Kompetensi Peradilan Agama pada Masa Kemerdekaan
Wednesday, 12 October 2016
SUDUT HUKUM | Pengaruh teori receptie cukup besar hingga saat ini sesudah
indonesai merdeka. Kenyataan ini bisa terlihat dari sulitnya upaya-upaya
untuk mencoba mengakomodasi nilai-nilai islam dalam perundang-undangan. Memang
harus diakui dalam hal hukum perdata telah banyak kemajuan, misalnya
dalam pasal 10 undang-undang no. 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman, peradilan agama islam diakui keberadaannya setara dengan peradilan
umum, peradilan tata usaha negara, peradilan militer. Kemudian berlakunya
undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, undang-undang no 7 tahun 1989 yang telah diamandemen undang-undang no 3 tahun 2006 tentang
peradilan agama dan lain-lain. Belum lagi upaya-upaya pembaruan sistem
moneter yang bebas riba dengan perbankan syariah, asuransi takaful dll yang
diinformalkan dalam bentuk perundang-undangan.
Perubahan kebijakan ini sedikit banyak merupakan pengaruh receptio
a contrario yang dikembangkan sayuti thalib, pengajar utama hukum islam universitas indonesia dari teori exit. Hazairin yang
mengakui kembali hukum islam sebagai sistem yang berlaku sepenuhnya bagi umat islam dengan mengeluarkan hukum adat. Degna katalai hukum adat meteriilnya baru
terbatas pada hukum-hukum yang diatur dalam perundang-undangan. Teori ini
didukung oleh fakta sejarah berlakunya syariat islam di kerajaan-kerajaan
islam sebagai hukum yang berlaku sebelum kedatangan penjajah belanda seperti yang dikemukakan.
Pada tahun 1950 dalam konferensi departement kehakiman di salatiga, hazairin telah mengemukakansuatu analisis dan padangan agar hukum
islam itu berlaku di indonesia, tidak berdasarkan pada hukum adat. Berlakunya
hukum islam menurut hazairin, supaya didasarkan pada peraturan
perundang-undangan tersendiri. Pada bagian lain ia mengomentari pasal 29 UUD 1945 ayat
(1) sebagai berikut:[1]
- Dalam negara indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah islam bagi umat islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama nasrani bagi umat nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama hindu bagi orang-orang hindu bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama budha bagi orang budha.
- Negara republik indonesia wajib menjalankan syariat islam bagi orang islam, syaroat nasrani bagi orang nasrani, syariat hindu bagi orang hindu, syariat budha bagi orang budha. Sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara
- Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya, dan karena itu dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk yang agama bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadapa Allah SWT bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing.
M. Daud Ali mencoba menganalisis mengapa hukum islam yang berlaku di indonesia saat ini hanya dalam hukum muamalat saja, atau lebih
sempit lagi hukum keluarga, kewarisan, dan perwakafan. Ia memilah hukum islam
di indonesia menjadi dua:
Pertama, hukum islam yang berlaku secara yuridis formal, yaitu hukum islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan
benda yang disebut hukum muamalat. Bagian ini menjadi hukum positif
berdasarkan peraturan perundangan-undangan, seperti tentang perkawinan,
warisan, perwakafan, dan perbankan syariah. Kedua, hukum islam yang
bersidat normatif yang mempunyai sanksi. Yang terakhir ini dapat berupa ibadah murni
atau hukum pidana. Masalah pidana, menurutnya, belum memerlukan peraturan,
karena ini lebih tergantung pada kesadaran dan tingkat iman takwa muslimin
indonesia. Meskipun indonesia sudah merdeka sejak awal tahun 1945, dan
berlakunya pasal 29 ayat (1) UUD 1945, namun pandangan sebagian besar sarjana hukum
masih terpengaruh teori receptie.
Demikian pula sikap pemerintah terhadap umat islam tidak jauh
berbeda dengan doktrin politik snouck hurgronje mengenai perlakuan terhadap
islam yang disampaikan didepan civitas akademika Nederlandsch Indisch Bestuurs
Academie (NIBA) di delft tahun 1911. Pertama terhadap dogma dan perintah
hukum yang murni agama, hendaknya pemerintah bersikap netral. Kedua, msalah
perkawinan dan pembagian warisan dalam islam menuntut penghormatan. Ketiga,
tiada satupun bentuk (gerakan politik) pan-islam boleh diterima oleh
kekuasaan pemerintah. Pan-islam yang dimaksud adalah kesadaran umat islam
indonesia sebagai bagian umat islam sedunia yang bersatu dibawah pemerintahan
yang menjalankan syariat
islam secara kaffah.
[1]
Ismail
sunny ichtijanto, hukum islam di indonesia, perkembangan dan pembentukan, (bandung:
remaja rosdakarya, 1994), hal. 101.