Maqashid menurut Imam Ibn Asyur (wafat th 1973)
Wednesday, 7 September 2016
SUDUT HUKUM | Upaya membumikan maqashid
syariah dalam hukum Islam kembali di tegaskan Thahir ibn
Asyur dalam maqashid al-syariah al Islamiyyah. Meski tidak
terlalu tebal namun buku ini sangat penting. Al-Asyur membahas sisi-sisi Maqashid
Al-syariah Islam yang harus di perhatikan dalam setiap upaya
tasyri’ hukum, khususnya dalam persoalan keseharian atau di kenal dengan
istilah fiqh muamalat.
Asyur menegaskan bahwa tasyri
hukum islam yang sesuai dengan Maqhasid Islam bertujuan
menujukan keagungan syariah Islam itu sendiri; bahwa islam sejatinya
turut menjaga tegaknya maslahat dan mencegah kemudharatan. Lebih dari
itu, yang lebih penting tasyri hukum Islam berperan dalam menciptakan
keteraturan dan perbaikan di masyarakat.
Karena fokus buku ini menjelaskan
nilai maqashid dalam hukum islam, Asyur tidak banyak
mengulang penjelasan atau definisi maqashid syariah. Baginya, maqashid
syariah itu sangat jelas dan dapat di retas melalui al-Quran dan hadist
sahih. Menurutnya, hukum-hukum tasyri Islam memiliki alasan dan
kebajikan yang kembali kepada kemaslahatan secara umum.
Asyur membagi pembahasan bukunya
dalam tiga bab: pertama, mengenai ketentuan Maqashid
Islam; kedua, Maqashid tasyri umum atau Maqashid tasyri
am;
ketiga, maqashid khusus dalam fiqh muamalat. Dalam pembahasan mengenai
ketentuan Maqashid al-syariah, Asyur menjelaskan bahwa syariah selalu mengandung
maqashid di bali ketentuan dan penerapanya.
Menurutnya, ada tiga cara melacak
Maqashid al-syariah di balik upaya tasyri’ hukum Islam.
Pertama, mengetahui setiap penyebab atau ilat di balik pemberlakuan hukum,
misalnya larangan menjual hasil tanaman yang masih ada di dalam tanah,
penyebab larangan tersebut karena barang yang di perjualkan tidak jelas,
jadi maksud ‘illat di haramkanya jual beli tersebut karena ketidak tahuan
atau al-jahl; kedua, merujuk pada dalil al-Quran yang jelas, seperti perintah
puasa (QS. Al-baqarah:183), perintah ini sangat jelas dan wajib di
lakukan; ketiga, merujuk pada hadist mutawatir dan hadist ahad yang
terpercaya.[1]
Pada pembahasan Maqashid umum,
Asyur bermaksud menjelaskan nilai-nilai dan
hikmah implisit yang terdapat pada setiap tasyri’ Islam. Menurutnya, sifat Maqashid
syariah memiliki dua nilai: nilai hakiki dan nilai adat.
Pandangan Asyur ini jika di retas kebelakang di pengaruhi oleh imam Izzuddin ibn
Abd al-Aslam.
Pertama, nilai hakiki, yaitu
nilai hakiki pada dirinya sendiri yang dapat diketahui lewat akal sehat,
nilai ini mendatangkan manfaat atau menghindari kemudharatan yang dapat
diketahui secara umum tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan
budaya atau adat lokal suatu masyarakat, seperti nilai berlaku
adil, mengecam pelaku dhalim yang mendatangkan kemungkaran dan lain
sebagainya. Kedua, nilai adat, yaitu nilai yang dibentuk oleh
masyarakat yang menjadi kebaikan dan sesuai
dengan kemaslahatanya seperti
berlaku baik kepada orang lain, hukuman bagi prilaku kriminal dan lain
sebagainya.
Asyur melihat bahwa ketentuan
maqashid tasyri’ hukum Islam baru mengedepankan nilai hakiki
terlebih dahulu, kemudian nilai tersebut di kombinasikan dengan nilai adat
yang merupakan hasil negosiasi dengan pengalaman masyarakat itu
sendiri. Nilai hakiki adalah sesuatu universal yang berdiri di luar,
atau disebut aspek eksternal, sedang nilai adat tersebut adalah nilai yang
menyatu dalam diri masyarakat, atau disebut aspek internal.
Bangunan maqashid syariah menurut
Asyur di landaskan pada Islam sebagai agama fitrah.[2] Pandngan ini
merujuk pada surat (QS. Al-Rum:30) Fitrah dalam redaksi ayat
tersebut bermakna”ciptaan” (alkhalqah), yaitu karakter ciptaan manusia
yang memiliki dimensi dhahir dan batin atau badan dan akal
(aktifitas jiwa). Maqashid syariah Islam yang berlandasan pada fitrah
harus memenuhi kemaslahatan baik yang berhubungan dengan kepentingan
dhahir maupun batin manusia.
Sebagai ilustrasi menjelaskan
fitrah, berikut adalah pengandainya: fungsi kaki pada manusia di
gunakan unuk berjalan, jika kaki yang melekat pada badan kita digunakan
untuk menendang orang tidak bersalah maka kaki telah
menyalahi fungsi fitrahnya. Termasuk dari fitrah akal adalah berfikir tentang
sebab akibat, jika hasil penalaran atau kesimpulan diselewengkan atau di
ambil dari suatu yang bukan menjadi penyebabnya, maka kesimpulan
tersebut mengingkari fitrah akal. Itulah yang disebut fitrah sebagai
ciptaan Allah yang tidak dapat dirubah, fithratah
al-llah latabdila li-khalq-i llah.
Di antara aspek umum dari maqashid
syariah menurut Asyur adalah sifatnya yang luwes dan
toleran (samahah). Toleran dimaksudkan syariah harus adil, tidak jatuh
di ekstrim kiri(ifrath) dan ekstrim kanan (tafrith), alias tidak
mempermudah atau mempersulit. Inilah maksud dari ayat al-Quran yang menyebut umat
nabi Muhammad sebagai umat penengah (QS. Al-baqarah:143).
Peranan sebagai umat penengah kemudian ditekankan dalam sebuah
hadist masyhur: khair al-umur awsathuha atau
sebaik-baiknya perkara adalah yang paling tengah.
Dalil toleran dikuatkan bahwa Allah
lebih menghendaki kemudahan daripada mempersulit
(QS al-baqarah: 178), kemudian ayat yang menjelaskan agama di
turunkan tidak memberikan jalan rumit (QS al-Haj:78), di ayat lain Allah
mengatakan tidak akan membebankan sesuatu yang tidak mampu dipikul
hambaNya (QS al-baqarah:286), dan lain sebagainya. Diriwayatkan
dari ibn Abbas: pernah suatu ketika nabi berkata agama yang di cintai
Allah adalah sikap lurus dan toleran (alhafiyyah al-samhah).
Berdasarkan pada ayat-ayat
al-Quran dan hadist nabi, tujuan umum maqashid syariah Islam
menurut Asyur adalah untuk menjaga keteraturan sosial.[3] Jalan yang di
tempuh dengan membina manusia yang utuh. Oleh karenanya dakwah dalam
Islam pertama-tama adalah membenani aspek keyakinan (akidah
tawhid) yang pada intinya hendak mengajarkan tata cara berfikir
secara benar.
Ajaran tauhid yang mengajarkan
beriman kepada Allah dimaksudkan agar manusia mampu
berfikir dengan benar, sebagai konsekuensinya manusia yang mampu
berfikir dengan benar dan lurus itu
selanjutnya dapat mengerti
kondisi lingkungan sekitarnya, mengerti kemaslahatan hidupnya di dunia.
Selain membenahi aspek berfikirnya, Islam juga memperhatikan batin
dengan menyuruh manusia
membersihkan jiwa, karena jiwa
yang bersih mampu mendorong manusia melakukan kebaikan.
Mengenai pembagian maslahat,
rupanya Asyur memiliki kesamaan dengan pembagian
maslahat menurut al-Syatibi. Dilihat dari dampaknya di masyarakat, maslahat
dapat dibagi menjadi tiga: hak
primer, hak sekunder dan hak
suplementer. dilihat dari aspek cakupanya dapat dibagi menjadi dua: kulliyah
(universal) dan juziyyah (partikuler). Dilihat dari kebutuhan bagi
tegaknya urusan di masyarakat dapat di bagi menjadi tiga: pasti,tidak pasti
dan khayalan.
Menurut Asyur, syariat Islam
datang untuk semua umat manusia sebagai penutup semua syariat
yang di bawa para nabi sebelum nabi Muhammad (QS. As-Saba’:28), (QS.
Al-Araf:158) (Asyur,2006:86). Nabi Muhammad saw sendiri dalam sebuah
hadist mengatakan: aku telah di beri lima hal yang tidak diberikan
kepada semua rasul, kemudian Nabi melanjutkan, semua para rasul
diutus khusus untuk umatnya saja, sedangkan aku (Muhammad) di utus
untuk semua manusia.
Inti Maqashid syari’ah Asyur
bertumpuh pada konsep fitrah manusia. Bahwa tujuan hukum harus
dapat memenuhi maslahat jiwa dan badan, aspek dhahir dan batin.
Dan tujuan hukum Islam harus sesuai dengan maksud dan syari’ah Islam
itu sendiri, syari’ah yang mengedepankan aspek toleran (al-samahah),
persamaan (al-musawah) dan persaudaraan (Al-Uakhuwwah).
Tidak kalah penting, Maqashid al-syari’ah harus mengubah kehidupan hidup
manusia menjadi lebih baik sehingga maksud syari’ah Islam yang mulia
itu dapat dirasakan oleh semua manusia.
[1] Muhammad ath-Thahir bin al-Asyur
, Maqashid asy-Syariah al-Islamiyyah (Kairo: Dar as-Salam, 2006) Cet I
Hal.16-19
[2] Ibid,. Hal .54
[3] Ibid,. Hal -60.