Pokok-Pokok Isi Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
Tuesday, 6 September 2016
SUDUT HUKUM | Undang-undang Zakat yaitu
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat
(selanjutnya disebut UUPZ) disahkan di Jakarta pada tanggal 23 September 1999
pada masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.
Inilah kali pertama dalam sejarah
pemerintah mengatur kaitan antara zakat yang dibayarkan masyarakat
sebagai pelaksanaan kewajiban beragama dengan pajak yang dibayarkan kepada
negara yang merupakan kewajiban kenegaraan bagi setiap warga
negara.
Sebagai landasan pertimbangannya
adalah bahwa Republik Indonesia yang menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya masing-masing serta
kepercayaannya itu; sehingga dalam penunaian zakat sebagai kewajiban
atas umat Islam Indonesia yang mampu.
Hasil pengumpulan zakat merupakan
sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa. zakat merupakan pranata keagamaan
untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan
memperhatikan masyarakat yang kurang mampu.
Undang-undang ini terdiri dari 10
Bab dan 25 Pasal yang disertai dengan penjelasan. Adapun
sistematika dari UUPZ adalah sebagai berikut:
1. Bab I Ketentuan Umum terdiri
dari 3 Pasal (Pasal 1, 2 dan 3).
Bab I ini mengatur tentang
pengertian-pengertian dari istilah yang dipakai dalam UUPZ, siapa yang
berkewajiban membayar zakat dan juga tentang tugas pemerintah berkaitan dengan
pengelolaan zakat.
2. Bab II terdiri dari 2 pasal
yaitu pasal 4 dan 5.
Bab II ini mengatur tentang asas
dan tujuan pengelolaan zakat.
3. Bab III mengatur tentang
Organisasi Pengelolaan Zakat.
Bab ini terdiri dari 5 pasal
(Pasal 6, 7, 8, 9 dan 10).
4. Bab IV terdiri dari 5 pasal
yaitu pasal 11, 12, 13, 14, dan 15. Bab IV ini mengatur tentang pengumpulan
zakat.
5. Bab V terdiri dari 2 pasal
yaitu pasal 16 dan 17.
Bab ini mengatur tentang
pendayagunaan zakat.
6. Bab VI adalah bab yang
mengatur tentang pengawasan.
Bab ini terdiri dari 3 pasal
(pasal 18, 19 dan 20).
7. Bab VII mengatur tentang
Sanksi.
Bab ini terdiri dari 1 pasal
yaitu pasal 21.
8. Bab VIII mengatur tentang
ketentuan-ketentuan lain dan terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 22 dan 23.
9. Bab IX mengatur tentang
ketentuan peralihan yang terdiri dari 1 pasal yaitu pasal 24.
10. Bab X adalah bab terakhir
dalam UUPZ yang mengatur tentang ketentuan penutup dan terdiri dari 1 pasal
yaitu pasal 25.
Patut disyukuri telah lahir
Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Ketentuan ini semakin mengokohkan eksistensi badan pengelola zakat, infaq dan
shadaqah (baca: BAZIS) di negara kita. Dengan adanya pengukuhan terhadap
lembaga ini diharapkan zakat bisa dikelola secara profesional sehingga
mampu memberikan output yang lebih jelas.
Ini sejalan dengan ayat yang
mengakui eksistensi amil (QS. 9: 60). Dalam ayat ini, Allah menggunakan
lafal jamak muzakkar salim (menggunakan subjek banyak) yang
berarti zakat dikelola oleh banyak orang atau secara kolektif.
Malahan posisi amil disebutkan setelah posisi fakir dan miskin yang sama-sama berhak menerima zakat. Artinya, Allah menginginkan agar penanganan zakat ini profesional dan butuh cost (biaya) yang bisa diambil dari zakat itu sendiri (2,5%).
Hanya saja masyarakat terkadang belum begitu menyadari pentingnya lembaga ini. Tak sedikit yang memilih langsung memberikan kepada fakir miskin. Sehingga tanpa disadari ikut menumbuhkan timbulnya rasa riya sebagai dewa penolong pada yang berzakat di satu sisi, dan di sisi lain melahirkan ketergantungan mustahik yang luar biasa pada muzakki. Kelompok mustahik hanya akan tetap jadi konsumen tanpa ada kemungkinan jadi muzakki. Sebab yang mereka peroleh biasanya juga bersifat konsumtif, dan bukan produktif.
Malahan posisi amil disebutkan setelah posisi fakir dan miskin yang sama-sama berhak menerima zakat. Artinya, Allah menginginkan agar penanganan zakat ini profesional dan butuh cost (biaya) yang bisa diambil dari zakat itu sendiri (2,5%).
Hanya saja masyarakat terkadang belum begitu menyadari pentingnya lembaga ini. Tak sedikit yang memilih langsung memberikan kepada fakir miskin. Sehingga tanpa disadari ikut menumbuhkan timbulnya rasa riya sebagai dewa penolong pada yang berzakat di satu sisi, dan di sisi lain melahirkan ketergantungan mustahik yang luar biasa pada muzakki. Kelompok mustahik hanya akan tetap jadi konsumen tanpa ada kemungkinan jadi muzakki. Sebab yang mereka peroleh biasanya juga bersifat konsumtif, dan bukan produktif.
Lain halnya kalau zakat, infaq
dan shadaqah ditangani secara profesional, maka akan lebih bisa
diberdayakan. Dana yang terkumpul bisa dialokasikan sebagai modal usaha.
Sehingga sekian tahun ke depan mustahik sudah berubah menjadi muzakki.
Khalifah Umar bin Khatab pernah
memberikan modal seekor unta berikut tepung dan minyak untuk
pengembangan bisnis kepada seorang wanita yang meminta tolong
kepadanya. Pada tahun berikutnya Umar masih menambahi modal perempuan
tersebut. Sampai pada akhirnya sang wanita bisa mandiri sekaligus berstatus
pemberi zakat. Oleh sebab itu, sangat besar harapan masyarakat akan kiprah Badan Amil Zakat yang
telah ada saat ini.