Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana
Friday, 30 September 2016
SUDUT HUKUM | Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan untuk:
- Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
- Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah ditentukan.
- Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang melanggar larangan tersebut.
Menurut Suharto (1996: 3), hukum pidana adalah hasil dari jawaban atas pertanyaan apa, siapa, dan bagaimana orang itu dipidana. Apa yang dimaksud disini mengenai perbuatan seperti apa yang dilarang dan sanksi apa yang diberikan oleh undang-undang, siapa dimaksudkan mengenai pertanggungjawaban seseorang, sedangkan bagaimana orang itu dipidana dimaksudkan mengenai prosedur pelaksanaan dari ketentuan undang-undang tersebut.
Jawaban atas tiga pertanyaan diatas menghasilkan dua jenis hukum, yaitu hukum pidana materiel dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiel tercakup dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan hukum pidana formil tercakup dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Berdasarkan rumusan pengertian-pengertian hukum pidana tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berdiri sendiri yang berlaku disuatu negara;
- Hukum pidana mengatur dan menentukan mengenai perbuatan pidana atau tindak pidana atau sanksi pidana bagi perbuatan itu (termuat dalam KUHP);
- Hukum pidana mengatur dan menentukan mengenai pertanggungjawaban pidana (termuat dalam KUHP);
- Hukum pidana mengatur dan menentukan tentang bagaimana cara atu prosedur untuk menuntut kemuka pengadilan bagi pelaku atau pembuat yang disangka melakukan tindak pidana (termuat dalam KUHP).
Perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana (delik) menurut wujud atau sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki hukum. Dalam penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana, kita menganut asas yang dinamakan asas legalitas (Principle of Legality), yakni asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang sebelum seseorang dapat dituntut untuk dipidana karena perbuatannya (asas ini terdapat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP).
Seseorang dapat dinyatakan mempunyai kesalahan apabila menurut konstruksi yuridis telah nyata-nyata terlebih dahulu melakukan tindak pidana dengan elemen pokok bersifat melawan hukum dan mampu bertanggung jawab, atau mempunyai bentuk kesengajaan maupun kealpaan dan tidak adanya alasan pemaaf.
Rumusan suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang terdapat dalam perundang-undangan, yaitu:
- Dengan cara menentukan unsur
Rumusan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP khususnya dalam Buku II adalah mengandung maksud agar diketahui dengan jelas bentuk tindak pidana apa yang dilarang. Untuk mengetahui maksud rumusan tersebut perlu ditentukan unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan tindak pidana itu.
- Dengan cara menurut pengetahuan dan praktek pengadilan
Apabila rumusan pasal tindak pidana tidak memungkinkan ditentukan unsurunsurnya, maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan kepada ilmu pengetahuan dan praktek pengadilan.
- Dengan cara menentukan kualifikasi
Adalah dengan mengkaji hakikat dari tindak pidana tersebut (Suharto, 1996: 33-34)
Menurut Suharto (1996: 27-28), dalam mempelajari hukum pidana dikenal pula tingkatan dalam ilmu hukum pidana, yaitu:
1. Tingkat Pertama adalah Interprestasi
Interprestasi bertujuan untuk mengetahui pengertian objektif dari apa yang termaktub di dalam aturan hukum, bukan pengertian subjektif seperti yang dimaksud oleh pembentuk aturan pada waktu peraturan itu dibuat. Dengan pengertian objektif artinya ilmu itu dapat berkembang mengikuti perkembangan dan kemajuan ilmu di dalam masyarakat.
2. Tingkat Kedua adalah Konstruksi
Setiap tindak pidana dirumuskan dengan satu peraturan yang terbentuk bangunan yuridis yang terdiri dari unsur-unsur tertentu dengan tujuan agar apa yang tercantum dalam bentukan atau bangunan itu merupakan pengertian dan batas-batas yang jelas untuk membedakan antara bangunan yuridis yang satu dengan yang lain.
3. Tingkat Kedua adalah Sistematik
Sistematik adalah suatu sistem dalam bagian hukum pada khususnya atau hukum pada umumnya. Dengan mengerti akan makna objektif dari hukum pidana yang berlaku, maka dalam mempergunakan hukum bagi para penegak hukum tidak boleh hanya tahu akan adanya aturan aturan hukum, tetapi tahu akan maksudnya, baik terhadap suatu aturan khusus, maupun dalam rangkaiannya dengan aturan-aturan lain yang merupakan suatu bentuk hukum tertentu dengan dengan tujuan tertentu pula (Suharto, 1996: 27-28)