Sejarah Advokat
Thursday, 29 September 2016
SUDUT HUKUM | “Istilah advokat sudah ada sejak zaman Romawi.
Dimana jabatan atau profesinya disebut dengan nama Officium Nobile (profesi
yang mulia)”.[1] Para advokat pada saat itu mengabdikan kepada
masyarakat dan tidak hanya untuk dirinya sendiri, serta berkewajiban untuk
turut menegakkan hak asasi manusia, dan mereka menolong orang-orang yang terjebak
dengan hukum dan melanggar aturan tanpa mengharap menerima imbalan atau
honorarium.
Orientasi mereka banyak mengenai bantuan hukum terhadap orang
miskin. Pada zaman Romawi pemberian bantuan hukum oleh Patronus hanyalah
didorong oleh motivasi untuk mendapat pengaruh dalam masyarakat. Kala di
Indonesia dikenal dengan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma khususnya
kepada masyarakat miskin dan buta hukum. Pada zaman ini pemberian bantuan hukum
dari penguasa hanyalah didorong oleh motivasi untuk mendatangkan pengaruh dalam masyarakat.
Pertengahan zaman Romawi bantuan hukum mendapat motivasi baru sebagai
akibat pengaruh agama Kristen, dengan adanya advokat Gereja (kerkelijke
advocaten) yaitu advokat yang tugasnya memberikan segala macam
keberatan-keberatan dan atau nasehat-nasehat dalam suatu acara
pernyataan suci bagi seorang yang telah meninggal.[2]
Momen ini
memberikan motivasi kepada keinginan orang untuk berlomba-lomba memberikan
sesuatu dalam bentuk membantu si miskin, dengan itu pula tumbuh nilai-nilai kemuliaan (nobility) dan kesatrian (chivalry)
yang sangat diagungkan orang. Indonesia memiliki sejarah tentang advokat yang
terbagi atas 3 (tiga) zaman, (zaman pemerintahan Hindia Belanda,
zaman balatentara Jepang, dan zaman Republik Indonesia atau zaman
kemerdekaan).
Pertama, Zaman Hindia Belanda. Pada zaman ini para pihak yang berperkara diwajibkan untuk mewakili kepada
seorang prosureur yaitu seorang ahli hukum yang untuk itu mendapat
perizinan dari pemerintah. Kewajiban ini tertuang dalam pasal 106 (1) Reglement
of de Burgenlijke Rechtsvordering (B.Rv) bagi penggugat sedangkan untuk tergugat
dalam pasal 109 (B.Rv).
Zaman ini pula dikenal dengan adanya 2 (dua)
sistem peradilan. Pertama, hierarki peradilan untuk orang-orang Eropa yang
dipersamakan (Residentie gerecht, Raad van Justitie, dan
Hoge Rechtshof). Kedua, hierarki peradilan untuk orang-orang pribumi atau masyarakat Indonesia asli yang dipersamakan (District Gerecht
Regent Cheps Gerecht, dan Lanraad). Dalam
prakteknya orang-orang Belanda lebih diutamakan dari pada orang-orang Indonesia. Advokat terbatas
dalam memberikan bantuan hukum jika mereka bersedia, bersedia membela
orang-orang yang dituduh diantara hukuman mati dan atau hukuman seumur
hidup.
Keberadaan advokat ini sangat membatu dalam
proses beracara di Pengadilan kepada klienya, karena pada zaman
pemerintahan Hindia Belanda sangat sulit untuk menjadi seorang
advokat, diantaranya harus Doctor atau Mester
Inde Rechten, dan sudah magang selama 3 (tiga) tahun, itu pun juga harus lulusan dari
Universitas Negeri Belanda atau RHS di Jakarta, diangkat oleh Gubernur Jendral
dan lulus ujian mata kuliah Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum
Dagang, dan Hukum Tata Negara.
Advokat pada zaman Hindia Belanda ini sangat
mahal sehingga hanya orang-orang yang memiliki status tinggi
saja yang dapat mewakilkan perkaranya di Pengadilan, karena
kebanyakan orang pribumi sangat miskin karena selain merampas kekayaan
di Indonsia mereka juga memaksa orang Indonesia untuk bekerja membangun
infrastruktur bangunan maupun jalan agar mempermudah
transportasi mereka, padahal untuk beracara di Pengadilan harus benar-benar
orang yang tau tatacara serta memahami mengenai hukum, atau setidaknya
ada nasehat-nasehat yang diberikan kepada orang yang terjebak
dengan hukum karena melanggar peraturan yang ada.
Dalam beracara masalah pidana jika terdakwa
buta akan hukum dan tidak ada advokat yang membantunya untuk
memberikan pertolongan maupun nasehat-nasehat yang baik tentang hukum,
karena perkataan yang keluar dari terdakwa dapat menjadi bumerang
bagi dirinya dan memperberat hukumannya, begitu halnya dengan
beracara masalah perdata, seorang hakim sangat memerlukan
penjelasan-penjelasan yang berguna dan berfaedah dalam hukum, agar suatu
putusan yang dilakukan oleh hakim benar-benar tepat,perlu adanya
pengacara untuk menjelaskan semua itu, keberadaanya untuk meghindarkan
segala hal yang tidak berfaedah dan tidak berguna, karena dalam
beracara di Pegadilan butuh waktu, tenaga dan pikiran untuk dapat sampai
pada putusan hakim.
Legalisasi tentang advokat-prosureur ini
dalam zaman Pemerintahan Hindia Belanda atau Rechterlijke
Organisation (RO) yakni: S.1847 – 23 jo S.1848-57, dalam hal ini pada BAB VI
tentang, Advokat dan Pengacara, diantaranya pasal 185. Para advokat
sekaligus menjadi pengacara, sifat dan pemberi jasa dalam
pekerjaan yang bersangkutan dengan jasa, ditetapkan dengan peraturan
mengenai hukum acara perdata dan hukum acara pidana (R.v. 23, 28 dst.,S.v
101, 120, 180). “Menurut Adnan Buyung Nasution, bahwa advokat pertama
bangsa Indonesia adalah Mr. Besar Martokoesoemo yang baru membuka
kantornya di Tegal dan Semarang pada tahun 1923”.
Kedua, Zaman
Balatentara Jepang, zaman ini sangat berbeda dengan zaman Hindia Belanda, itu terlihat dengan
adanya pemberian hak sama kepada pribumi maupun orang-orang Belanda di
muka Pengadilan dimana sebelumnya adanya perbedaan perlakuan di
Pengadilan antara golongan Eropa dan golongan pribumi asli Indonesia,
karena terjadi pelegalan dengan munculnya Undang-undang No.1 Tanggal 7
Maret 1942, untuk Jawa Madura yang dilakukan Balatentara Jepang
yang bernama Dai Nippon.
Selain hal tersebut di atas tepatnya pada bulan
April 1942 terjadi sebuah pengaturan yang dilakukan oleh
Balatentara Jepang yaitu mengenai susunan dan kekuasaan pengadilan. Adapun
pengaturan tersebut mengenai Pengadilan tingkat satu atau pengadilan Negeri
yang disebut Tihoo Hooin dan untuk perkara tingkat kedua disebut Koo
Too Hooin. Mengenai asas kebebasan beracara bagi orang yang berperkara
di Pengadilan tidak boleh sendiri dan jika yang bersangkutan sedang sakit
dapat diwakili orang tua atau walinya.[3] Inti dari
asas tersebut yaitu tidak harus menggunakan jasa bantuan hukum dalam beracara di pengadilan dan
dapat pula diwakilkan, jika terdakwa benar-benar sakit atau tidak bisa
beracara di Pengadilan keberadaan ini berlanjut hingga tahun 1946,
sehingga kekuasaan Jepang telah merata di Indonesia.
Ketiga, zaman
Republik Indonesia atau zaman kemerdekaan, setelah kemerdekaan Republik Indonesia, kondisi
pengacara Indonesia sebagaimana ditemukan pada masa penjajahan
Belanda terus berlanjut akibat pilihan konstitusinya, yaitu pasal 2
aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa:
Segala Badan Negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”[4]
Secara otomatis produk hukum yang diberlakukan
tetap masih berlaku selama produk hukum tersebut belum ada
yang baru atau yang menggantikannya. Sejarah panjang pengacara
setelah Indonesia merdeka, pada masa demokrasi terpimpin, masa orde lama,
orde baru sampai sekarang eksistensi pengacara dalam sistem
hukum di Indonesia jelas dipengaruhi oleh idiologi kolonial yang
memperkecil ruang gerak bagi perkembangan pengacara Indonesia. Kemudian
secara nyata diakhir perkembangannya peran eksternal pengacara lebih
banyak digantikan oleh lembaga-lembaga bantuan hukum serta
organisasi-organisasi nonpemerintah yang bergerak dibidang hukum.[5]
Rujuka:
[1] Ari Yusuf Amir, Strategi Bisnis Jasa Advokat, Yogyakarta: cetakan III, Navila Idea, 2010. Hal.7
[2] Ibid, Hal. 2
[3] Ibid. Hal. 19
[4] Nur Laila Musfa’ah dkk, Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, Hal. 182
[5] Ibid. Hal. 190