Sejarah dan Perkembangan Dinar dan Dirham
Monday, 26 September 2016
SUDUT HUKUM | Uang dalam berbagai bentuknnya sebagai alat tukar perdagangan telah
dikenal sejak ribuan tahun yang lalu dalam sejarah Mesir kuno sekitar 4000 SM -
2000 SM. Dalam bentuknya yang lebih standar uang emas dan perak diperkenalkan
oleh Julius Caesar dari Romawi sekitar tahun 46 SM. Julius juga yang
memperkenalkan standar koversi dari uang emas ke perak dan sebaliknya dengan
perbandingan 12:1 untuk perak terhadap emas.
Standar Julius ini berlaku di belahan dunia Eropa selama sekitar
tahun 1250 sampai tahun 1204. Di dunia Islam, emas dan perak yang dikenal
dengan dinar dan dirham juga digunakan sejak awal Islam baik untuk kegiatan
muamalah maupun ibadah sampai kekhalifahan Turki Usmani tahun 1924 berakhir.
Standarisasi berat uang dinar dan dirham mengikuti hadist Rasululah SAW, ‘timbangan
adalah timbangan penduduk Makkah, dan takaran adalah takaran penduduk Madinah’.[1]
Pada zaman khalifah Umar Bin Khattab sekitar tahun 642 Masehi, bersamaan
dengan percetakan uang dirham pertama di Kekhalifahan, standar hubungan berat
antara uang emas dan perak dibakukan yaitu berat 7 dinar sama dengan berat 10
dirham sampai pertengahan abad ke-13 baik di Negeri Islam maupun Non Islam,
sejarah menunjukkan bahwa mata uang emas relatif yang standar tersebut
digunakan. Islam mulai merambah Eropa dengan berdiri kekhalifahan Usmaniyyah
dan tonggak sejarahnya tercapai pada tahun 1453 ketika Muhammad Al Fatih menaklukkan
Konstatinopel dan terjadilah penyatuan dari seluruh kekuasaan kekhalifahan
Utsmaniyah.
Pada puncak kejayaan kekhalifahan Utsmaniyah pada abad 16 dan 17
membentang mulai dari Selat Gibraltar di bagian barat sampai sebagian kepulauan
Nusantara di bagian timur, kemudian dari sebagian Austria, Slovakia, dan
Ukraina di bagian utara sampai Sudan serta Yaman di bagian selatan.[2]
Menurut pendapat Abdul Qodim Zallum dalam kitabnya Al Amwal Fi
Daulatil Khilafah, dinar dan dirham telah dikenal oleh orang Arab sebelum
Islam datang, karena aktivitas perdagangan yang mereka lakukan dengan
Negara-Negara di sekitarnya. Ketika pulang dari Syam, mereka membawa dinar emas
Romawi (Byzantium) dan dari Iraq mereka membawa dirham (Sassanid).
Kadang-kadang mereka membawa pula sedikit dirham himyar dari Yaman.[3]
Tetapi orang-orang Arab saat itu tidak menggunakan emas tersebut menurut
nilai nominalnya, melainkan menurut beratnya. Sebab mata uang yang ada hanya
dianggap sebagai kepingan emas dan perak. Orang arab tidak menganggapnya
sebagai mata uang yang dicetak, mengingat bentuk dan timbangan dirham yang
tidak sama dan karena kemungkinan terjadinya penyusutan berat akibat
peredaraannya. Oleh karena itu untuk mencegah terjadi penipuan, mereka lebih
suka menggunakan standar timbangan khusus yang telah dimiliki antara lain: auqiyah,
nasy, nuwah, mitsqal, dirham, daniq, qirath, dan habbah.
Setelah Islam datang, Rasulullah mengakui berbagai muamalat yang
berhubungan dengan Dinar Romawi dan Dirham Persia. Beliau juga mengakui standar
timbangan yang berlaku di kalangan kaum Qurays untuk menimbang berat dinar dan
dirham. Umat muslim terus menggunaakan Dinar Romawi dan Dirham Persia dalam
bentuk aslinya sepanjang hayat Rasulullah dan dilanjutkan masa kekhilafan Abu
Bakar Ash Siddiq dan awal kekhilafahan Umar Ibn Khattab. Pada masa Umar yang
tepat tahun ke-8 Umar menjabat khalifah, Umar mencetak uang dirham baru
berdasarkan pola dirham Persia. Berat, gambar, maupun tulisan bahlawinya tetap
ada, hanya ditambah dengan lafadz yang ditulis dengan huruf arab gaya kufi,
seperti lafadz bismillah dan bismillah rabbi yang terletak pada
tepian lingkaran.
Pada tahun 75 Hijriyah atau 695M Khalifah Abdul Malik Bin Marwan
mencetak dirham khusus yang bercorak Islam, dengan lafadzlafadz Islam yang
ditulis dengan huruf arab gaya kufi, pola dirham Persia tidak dipakai lagi. Dua
tahun kemudian Abdul Malik Bin Marwan mencetak dinar khusus yang bercorak islam
setelah meeninggalkan pola dinar Romawi, selain itu beliau juga menginstrusikan
untuk menghapus gambar-gambar manusia dan hewan pada dinar dan dirham untuk
diganti dengan lafad islam, lafadz islam yang tercetak misalnya kalimat Allahu
Ahad dan Allahu Baqq’, gambar manusia dan hewan tidak dipakai lagi, dinar
dan dirham pada satu sisinya diberi tulisan Laa Ilaaha Illallah, sedangkan
sisi sebaliknya terdapat tanggal percetakan dan nama khalifah yang sedang memerintah pada saat percetakan mata uang. Percetakan dinar
dan dirham yang belakangan memperkenalkan kalimat syahadat, shalawat Nabi
Muhammad, satu ayat Al Qur’an atau lafadz yang menggambarkan kebesaran ALLAH
SWT.[4]
Terobosan unik yaitu yang dilakukan gubernur Kuffah yang mencetak
uang dengan gaya kombinasi Persia dan Romawi. Pada tahun 72-74 H Bishri bin
Marwan mencetak mata uang yang disebut atawiyya. Sampai pada zaman ini
mata uang khalifah beredar bersama dinar Romawi dan dirham Persia serta sedikit
himyarite Yaman. Barulah pada zaman Abdul Malik (76 H) tempat percetakan dapat
terorganisasi dengan kontrol pemerintah yaitu dengan didirikannya tempat
percetakan di Dara’jarb, Suq Ahwaz, Sus, Jay, Manadar. Maysan, Ray, Abarqubadh.
[1] Muhaimin Iqbal, Dinar The Real Money: Dinar Emas, Uang Dan Investasiku, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 29-30.
[2] Ibid., hlm. 31.
[3] Ahmad Hasan, Op. Cit., hlm. 22.
[4] Muhammad Ismail Yusanto, et al. Dinar Emas Solusi Krisis Moneter, Jakarta Selatan: PIRAC, SEM Institute Infid, 2001.