Pengertian Sidik Jari
Thursday, 22 September 2016
SUDUT HUKUM | Sidik jari merupakan salah satu
identitas manusia yang tidak dapat diganti atau dirubah. Selain itu juga dari
sidik jari pula lah seseorang dapat dikenali. "Tidak ada manusia di dunia
ini yang mempunyai sidik jari yang sama". Ungkapan ini mengungkapkan bahwa
setiap manusia mempunyai sidik jari yang berbeda-beda. Sidik jari menjadi
kekhasan setiap manusia. Menurut Reinhard Hutagaol Sidik jari sebenarnya
'adalah kulit yang menebal dan menipis membentuk suatu "punggungan"
pada telapak jari yang membentuk suatu pola, sidik jari tidak akan hilang
sampai seorang meninggal dunia dan busuk, goresan-goresan atau luka biasanya
pada waktu kulit berganti akan membentuk pola yang sama, namun sidik jari dapat
rusak oleh karena kulit tesebut terkena luka bakar yang parah (Supardi,
2002: 18).
Sidik jari merupakan identitas
diri seseorang yang bersifat alamiah, tidak berubah, dan tidak sama pada setiap
orang. Sidik jari juga merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan
untuk mengidentifikasi seseorang. Dalam bidang kepolisian sidik jari dikenal
dengan sebutan laten. Sidik jari merupakan alat bukti yang sah yaitu sebagai
alat bukti keterangan ahli (sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) butir (b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana / KUHAP, yaitu dalam bentuk berita acara yang terdiri dari:
- berita acara pengambilan sidik jari disertai rumusan sidik jari,
- berita acara pemotretan, dan
- berita acara olah TKP.
Bahkan sidik
jari menjadi teknolgi yang dianggap cukup handal, karena terbukti relatif
akurat, aman, mudah, dan nyaman untuk dipakai sebagai identifikasi bila
dibandingkan dengan sistem biometri yang lainnya seperti retina mata/DNA (Deoxyribo
Nucleic Acid adalah jenis asam nukleat yang berisi perintah genetik yang
digunakan di dalam perkembangan dan berfungsi pada semua organisma dan virus).
Penerapan teknologi sidik jari ini tidak hanya pada sistem absensi pegawai
perusahaan, tetapi juga berkembang di bidang kedoteran forensik, yaitu proses visum
et repertum. Visum et repertum merupakan laporan tertulis dokter
untuk memberikan keterangan demi keperluan peradilan mengenai suatu hal yang
ditemukan atau diketahui. Salah satu tahap visum et repertum adalah
verifikasi sidik jari. Verifikasi ini dilakukan untuk mengetahui identifikasi
seseorang terhadap suatu masalah pidana, contohnya : kasus korban kecelakaan,
korban tenggelam, kasus tindak pidana pembunuhan, dan lain-lain.
M. Syamsa
Ardisasmita pada artikelnya yang berjudul ”Pengembangan Model Matematika untuk
Analisis Sistem ldentifikasi Jari otomatis”, menjelaskan bahwa :
Klasifikasi kategori sidik jari merupakan bagian penting dalam sistem pengidentifikasian individu di bagian kriminologi atau forensik. Pemanfaatan identifikasi sidik jari sudah semakin meluas sebagai bagian dari biometri. Biometri adalah cabang ilmu untuk mengidentifikasi individu berdasarkan sifat-sifat fisiknya. Sifat fisik harus bersifat unik yaitu dapat berupa pola garis-garis alur sidik jari, bentuk geometri tangan, kunci frekuensi suara, rincian ciri wajah, pola iris dan retina mata yang umumnya untuk setiap individu tidak sama. Jadi pola sidik jari merupakan salah satu identifikasi perorangan yang bersifat unik yang sudah lama digunakan dalam penyidikan kepolisian, sistem keamanan (forensics and security) dan sekarang untuk kontrol akses dan pemeriksaan kartu ATM. Sir Francis Galton (1892) adalah yang melakukan penelitian pertama mengenai keunikan sidik jari (minutiae)” (www.batan.go.id, diakses pada tanggal 12 April 2013, Pukul 15:20 WITA).
Pola pada
tangan dan sidik jari merupakan bagian dari cabang ilmu yang disebut dermatoglyphics.
Kata dermatoglyphics berasal dari kata yunani yaitu derma yang
berarti kulit dan glyphe berarti ukiran. Disiplin ilmu ini mengacu
kepada formasi garis-garis alur bubungan (ridge) yang terdapat pada
telapak tangan dan telapak kaki manusia. selama ini klasifikasi pola sidik jari
dilakukan secara manual oleh manusia yang diambil dari cap jari-jari tangan
pada kartu. Kini telah dibuat teknik klasifikasi sidik jari otomatis secara
digital, tetapi belum ada algoritma pendekatan yang dapat diandalkan. Biasanya
sebelum diklasifikasi dilakukan terlebih dahulu pra-klasifikasi yang tujuannya
adalah untuk meningkatkan kehandalan pencarian pada basis data yang besar.
Adanya klasifikasi dapat membantu mempercepat proses identifikasi dan pencarian
pada basis data sidik jari yang umumnya berjumlah besar.
Penempatan
sidik jari ke dalam beberapa kelompok kelas yang mempunyai pola dasar yang
serupa memungkinkan pengisian, penelusuran, dan pencocokan data sidik jari
dengan pemindaian yang cepat. Klasifikasi seperti ini dapat mengurangi ukuran
dari ruang pencarian, yaitu membatasi pencarian dengan hanya pada sidik jari
dalam kelas yang sama untuk identiflkasi.
Klasifikasi
sidik jari yang digunakan secara luas adalah sistem Henry dan variasi-variasinya
yang diperkenalkan oleh Edward Henry (1899). Metode klasik identifikasi sidik
jari yang selama ini digunakan, ternyata kurang sesuai untuk implementasi
langsung dalam bentuk algoritma komputer. Oleh karena itu perlu dikembangkan
model matematika untuk anafisis sistem identifikasi sidik jari otomatis
(AFIS / Automatic fingerprint identification systems).
Sebagian besar
sistem untuk identifikasi sidik jari didasarkan pada pencocokan minutiae yaitu
akhir atau percabangan garis alur sidik jari. Deteksi dari minutiae secara
otomatis merupakan suatu proses kritis, terutama jika citra sidik jari
berkualitas rendah dengan pola garis alur tidak jelas. Akibat noise dan
kurangnya kontras menyebabkan adanya konfigurasi titik-titik gambar yang
menyerupai minutiae palsu
(menutupi minutiae sebenarnya). Maka tujuan dari pemodelan sidik jari
ini ada 2 (dua) yaitu, pertama adalah untuk memahami penggambaran matematika
untuk membuat pola sidik jari tiruan, dan kedua dalam mengembangkan algoritma
baru yang lebih baik untuk sistem identifikasi sidik jari secara otomatis.