Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia
Tuesday, 11 October 2016
SUDUT HUKUM | Sifat keilmuan hukum islam tidak bisa dilepaskan dengan agama islam dimana ilmu hukum islam itu muncul dan bersumber. Pengkajian hukum
islam tidak bisa melepaskan diri dari pengkajian terhadap agama islam.
Hukum islam sebagai sistem hukum yang bersumber dari Dinul Islam merupakan
salah satu legal system yang eksis disamping legal system yang lain seperti romano germanic (civil law), common law, sosialist law. Steven Vago menulis
bahwa islamic law, …. Is not and independent branch of knowledge, law
is integral to islamic religion.[1]
Abdul
mutholib menulis bahwa: hakikat hukum islam ialah hukum agama, hukum islam tidak bisa dipisahkan dari agama islam.
Hukum islam ialah hukum samawi, artinya hukum agama yang menerima wahyu, yaitu
kitab suci Al-Qur’an, hukum islam mengatur hubungan pribadi, masyarakat,
negara, dan sebagainya, dan akhirnya juga mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.[2]
Perkembangan
syariah, hukum islam, sangat berarti dalam era new economy dunia
yang sedang memasuki budaya global dengan kemajuan teknologi informatika di satu sisi dan kebangkitan nasionalisme dan spritual
di sisi lain. Dalam era “Ekonomi Baru”, dan posisi hukum semakin diperlukan guna mengaturnya. Budaya global juga antara lain disemarakkan dengan
perkembangan “ekonomi islam” yang merupakan serangkaian “reaktualisasi” doktrin
islam tentang masalah ekonomi dalam wajah kekinian pengkajian hukum islam
di lingkungan akademis, khususnya di fakultas hukum bukan lah hal yang
baru, namun masih membutuhkan pemikiran untuk memperbaharui muatannya sehingga mampu menjawab problematika yang muncul.
Problematika yang muncul dalam bidang ideologi, politik, sosial budaya, hankam, ekonomi,
HAM, dan teknologi terkadang membutuhkan suatu suatu pencerahan dari
aspek hukum islam. Dalam tataran ideologi perdebatan di kalangan pemerhati
hukum islam muncul tatkala pencanangan asas tunggal, presiden wanita, parpol
berlebel agama dan sederet masalah politik, serta usulan amandemen pasal 29
Undang-Undang dasar tidak terlewatkan perdebatannya di antara pemerhati hukum
islam.
Perdebatan di arena politik muncul seiring dengan perkembangan
hukum islam.[3] Hukum islam secara garis besar mengenai dua macam sumber hukum, pertama sumber hukum yang bersifat “naqliy” dan sumber hukum yang
bersifat “aqliy”. Sumber hukum naqliy ialah Al-Quran dan Assunah,
sedangkan sumber hukum aqliy ialah hasil usaha menemukan hukum dengan
mengutamakan olah pikir dengan beragam metodenya. Kandungan hukum dalam Aq-Quran dan
hadis kadang kala bersifat prinsipiil yang general (zanni)
sehingga perlu interpretasi. Al-Quran dan hadis sebagai sumber ilmu syariah, degna bantuan ulum
al-quran dan ulumal-hadis, meliputi tiga hukum: Pertama, hukum yang menyangkut keyakinan orang dewasa (mukalaf). Kedua, hukum etika
(akhlak) yang mengatur bagaimana seharusnya orang itu berbuat kebaikan dan meninggalkan
kejelekan.
Ketiga, hukum-hukum
prektis (amaliyah) yang mengatur perbuatan, ucapan, perikatan, dan berbagai tindakan hukum seseorang. Hukum yang mengatur hubungan anatar manusia sebagai individu dengan individu lainnya
dalam hubungannya dalam perikatan, petukaran, dan kepemilikan harta dan
hubungan lain melahirkan hukum perdata (al-ahkam al-madaniyyah),
dalam aspek ini lahirlah hukum ekonomi islam.
Sumber hukum aqliy yang mengutamakan olah pikir ini terkait erat
dengan istilah “fiqh” dan perkembangan penerapan hukum islam di
berbagai kawasan dunia, tak terkecuali di indonesia. Sumbe hukum ini pulalah yang
juga berperan banyak dalam perbedaan pendapat di antara ahli hukum islam
menyangkut beragam aspek kehidupan dan menimbulkan mazhab-mazhab hukum islam.
Walaupun pada hakikatnya perbedaan mahzab itu disebabkan perbedaan ijhtihadushul fiqh:
perbedaan tekhnis pemahaman, kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dalam aspek politik, serta perbedaan kualitas serta
kapasitas intelektual pada masing-masing pendiri dan pengikutnya.[4] Perbedaan
mahzab-mahzab hukum islam, tidaklah mahzab-mahzab itu keluar dari syariat islam
selama mahzab-mahzab itu merujuk pada Al-Quran dan As-Sunnah dalam Ushul
Fiqihnya.[5]
Perbedaan pendapat dalam merumuskan hukum
disebabkan beberapa alasan. Alasan tersebut dapa disimpulkan pada satu alasan utama
yang dapat menampung alasan lainnya, yaitu perbedaan dalam memahami dalil syara’,
Al-Quran maupun hadis. Disamping itu, di antara ulama telah ada yang
punya pendapat sebelum menelaah dalil dan pencarian serta penelaahan dalil
kemudian hanya dalam rangka usaha mengutamakan pendapatnya. Situasi menjadi
terbalik, syariah yang pada dasarnya menjadi sumber dan penuntun dalam
merumuskan hukum, menjadi berfungsi sebagai penguat pendapat yang muncul. kondisi semacam ini muncul karena pengaruh politis yang dianutnya atau
karena adat istiadat yang mereka anggap dapat disesuaikan dengan hukum islam.
Hukum islam datang di bumi Indonesia (Nusantara) bersamaan dengan datangnya orang islam di bumi nusantara. Dari komunitas islam
berlanjut dengan muncul kerajaan-kerajaan islam dan berakibat munculnya badan
peradilan yang berdasakan hukum islam yang di antaranya memperoleh bentuk
ketatanegaraan dalam masa kesultanan islam itu. Pada masa penjajahan belanda,
pemerintah hindia-belanda mengakui secara formal keberadaan peradilan agama
dengan keputusan reja belanda nomor 24 tertanggal 19 january 1882 yang
dimuat dalam stb. 1881 nomor 152 yang dikenal dengan bepalingen betreffende
de priesterradden op java en madoera. Keputusan ini dinyatakan berlaku sejak 1 agustus 1882 yang termuat dalam stb, 1882 nomor 153, yang kemudian
di rubah dengan stb. 1937 nomor 116.
Pada tahun yang sama dikeluarkan ordonnantie yang mengatur peradilan agama di sebagian kalimantan timur yang
dimuat dalam stb. 1937 nomor 638 dan 639. Pada tahun 1957 dikeluarkan pp nomor
45 tahun 1957 tentang pembetukan pengadilan agama/mahkamah syariah di luar
jawa dan madura (lembaran negara 1957 nomor 99), kecuali daerah-daerah luar
jawa dan madura yang telah diatur dengan stb. 1937 nomor 638 dan 639. Dengan diundangkannya undang-undang no. 7 tahun 1989 tentang peradilan
agama ditegaskan bahwa agama merupakan peradilan khusus dengan kewenangan mengadili perkara perdata tertentu dan untuk golongan penduduk
tertentu pula.
Kompetensi absolut badan peradilan agama diatur dalam pasal 49
undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, yang telah diubah
dengan undangundang no 3 tahun2006 tentang perubahan atas undang-undang no 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, yakni untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
islam dibidang : perkawinan; kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum islam; wakaf dan sedekah dan ekonomi syariah. Hukum materiil
yang diterapkan di indonesia khususnya melalui pengadilan agama tidak
selamanya sama dengan apa yang diajarkan oleh para fukaha (ahli hukum islam
dalam literature klasik) karena terkadang berpedoman pada hukum positif
yang mengaturnya.
[1] Steven Vago, Law and Society, Prentice Hall, N.Y., 1994. Hal. 12.
[2] Abdul Mutholib, kedudukan hukum islam dewasa ini di Indonesia,(surabaya: bina ilmu, 1984), hal. 16.
[3] Abd Somad, hukum islam penormaan prinsip syariah dalam hukum Indonesia, (Jakarta: kencana, 2010), hal. 2.
[4] Muchtar Adam, perbandingan mahzab dalam islam dan permasalahannya, (bandung: remaja rosdakarya, 1991), hal.209.
[5] Juhaya S. Praja, pengantar hukum islam di Indonesia pemikiran dan praktek, (bandung: remaja rosdakarya, 1991), hal.5.