Pengertian Gadai (Rahn)
Wednesday, 12 October 2016
SUDUT HUKUM | Transaksi hukum
gadai dalam fikih islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian
untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertian
ar-rahn dalam bahasa arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam (tulisan arab),
yang berarti “tetap”dan “kekal” , seperti dalam kalimat maun rahin (tulisan
arab), yang berarti air yang tenang.[1] Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT dalam
QS. Al-Muddatstsir (74) ayat 38 sebagai berikut:
Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.
Pengertian “tetap”
dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang
berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu,
secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat
materi sebagai pengikat utang”.[2]

Sedangkan
pengertian gadai (rahn) dalam hukum islam (syara’) adalah: Menjadikan suatu
barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang,
yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagaian utang dari barang
tersebut.[3]
Selain
pengertian diatas, dalam buku lain juga didefinisikan bahwa rahn adalah menahan
sesuatu yang memungkinkan pengambilan manfaat darinya atau menjadikan sesuatu
yang bernilai ekonomi pada pandangan syariah sebagai kepercayaan atas hutang
yang memungkinkan pengambilan hutang secara keseluruhan atau sebagaian dari barang
itu.[4] Menurut ta’rif yang lain dalam bukunya
Muhammad Syafi’i Antonio (1999, hlm. 213) dikemukakan sebagai berikut “menahan
salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya.
Barang yang
ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagai
piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan
hutang atau gadai.
Sedangkan
menurut Imam Abu Zakaria Al-Anshori dalam kitabnya Fathul wahhab mendefinisikan
rahn sebagai berikut : “menjadikan barang yang bersifat harta sebagai
kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkn dari harga benda itu utang
tidak dibayar”.[5] Selanjutnya Imam
taqiyyuddin Abu Bakar Al- Husaini dalam kitabnya Kifayatul Akhyar Fii Halii
Ghayati Al-ikhtisar berpendapat bahwa definisi rahn adalah : “Akad/perjanjian
utang piutang dengan menjadikan harta sebagai kepercayaan/penguat utang dan
yang memberii pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia
menuntuk haknya.” Lebih lanjut Imam Taqiyyuddin mengatakan bahwa barang barang
yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat dijualbelikan
, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan.
Selain
pengertian gadai dari para ahli hukum, penulis juga mengungkapkan pengertian
gadai menurut para ulama 4 madzab, yaitu sebagai berikut:
- Ulama Syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut:
Menjadikan suatu barang yang bisa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utanganya.
- Ulama Hanabillah mengungkapkan sebagai berikut:
Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya. Bila yang yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
- Ulama Malikiyah mendefinikan sebagai berikut:
Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
Berdasarkan
pengertian diatas , dari pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli hukum
islam diatas, penulis berpendapat bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang
jaminann yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis,
mengambil kembali seluruh atau sebagaian utangnya dari barang gadai dimaksud,
bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah
ditentukan.
Jika
memperhatikan pengertian gadai (rahn) diatas, maka tampak bahwa fungsi dari
akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam uang adalah
untuk memberiikan ketenangan bagi pemilik uang dan/ atau jaminan keamanan uang
yang dipinjamkan. Karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan
utang piutang yang murni berfungsi sosial, sehingga dalam buku fiqh muamalah
akad ini merupakan akad tabarru’ atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan.
[1] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatahu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2002), jilid 4, 4204.
[2] ibid
[3] Sayyid sabiq, Al-Fikqh As-Sunnah, (Beirut: DarAl-Fikr, 1995), jilid 3, 187.
[4] Tim pengenbangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, 2001, 73
[5] Syafi’i dalam Chuzaimah, 1997. 60