Kompetensi Peradilan Agama pada Masa Kerajaan Islam (1613-1882)
Tuesday, 11 October 2016
SUDUT HUKUM | Sejarah kompetensi peradilan agama di indonesia tidak dapt
dilepaskan dari pergumulan hukum islam dan dinamika politik hukum di
indonesia. Secara historis, ekstensi hukum islam di indonesia sesungguhnya berjalan
secara paralel dengan kehadiran islam di nusantara. Bahkan, sejak awal kehadiran
islam, hukum islam telah menyatu dengan denyut kehidupan masyarakat islam
nusantara. Premis dasar yang menopang argumen ini adalah behwa konsepsi hukum
islam merupakan bagian utuh dalam totalitas sistem ajaran islam yang
faktualnya tidak mungkin dapat dipisahkan dari agam islam itu sendiri.[1] Dalam pandangan antropologi hukum, di manapun terdapat masyarakat di dunia ini,
maka di situ pula terdapat hukum. Artinya, adalah rasional jika faktualnya
dimana umat islam, maka disitu terdapat hukum islam.[2]
Terkait dengan asal usul kehadiran islam di nusantara, para ahli
telah mengemukakan tiga teori besar yang kerap menjadi rujukan penting. Pertama islam datang ke nusantara berasal dari arabia. Pendapat ini didukung
oleh Hamka, Azyumardi Azra, dan Al-Attas. Kedua islam datang ke
nusantara berasal dari india atau gujarat. Teori ini dikemukakan oleh pinjapel, Snouck
Hurgronje, dan stutterheim. Ketiga, islam datang ke nusantara berasal dari
bengal atau bangladesh. Pendapat ini di kemukakan oleh Fatimi.
Penerimaan hukum islam sebagai norma hukum yang berlaku dalam masyarakat maka teori receptio in complexu sebagaimana
digagas oleh van den berg mencuat ke permukaan.[3] Sederhananya,
munculnya teori receptio in compexu yang
termuat dalam pasal 77 RR (Regeerings Reglement) sebagai alas politik hukum akomodatif atas hukum islam adalah sekaligus menjadi
bukti sejarah yang mempresentasikan betapa hukum islam di bumi nusantara
telah sungguh-sungguh menjadi living law, bukan saja dalam
kehidupan masyarakat secara kultural bersamaan dengan adat istiadat masing-masing suku,
melaikan secara legal-formal juga telah diakui berlakunya sebagai hukum
positif di lingkungan kesultanan di indonesia pada masa kerajaan di Indonesia.
Tak dapat dipungkiri bahwa pengaruh penting hukum islam telah melingkupi zona kerajaan di nusantara. Bahkan, dalam
perkembangannya hukum islam telah dijadikan sebagai rujukan bagi para raja (sultan) dalam
memutuskan perkara kendatipun belum ada hukum yang bertaraf nasional. Karena
faktualnya pelbagai kerajaan, baik besar maupun kecil, kerap diwarnai oleh
pelbagai pandangan budaya dan agama yang mempunyai ciri masing-masing.[4]
Di tengah realitas ini, “tradisi dialog” mengemuka menjadi media ke arah
trransformasi sosial-budaya guna menemukan solusi bersama. Terkait lembaga peradilan, penyelesaian perkara antara warga yang beragama islam dilaksanakan melalui lembaga tahkim kepada fiqih,
muballigh atau ulama yang dianggap mampu melaksanakan peradilan.[5]
Tradisi
takhim kepada muhakkam ini merupakan cikal bakal peradilan agama di
Indonesia dalam masa awal proses islamisasi di Indonesia. Ketika masyarakat islam
telah mampu mengatur tata kehidupannya sendiri, maka bentuk penyelesaian
perkara melalui lembaga tahkim berubah menjadi ahl al-halli wa al-aqdi yang
dikenal juga sebagai peradilan adat, seperti yang berlaku antara lain di
Sumatera Selatan,
Sumatera Barat, Aceh dan sebagainya.34terakhir sistem peradilan berubah menjadi sistem tauliyah, ini terjadi pada saat para raja memluk agama islam.
Sejak saat itu, jabatan hakim agama diangkat oleh sultan atau raja, seperti yang
dijumpai di daerah-daerah swapraja/pemerintahan pribumi (zelbestuurs gebeid).
Dalam sistem swapraja ini, jabatan keagamaan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari pemerintahan umum lainnya.
Secara historis, eksistensi lembaga peradilan agama di nusantara
pertama kali lahir di Jawa-Madura sejak adanya perkara hukum islam di
antara pemeluk agama islam, terutama menyangkut perkara dalam bidang perkawinan,
perceraian, kewarisan dan sebagainya. Sejak adanya tuntutan penyelesaian
perkara-perkara tersebut, mulai muncul aspirasi agar diselengarakan lembaga
Peradilan Agama dalam lingkungan masyarakat hukum yang bersanguktan.[6]
Sebenarnya sebelum islam datang ke indonesia, di indonesia telah
dijumpai dua macam peradila, yakni “Peradilan Pradata” dan “Peradilan Padu”
peradilan pradata mengurus masalah perkara yang menjadi urusan raja,
sedangkan peradilan padu mengurus masalah perkara yang tidak menjadi wewenang raja.
Pengadilan pradata bila diperhatikan dari segi materi hukumnya bersumber dari
hukum hindu yang terdapat dalam “Papakem” atau kitab hukum yang tertulis,
sementara pengadilan padu berdasarkan pada hukum indonesia asli yang tidak
tertulis.[7]
Perkara-perkara yang berhubungan dengan pengadilan pradata adalah
perkara yang terkait langsung dengan keamanan negara (stabilitas kerajaan),
keamanan dan ketertiban umum, penganiayaan, perampokan, dan pencurian.
Perkara dan pelanggaran dalam bentuk ini secara langsung raja yang memproses
dan memutuskan hukumnya. Sementara perkara yang berhubungan dengan
pengadilan padu adalah perkara yang berkaitan dengan masalah pribadi, seperti
perselisihan antara rakyat yang tidak dapat didamaikan di lingkungan
masing-masing.
Sistem pemerintahan yang memposisikan urusan agam sebagai bagian
dari pemerintahan umum antara lain dapat dijumpai pada kerajaan islam
Mataram. Jabatan keagamaan di tingkat desa disebut Kaum, Samo, Modin, Kayim,
Lebai dan sebagainya. Mereka biasanya senantiasa berdampingan dengan
kepala desa pada tingkat kecamatana atau kewedanaan, jabatan keagamaan dikenal
dengan sebutun penghulu naib, dan pada tingkat kabupaten disebut penghulu.
Pada pada tingkat pemerintah pusat kerajaan mataram, dikenal dengan sebutan
kanjeng penghulu atau penghulu ageng. Penghulu ageng dan penghulu kabupaten berfungsi sebagai sebagai hakim pada majelis pengadilan agama.
Fungsi dan jabatan itu, tetap berlaku sekalipun kekuasaan untuk mengangkat dan
pemberian wewenang itu diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda.
Sungguhpun demikian, tiada mengurangi legitimasi para penghulu/hakim dalam
melaksanakan tugas dan fungsi peradilan.
Berdiri dan berkembangnya peradilan agama serta kerelaan sikap penundukkan rakyat nusantara yang telah menyatakan diri memluk
agama islam terhadap hukum islam, khususnya dalam bidang al-ahwal
al-syakhsyiyyah (hukum keluarga), menunjukan lahirnya realitas baru, yakni
diterimanya normanorma sosial islam secara damai oleh sebagian besar penduduk nusantara.
Karena itu, tidak heran jika sementara pakar menyatakan bahwa hukum islam
di nusantara pada waktu itu tidak saja menggeser norma-norma sosial yang pernah
berlaku sebelumnya, bahkan
cenderung menghapuskannya.
[1] Muhammad Daud Ali, asas-asas hukum islam, (jakarta:rajawali press, 1990) hal. 202- 203.
[2] Ramli Hutabarat, kedudukan hukum islam dalam konstitusi-knstitusi indonesia dan perannya dalam pembinaan hukum nasional, (Jakarta: pusat studi hukum dan tata negara fakultas hukum universitas indonesia, 2005), hal. 19.
[3] Ahmad rofiq, pembaharuan hukum islam di indonesia, (yogyakarta: Gama media, 2001) hal. 58.
[4] Daniel S. Lev, hukum dan politik hukum di indonesia,(jakarta: intermasa,1988) hal 121-122.
[5] Abdul Manaf, refleksi beberapa materi cara beracara di lingkungan peradilan agama, (Bandung: CV mandar maju, 2008) hal. 4.
[6] Abdul Gani Abdulah, “lembaga peradilan agama sebelum tahun 1882” dalam pembimbing, tahun IV No.17, hal 16.
[7] Abdul Halim, peradilan agama dalam politik hukum di indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Hal. 40.