Proses Lahirnya UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Sunday, 2 October 2016
SUDUT HUKUM | Munculnya
gagasan wakaf tunai memang mengejutkan banyak kalangan, khususnya para ahli dan
praktisi ekonomi Islam. Karena wakaf tunai berlawanan dengan persepsi umat
Islam yang terbentuk bertahun-tahun lamanya, bahwa wakaf itu berbentuk
benda-benda tak bergerak. Wakaf tunai dalam konsep wakaf sebagai hasil
interpretasi radikal yang mengubah definisi atau pengertian wakaf. Tafsiran
baru ini dimungkinkan karena berkembangnya teori-teori ekonomi.
Menanggapi
berbagai wacana tentang wakaf tunai dan surat dari Direktur Pengembangan Zakat
dan Wakaf Departemen Agama bernomor: Dt.1.III./5/BA.03.2/2772/2002 tertanggal
26 april 2002 yang berisi tentang permohonan fatwa tentang wakaf uang, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) merespon dengan mengeluarkan fatwa tentang wakaf uang
tertanggal 28 shafar 1423 H/ 11 mei 2002 M yang ditandatangani oleh KH. Ma’ruf
Amin sebagai Ketua Komisi Fatwa dan Drs. Hasanuddin, M.Ag sebagai Sekretaris Komisi.
Fatwa tersebut berisi tentang diperbolehkannya wakaf uang, upaya MUI dalam
memberikan pengertian dan pemahaman kepada umat Islam bahwa wakaf uang dapat
menjadi alternatif untuk berwakaf.[1]
Setelah
dikeluarkannya fatwa MUI tersebut, pengembangan wakaf semakin mendapatkan
legitimasi, paling tidak pada tataran landasan hokum keagamaan. Oleh karena
itu, ide-ide pengembangan organisasi zakat dan wakaf digulirkan dalam rangka
merespon wacana wakaf tunai, yang berarti akan memunculkan peluang luar biasa
terhadap potensi wakaf secara umum. Lagkah pertama yang diusulkan adalah
pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Ide pembentukan
Badan Wakaf Indonesia (BWI) diusulkan oleh Menteri Agama RI secara langsung
kepada Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri melalui surat
Nomor: MA/320/2002 tertanggal 5 September 2002. Usul pembentukan Badan Wakaf
Indonesia (BWI) dari Menteri Agama kepada Presiden berbuah usulan dari Sekretariat
Negara agar Departemen Agama RI mengirim surat izin prakarsa untuk menyusun draf
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang wakaf. Langkah yang kemudian disiapkan
oleh Direktorat Zakat dan Wakaf cq. Menteri Agama adalah mengirim surat
Bernomor: MA/451/2002 tertanggal 27 Desember 2002 kepada Menteri Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia perihal izin prakarsa RUU perwakafan.[2]
Setelah semua
konsep RUU tentang wakaf disempurnakan, maka RUU wakaf dikirim ke Presiden RI
dengan Nomor: MA/180/2003 tertanggal 18 Juni 2003 tahap pertama dan surat
Nomor: MA/02/2004 tertanggal 5 Januari 2004 untuk tahap kedua. Penyampaian RUU
wakaf kepada Presiden RI ini sebagai langkah mendekati tahap akhir sebelum
diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).[3]
Sebagai tindak
lanjut dari proses pembahasan Rancangan Undang- Undang tentang wakaf, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dalam hal ini Panitia Kerja (panja) dari komisi VI
yang ditugaskan menggodok RUU wakaf yang diajukan oleh pemerintah. Di komisi VI
ini RUU wakaf dibahas bersama dengan Ormas-ormas Islam guna rapat dengar
pendapat umum (RDPU) diantaranya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul
Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (persis). RDPU dengan Badan Zakat Nasional
(BAZNAS) dan Lembaga Zakat Nasional (LAZNAS).[4]
Rapat kerja
komisi VI DPR RI dengan Menteri Agama, yang dilaksanakan tanggal 6 september
2004 di ruang sidang DPR RI komisi VI ini dilakukan dalam rangka meminta
penjelasan pemerintah cq. Departemen Agama RI terhadap RUU tentang wakaf yang
akan dibahas oleh panja komisi VI. Dari penjelasan pemerintah ini kemudian
anggota DPR komisi VI menyampaikan pandangan umumnya terkait dengan RUU tentang
wakaf yang diajukan pemerintah. Fraksi-fraksi yang menyampaikan tanggapannya antara
lain, Fraksi Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKB, Persatuan Pembangunan (PP),
Fraksi Reformasi (FR), PBB, dan Fraksi TNI/Polri.
Tahapan terakhir
dari keseluruhan proses pembentukan Undang-Undang tentang wakaf adalah tahap
pengundangannya kedalam suatu penerbitan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu ke dalam Lembaran Negara. Undang-undang
ini disahkan oleh Presiden pertama yang dipilih oleh rakyat secara langsung,
Dr, H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Oktober 2004, seminggu setelah
Presiden dilantik oleh MPR, yaitu pada tanggal 20 Oktober 2004, dan pada
tanggal itu juga UU ini diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara RI, Prof.
Dr. Yusril Ihza Mahendra dan dicatat dalam lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2004 Nomor 159.
[1] Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,
Depag, Proses Lahirnya UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Jakarta, 2006, hlm. 9
[2] Ibid, hlm. 20
[3] Ibid, hlm. 79
[4] Ibid, hlm. 85-93