan dunia dan akhirat. Dharuriyat adlah segala sesuatu yang apabila tidak tersedia akan menyebabkan rusaknya kehidupan.
Ini terkait dengan empat hal:
ibadah, adat, muamalat dan jinayat. Ibadah mengacu mempertahankan agama, adat
mengacu kepada perlindungan jiwa dan akal misalnya makan, minum, pakaian dan tempat
tinggal. Muamalat mengacu kepada perlindungan keturunan dan harta, juga
perlindungan terhadap akal.
Sedangkan jinayat mengacu kepada
amar ma’ruf nahi mungkar. Hajiyyat berada sedikit di bawah level dharuriyyat,
yaitu segala sesuatu yang sangat penting bagi pelindungan hak yang dimaksud,
tapi tidak sedemikian darurat. Berbeda dengan dharuriyat, jika hajiyat tidak terpenuhi,
maka hak tersebut masih bisa terlindungi, kendatipun sangat lemah.
Hajiyyat juga berlaku pada
Ibadah, Jinayat , adat dan muamalah, ibadah seperti dispensasi bagi orang sakit
yang tidak berpuasa dibulan romadhon adat seperti diperbolehkanya berburu dan
mengkonsumsi makanan yang halal. Muamalat, seperti jual beli, penanaman modal
dan semacamnya. Jinayat; mengenakan denda bagi pembunuh yang berakal.
Tahsiniyyat adlah hal-hal yang
tidak bisa mendesak dan tidak sangat penting bagi perlindungan hak. Namun jika
terpenuhi tahsiniyat akan menyempurnakan hak-hak yang lain.