Pengakuan dalam Pembuktian
Saturday, 1 October 2016
SUDUT HUKUM | Alat bukti pengakuan dalam
hukum acara perdata adalah apabila pihak tergugat atau pihak lawan dalam
perkara dipersidangan telah mengakui adanya
suatu peristiwa hukum, umumnya tidak perlu adanya pembuktian. Namun, jika
ternyata dalam suatu perkara pengakuan seseorang terhadap hak kepemilikan atas
suatu benda baik bergerak maupun tidak bergerak dan terjadinya suatu peristiwa
hukum disangkal oleh pihak lawan, maka pihak yang disangkal tersebut harus
membuktikan adanya bukti hak kepemilikan atas bendanya dan bukti atau saksi
yang melihat dan mendengar terjadinya peristiwa hukum yang dilakukan oleh para pihak
yang sedang berperkara.[1]
Pengertian pengakuan yang
bernilai sebagai alat bukti menurut pasal 1925 KUH Perdata, pasal 174 HIR,
adalah:
- Pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara.
- Pernyataan atau keterangan itu dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan.
- Keterangan itu merupakan pengakuan, bahwa apa yang didalilkan atau yang dikemukakan pihak lawan benar untuk keseluruhan atau sebagian.[2]

Dalam perkara perdata, fungsi
hakim terbatas mencari kebenaran formil yaitu kebenaran tentang hal-hal yang
diminta para pihak kepadanya. Itulah sebabnya, apabila ada pengakuan yang
diberikan salah satu pihak tentang apa yang didalilkan, berarti para pihak
telah menyingkirkan hal yang diakui dari pemeriksaan dan pendapat hakim.
Berarti sepanjang yang diakui, tidak perlu dibuktikan lagi dengan alat bukti
lain. Oleh karena itu, pengakuan tersebut bukan alat bukti, tetapi merupakan
suatu keadaan yang membebaskan dari pembuktian tentang hal-hal atau dalil yang
diakui.[3]
Pengakuan yang diberikan
secara sukarela (voluntary) bukan dengan paksaan baik secara fisik dan psikis
harus dianggap selamanya benar. Tidak menjadi masalah apakah pengakuan itu
mengandung kebohongan, hakim mesti menerima dan menilainya sebagai pengakuan
yang berisi kebenaran. Yang paling berhak dan berkepentingan atas tindakan itu
adalah pihak yang memberikan pengakuan bukan hakim. Oleh karena itu, apabila
dia memberi pengakuan yang mengandung kebohongan, berarti yang bersangkutan
telah dengan seksama memperhitungkan segala akibat dan resiko yang timbul dari
pengakuan itu. Tetapi, dalam hal tertentu secara kasuistik, hakim berwenang
menilai apakah pengakuan itu benari atau bohong. Seperti contoh putusan MA No.
288 K/Sip/1973,[4] bahwa berdasarkan
yurisprudensi tetap tentang hukum pembuktian, khususnya mengenai pengakuan,
hakim berwenang menilai apakah pengakuan tersebut mengandung kebenaran atau
kebohongan.
Nilai kekuatan pembuktian
pengakuan yang dilakukan dalam persidangan menurut pasal 1925 KUH Perdata dan
pasal 174 HIR adalah;
- Daya mengikatnya, menjadi bukti yang memberatkan pihak yang melakukan pengakuan.
- Nilai kekuatan pembuktian yang sempurna kepada pihak yang melakukannya.
- Apabila pengakuan itu murni, kualitas nilai kekuatan pembuktian yang bersifat sempurna itu meliputi juga daya kekuatan mengikat (bindende) dan menentukan (beslissende).[5]
Pengakuan dalam perkara
perdata umumnya dipergunakan untuk mengetahui benar tidaknya kejadian atau
peristiwa hukum yang dilakukan oleh para pihak yang sedang berperkara. Jadi,
jelaslah sudah bahwa secara yuridis pengakuan dalam perkara perdata tidak sama
dengan pengakuan yang ada dalam pidana, disini terdapat perbedaan yang sangat
bertentangan dalam hal pengakuan dipakai sebagai alat bukti.
Perbedaannya adalah bahwa
dalam perkara perdata pengakuan tergugat terhadap gugatan penggugat dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang sah tentang adanya peristiwa hukum yang
dilakukan oleh para pihak sebelum terjadinya perkara, sedangkan dalam perkara
pidana pengakuan yang diberikan oleh terdakwa justru akan memberatkan orang
yang telah didakwa karena pengakuannya tentang tindak pidana yang telah
dilakukannya.[6]
Pengakuan
ada kalanya di depan sidang dan ada kalanya tidak di depan sidang. Pengakuan di
depan sidang adalah merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat, jadi pihak
lawan atau hakim tidak perlu membuktikan, lain lagi melainkan telah cukup untuk
memutus dalam bidang persengketaan yang telah diakui tersebut.[7]
Pengakuan
yang tidak di depan sidang, hakim bebas untuk menilai tidak mengikat dan bukan
alat bukti yang sempurna, kecuali kalau pengakuan di luar sidang dulunya itu
diulangi ucapannya di depan sidang, sekalipun pengakuan di luar sidang
dahulunya itu diberikan dimuka orang yang kini sebagai hakim yang menyidangkan
perkara.[8]
[1] Sarwono, Hukum Acara Perdata (Teori dan Praktik), (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 273.
[2][2] Ropaum Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 254.
[3] Yahya harahap, Hukum Acara Perdata…,722.
[4] Tanggal 16-12-1975, Rangkuman Yurisprudensi MA Indonesia II, Hukum Perdata dan Acara Perdata, Proyek yurisprudensi MA, 1997, 219.
[5] Yahya harahap, Hukum Acara Perdata…,723
[6] Sarwono, Hukum Acara Perdata…, 274.
[7] Raihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007), 180.
[8] Ibid.