Latar Historis Kompetensi Peradilan Agama di Indonesia
Tuesday, 11 October 2016
SUDUT HUKUM | Dalam membicarakan perkembangan hukum islam di indonesia, pusat perhatian akan tertuju kepada kedudukan hukum islam dalam sistem
hukum indonesia. Sistem hukum indonesia adalah sistem hukum yang berlaku,
hukum islam itu sendiri merupakan subsitem hukum indonesia yang ada dan
berlaku. Sistem hukum indonesia adalah sistem hukum yang majemuk karena
berlaku berbagai sistem hukum, yaitu adat, islam, dan barat (kontinental).[1]
Ketiga sistem hukum tersebut sebagian dari sekurang-kurangnya lima sistem hukum besar di dunia, yaitu:[2]
- sistem common law, yang dianut di inggris dan bekas jajahannya, yang kini pada umumnya bergabung dalam negara-negara persemakmuran.
- Sistem civil law, berasal dari hukum romawi, yang dianut di eropa barat kontinental dan dibawa ke negeri-negeri jajahan/bekas jajahan oleh pemerintah kolonila barat dahulu
- Sistem hukum adat, di negara-negara asia dan afrika
- Sistem hukum islam, dianut oleh orang-orang islam dimanapun mereka berada, baik dinegara islam maupun negara negara lain yang penduduknya beragama islam di afrika utara, timur tengah, dan asia
- Sistem hukum komunis/sosialis, dilaksanakan di negara komunis/sosialis seperti uni soviet(rusia).
Kompetensi peradilan agama telah mengelami dinamika yang cukup
pelik serta mengarah pada pasang surut. Kendati tidak sampai dihapuskan,
namun lingkup yuridiksi peradilan agama kerap dibatasi pada
perkara-perkara keperdataan tertentu. Kenyataan ini sesungguhnya tidak terlepas
dari kehendak politik (political will) para penguasa pada masanya yang
tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh penguasa bersangkutan. Tidak
dapat dipungkiri bahwa faktor dinamika politik hukum dan kehendak politik
penguasa dari masa ke masa telah menggoreskan catatan penting bagi
eksistensi, kedudukan dan kewenangan peradilan agama di indonesia, yang dalam
kenyataannya tidak selalu berada dalam perjalanan yang relatif mulus.[3]
Secara historis-sosiologis, kompetensi peradilan agama pada
dasarnya sangat terpaut erat dengan pelaksanaan hukum islam sebagai hukum
yang hidup di masyarakat (living law). Sekalipun demikian, sejak munculnya
teori receptie produk Christian Snouck Hurgronje, komptensi peradilan agama pernah
dibatasi, tidak lagi menangani masalah waris karena dianggap belum menjadi
hukum adat. Berdasarkan pengaruh teori ini, komptensi peradilan agama hanya
diperkenankan untuk menangani masalah perceraian, nafkah, talaq, dan rujuk.[4]
Kompetensi peradilan agama di indonesia sesungguhnya sangat terkait
erat dengan persoalan kehidupan umat islam, karena ia menjadi sui
generis-nya. Namun, karena indonesia bukan negara islam, maka kompetensi
peradilan agama tidak menyangkut seluruh persoalan umat islam, melaikan hanya
terkait dengan persoalan umat islam, melaikan hanya terkait dengan persoalan hukum
keluarga ditambah beberapa persoalan muamalah. Kenyatan tersebut tidak dapat
dipisahkan dari persoalan politik penguasa dari masa ke masa. Karena latar
belakang historis itu, peradilan gama kerap memiliki konotasi sebagai peradilan
nikah, talak, dan rujuk saja.
Perubahan kompetensi mulai nampak dalam undang-undang no.1 tahun 1974, yang meliputi perceraian, penentuan keabsahan anak,
perwalian, penetapan asal usul anak, dan izin menikah. Tidak sebatas itu, komptensi
peradilan agam juga bertambah ketika keluar PP no. 28 tahun 1977 tentang
perwakafan tanah milik, terutama dalam ketentuan pasal 12 yang berbunyi “penyelesaia
perselisihan sepanjang menyangkut persoalan perwakafan tanah disalurkan melalui
pengadilan agama setempat dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Bahkan, pada tahun 1989, kompetensi peradilan agama kembali
mendapakan perluasan, tidak lagi sebatas masalah perkawinan, namun juga
masalah kewarisan, wasit, hibah, wakaf, dan shadaqah yang termaktub dalam pasal 49
undang-undang no. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. Kemunculan ini tidak saja
memberikan keluasan kompetensi, akan tetapi juga telah memberikan kemandirian
kepada peradilan agama sebagai pelaksana kekuasan kehakiman, sehingga
peradilan agam mulai mempunyai hukum acara sendiri, dapat melaksanakan putusannya
sendiri, mempunyai juru sita sendiri, serta mempunyai struktur dan perangkat
yang kuat berdasarkan undang-undang.
Akhirnya, setelah berjalan selama 15 tahun, undang-undang tentang peradilan agama no. 7 tahun 1989 diubah dengan undang-undang no. 3
tahun 2006 ini telah membawa perubahan besar bagi kompetensi peradilan
agama. Dalam undang-undang no 3 tahun 2006 tersebut, kompetensi peradilan
agama diperluas dengan memasukan beberapa bidang baru, antara lain ekonomi
syariah, sebagai salah satu bidang kompetensinya. Artinya, undang-undang no.
3 tahun 2006 ini menegaskan bahwa masalah ekonomi syariah telah menjadi
kompetensi absolut peradilan agama. Dalam skala yang lebih luas, perluasan
kompetensi peradilan agama sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut
merupakan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat
Indonesia,
khusunya masyarakat
muslim.
[1]
Dr. Hj.
Renny supriyatni B, SH, MH. Pengantar hukum islam, bandung: widya padjajaran,
2011, hal 82.
[2]
M. Daud
ali, hukum islam pengantar ilmu hukum dan tata hukum islam di indonesia,PT.
raja grafindo persada, jakarta, 1999, hlm, 187-188
[3]
Dr. H.
Hasbi Hasan ,MH, Kompetensi peradilan agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi
syariah, jakarta: gramata publishing, 2010, hal 9.
[4]
Dinyatakan
dalam pasal 2 staatsblad 1882 no.152 sebagaimana telah diubah dan disempurnakan
oleh staasblad 1937 no. 116 dan no. 610.