Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah
Wednesday, 12 October 2016
SUDUT HUKUM | UU No 3 tahun 2006
tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama,
telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini
membawa implikasi besar terhadap perundang-undangan yang mengatur harta
benda, bisnis dan perdagangan secara luas.
Dalam penjelasan UU
No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang
Peradilan Agama pasal 49 (i) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi
syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah,
antara lain meliputi:
- Bank syariah,
- Lembaga keuangan mikro syari’ah,
- asuransi syari’ah,
- reasurasi syari’ah,
- reksadana syari’ah,
- obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
- ekuritas syariah,
- Pembiayaan syari’ah,
- Pegadaian syari’ah,
- dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan
- bisnis syari’ah Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah.
Dalam prakteknya,
sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis
di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH
Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), kitab
Undang-undang hukum sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di
tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan
dalam Hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek formalitas hukum di
masyarakat, tetapi yang berlaku adalah BW.
Secara historis,
norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang perikatan (transaksi)
ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik
Penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya,
Hindia Belanda. Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembaga-lembaga
keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW
(Burgerlijk Wetboek) yang sudah diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu
transaksi secara syariah tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan.
Urgensi Kodifikasi
Ketika wewenang
mengadili sengketa hukum ekonomi syariah menjadi wewenang absolut
hakim pengadilan agama, maka dibutuhkan adanya kodifikasi hukum ekonomi syariah
yang lengkap agar hukum ekonomi syariah memiliki kepastian hukum dan
para hakim memiliki rujukan standart dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa
di dalam bisnis syari’ah. Dalam bidang perkawinan, warisan dan waqaf, kita telah
memiliki KHI (Kompilasi Hukum Islam), sedangkan dalam bidang ekonomi
syariah kita belum memilikinya.
Kedudukan KHI secara
konstitusional, masih sangat lemah, karena keberadaannya
hanyalah sebagai inpres. Karena itu dibutuhkan suatu aturan hukum yang lebih kuat
yang dapat menjadi rujukan para hakim dalam memutuskan berbagai
persoalan hukum . Untuk itulah kita
perlu merumuskan Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam, sebagaimana yang
dibuat pemerintahan Turki Usmani bernama Al-Majallah Al-Ahkam al-’Adliyah
yang terdiri dari 1851 pasal.
Kodifikasi adalah
himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang atau hal penyusunan
kitab perundang-undangan Dalam sejarahnya, formulasi suatu hukum atau
peraturan dibuat secara tertulis yang disebut jus scriptum. Dalam perkembangan
selanjutnya lahirlah berbagai peraturan-peraturan dalam bentuk tertulis
tersebut yang disebut corpus juris. Setelah jumlah peraturan itu menjadi demikian
banyak, maka dibutuhkan sebuah kodifikasi hukum yang menghimpun berbagai
macam peraturan perundang-undangan. Para ahli hukum dan hakim pun
berupaya menguasai peraturan-peraturan itu dengan baik agar mereka bisa
menyelesaikan berbagai macam persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat
dengan penuh keadilan dan kemaslahatan.
Berdasarkan dasar
pemikiran itu, maka hukum ekonomi syariah yang berasal dari fikih
muamalah, yang telah dipraktekkan dalam aktifitas di lembaga keuangan syariah,
memerlukan wadah perundang-undangan agar memudahkan penerapannya dalam
kegiatan usaha di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut.
Dalam pengambilan
keputusan di Pengadilan dalam bidang ekonomi syariah dimungkinkan
adanya perbedaan pendapat. Untuk itulah diperlukan adanya kepastian
hukum sebagai dasar pengambilan keputusan di Pengadilan. Terlebih lagi dengan
karakteristik bidang muamalah yang bersifat “elastis dan terbuka” sangat
memungkinkan bervariasinya putusan-putusan tersebut nantinya yang sangat potensial
dapat menghalangi pemenuhan rasa keadilan. Dengan demikian lahirnya
Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah dalam sebuah Kitab-Undang-Undang Hukum
Perdata Islam menjadi sebuah keniscayaan.
Sebagaimana dimaklumi
bahwa formulasi materi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah tidak
terdapat dalam Yurisprudensi di lembaga-lembaga peradilan Indonesia.
Meskipun demikian, yurisprudensi dalam kasus yang sama bisa dirujuk
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip hukum ekonomi syariah. Artinya, keputusan
hukum masa lampau itu difikihkan, karena dinilai sesuai dengan syariah.
Jadi pekerjaan para
mujtahid ekonomi syariah Indonesia, bukan saja merumuskan hukum
ekonomi baru yang berasal dari norma-norma fikih/syariah, tetapi bagaimana bisa
memfikihkan hukum nasional yang telah ada. Hukum nasional yang
bersumber dari KUH Perdata (BW), kemungkinan besar banyak yang sesuai syariah,
maka materi dan keputusan hukumnya dalam bentuk yurusprudensi bisa
ditaqrir atau diadopsi.
KUH Perdata (BW) yang
mengambil masukan dari Code Civil Perancis ini dalam pembuatannya
mengambil pemikiran para pakar hukum Islam dari Mesir yang bermazhab
Maliki, sehingga tidak aneh apabila terdapat banyak kesamaan prinsip-prinsip dalam
KUH Perdata dengan ketentuan fikih Muamalah tersebut, seperti hibah, wadi’ah
dan lain-lain.
Selain itu,
yurisprudensi putusan ekonomi syariah, mungkin juga bisa dicari dari penerapan
hukum adat di dalam putusan pengadilan yang ada di negara kita yang sedikit
banyak telah diinspirasikan oleh ketentuan hukum Islam. Yang paling bagus adalah
merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam yang pernah dibuat di
zaman Kekhalifahan Turki Usmani yang disebut Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah” KUH
Perdata Islam ini dapat dikembangkan dan diperluas bahasannya
disesuaikan dengan perkembangan aktivitas perekonomian di zaman modern ini.
Selain itu,
penyusunan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah atau Hukum Perdata Islam, harus
menggunakan ilmu ushul fiqh dan qawa’id fiqh. Disiplin ini adalah metodologi
yurispridensi Islam yang mutlak diperlukan para mujtahid. Dengan demikian
maqashid syariah perlu menjadi landasan perumusan hukum. Metode istihsan, urf,
sadd zariah, dan pertimbangan-pertimbangan ‘kemaslahatan’ menjadi penting.
Dengan demikian, diharapkan, selain akan dapat memelihara dan menampung aspirasi
hukum serta keadilan masyarakat, Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah juga
akan mampu berperan sebagai perekayasa (social enginaring) masyarakat muslim Indonesia.