Tujuan pemidanaan
Friday, 30 September 2016
SUDUT HUKUM | Menurut Sudarto, tujuan
pemidanaan pada hakikatnya merupakan tujuan umum negara. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka politik hukum adalah berarti usaha untuk mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu dan
untuk sama-sama yang akan datang. Lebih lanjut Sudarto mengemukakan
bahwa tujuan pemidanaan adalah:
- Untuk menakut-nakuti agar orang agar jangan sampai melakukan kejahatan orang banyak (general preventie) maupun menakut-nakuti orang tertentu orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventie);
- Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat;
- Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan penduduk, yakni:
- Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna
- Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Romli Atmasasmita, mengemukakan, jika dikaitkan dengan teori restributif
tujuan pemidanaan adalah:
- Dengan pemidanaan maka si korban akan merasa puas, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya maupun keluarganya. Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe restributif ini disebut vindicative.
- Dengan pemidanaan akan memberikan peringatan pada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak sah atau tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe restributif ini disebut fairness.
- Pemidanaan dimaksudkan untk menunjukkan adanya kesebandingan antara apa yang disebut dengan the grafity of the offence dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe restributif ini disebut dengan proportionality.
Termasuk ke
dalam ketegori the grafity ini adalah kekejaman dari kejahatannya atau
dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada dalam kejahatannya baik yang
dilakukan dengan sengaja maupun karena kelalainnya.[1]
Menentukan
tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang dilematis, terutama dalam menentukan
apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang
terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana sebagai pencegahan
tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan
tersebut jika tidak berhasil dilakukan, memerlukan formulasi baru dalam sistem
atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberpa tujuan
yang bisa dikasifikasikan berdaarkan teori-teori tentang pemidanaan.
Baca Juga
Perkembangan
teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang surut dalam perkembangannya.
Teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah dikritik karena didasarkan
pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan. Maka pada tahun
1970 telah terdengar tekanan-tekanan bahwa treatment terhadap
rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate sentence tidak diberikan
dengan tepat tanpa garis-garis pedoman.[2]
Dalam
menetapkan tujuan pemidanaan Sholehuddin, mengemukakan bahwa untuk
menciptakan sinkroniasi yang bersifat fisik dalam tujuan pemidanaan harus
diperhatikan adanya 3 (tiga) faktor, yaitu : Sinkronisasi struktural (structural
synchronizaton), Sinkronisasi substansial (subtansial synchronizaton), dan
Sinkrinosasi kultural (cultural synchronizaton).[3]
Menurut Romli
Atmasasmita, ada 4 (empat) tujuan pemidanaan yang tercermin dalam Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu:
Pandangan social defence, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana, pandangan hukum adat dan tujuan yang bersifat spriritual berlandaskan Pancasila. Menurutnya dari keempat tujuan pemidanaan tersebut dipertegas kembali dengan mencantumkan Pasal 50 ayat (2) ang menyebutkan, pemidanan tidak dimaksudkan utuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia”.[4]
Menurut Muladi,
dalam tujuan pemidanaan dikenal istilah restorative justice model
yang mempunyai beberapa karakteritik, yaitu:
- Kajahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;
- Titik perhatian pada pencegahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan;
- Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
- Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;
- Keadilan dirumuskan sebagai hubungan- hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;
- Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
- Masyarakat memerlukan fasilitator di dalam proses restoratif;
- Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun dalam penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab;
- Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
- Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial, dan ekonomis;
- Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
[1] Romli
Atmasasmita, 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Mandar
Maju, Bandung. hlm. 83-84
[2] Sholehuddin,
2002. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan
Implementasinya. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hlm. 61
[3] Ibid.,
hlm. 119
[4] Romli
Atmasasmita, 1996. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta, Bandung. hlm. 90