Putusan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijke Verklaard)
Monday, 3 October 2016
SUDUT HUKUM | Putusan tidak dapat diterima
(Niet Onvankelijke Verklaard) adalah putusan yang tidak menerima gugatan
penggugat karena dalam gugatan penggugat terkandung cacat formil.[1] Perkara yang
diputus dengan amar gugatan tidak dapat diterima tidak melekat ne bis in idem
dan daluwarsa, meskipun putusan telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga perkara
tersebut masih dapat diajukan kembali
untuk kali yang kedua dengan jalan memperbaiki atau menghilangkan cacat formil
yang terdapat pada gugatan dan bisa mengajukan banding.[2]
Namun, seandainya diajukan
kembali gugatan yang sama maka selama gugatan baru itu belum memperoleh putusan
yang berkekuatan hukum tetap, kedudukan dan hubungan hukum para pihak tetap
seperti keadaan semula. Syarat-syarat hukum formil pengajuan gugatan adalah:
Syarat formil gugatan[3]
Pada bagian ini membicarakan
secara umum berbagai syarat formil gugatan. Agar gugatan memenuhi syarat, tidak
boleh terabaikan salah satupun dari syarat formil. Pengabaian terhadapnya
mengakibatkan gugatan mengandung cacat. Artinya gugatan tersebut dianggap tidak
memenuhi tata tertib beracara yang ditentukan undang-undang. Jika dalam suatu
gugatan tidak sah, gugatan yang seperti itu harus dinyatakan tidak dapat
diterima (Niet Onvankelijke Verklaard) atau tidak berwenang mengadili.
Sehingga
yang menjadi faktor penyebab suatu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima,
apabila gugatan mengandung cacat formil. Berikut ini akan dikemukakan unsur-unsur
syarat formil gugatan yang harus dipenuhi agar terhindar dari cacat yang
membuatnya tidak sah:
- Gugatan tidak berdasarkan hukum. Artinya gugatan yang diajukan oleh Penggugat harus jelas dasar hukumnya dalam menuntut haknya. Jadi kalau tidak ada dasar hukumnya maka gugatan tersebut tidak dapat diterima.
- Penggugat tidak mempunyai kepentingan hukum secara langsung yang melekat pada diri Penggugat. Tidak semua orang yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan gugatan apabila kepentingan itu tidak langsung melekat pada dirinya. Orang yang tidak ada hubungan langsung harus mendapat kuasa lebih dahulu dari orang atau badan hukum yang berkepentingan langsung untuk mengajukan gugatan.[4]
- Melanggar kompetensi
Setiap gugatan harus dengan
teliti memperhatikan syarat kompetensi:
1) Kompetensi absolut (absolut competency)
Landasan penentuan kompetensi
absolut berpatokan kepada pembatasan yurisdiksi badan-badan peradilan, telah
ditentukan sendiri oleh undang-undang atas kewenangan mengadili yang
dimilikinya.
Kompetensi absolut didasarkan
atas yurisdiksi mengadili sedangkan kompetensi relatif didasarkan atas patokan
batas kewenangan berdasar kekuasaan daerah hukum. masing-masing badan peradilan
dalam suatu lingkungan telah ditentukan batas-batas wilayah hukumnya.
Apa yang disengketakan berada
diluar kompetensi atau yurisdiksi absolut peradilan yang bersangkutan, karena
perkara yang disengketakan termasuk kewenangan absolut lingkungan peradilan
lain, misalnya Peradilan Agama atau peradilan TUN. Atau PN yang bersangkutan
secara relatif tidak berwenang mengadili, karena meskipun secara absolut
termasuk yurisdiksinya, namun secara relatif jatuh menjadi kewenangan PN lain.
Misalnya, tempat tinggal
tergugat berada diluar wilayah hukum PN tersebut sehingga sesuai dengan asas
actor sequitur forum rei yang digariskan pasal 118 ayat (1) HIR, yang berwenang
mengadilinya adalah PN ditempat mana tergugat bertempat tinggal. Apabila hakim
berhadapan dengan kasus perkara yang secara absolut atau relatif berada diluar
yurisdiksinya, dia harus menjatuhkan putusan yang berisi amar tidak dapat
diterima (Niet Onvankelijke Verklaard).
2) Eror in persona
Hal kedua yang bisa
mengakibatkan gugatan tidak memenuhi syarat formal apabila gugatan mengandung
Eror in persona. Suatu gugatan dianggap Eror in persona apabila:
- Diskualifikasi in persona
- Penggugat bukan persona standi in jutico: karena belum dewasa, bukan orang yang mempunyai hak dan kepentingan dibawah pengampuan orang lain.
- Apabila kuasa yang bertindak tidak memenuhi syarat: tidak mendapat kuasa baik lisan atau surat kuasa khusus, atau surat kuasa khusus tidak sah.
- Tidak berwenang mengadili, dan
- Menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
d. Gugatan obscuur libel
Gugatan yang diajukan,
mengandung cacat obscuur libel, yakni gugatan penggugat kabur, tidak memenuhi
syarat jelas dan pasti (duidelijkeen bepaalde conclusie) yang digariskan pasal
8 ke-3 Rv. oleh karena itu, makna gugatan yang kabur sangat luas spektrumnya,
bisa berupa:
- Dalil gugatan atau fundamentum petendi, tidak mempunyai dasar hukum yang jelas. Suatu gugatan dianggap kabur apabila dalil gugatan tidak menjelaskan dasar hukum dan peristiwa yang melatar belakangi gugatan. Misalnya, gugatan tidak menjelaskan sejak kapan dan atas dasar apa penggugat memperoleh objek sengketa. Bahwa oleh karena gugatan yang diajukan tidak berdasar hukum, harus dinyatakan tidak dapat diterima bukan di tolak.
- Tidak jelas objek sengketa, Letak batas dan luasnya tidak jelas, sedang objek tersebut tidak didukung sertifikat. Bisa juga letak dan luasnya berbeda dengan kenyataan konkreto.
- Petitum gugatan tidak jelas, Misalnya petitum gugatan tidak dirinci, sehingga tidak jelas dengan pasti apa yang dituntut. Atau terdapat kontradiksi antara petitum dengan posita gugatan. Dengan kata lain, terdapat saling pertentangan antara dalil gugatan dengan petitum.
e. Gugatan masih prematur.
Apabila gugatan yang diajukan
masih prematur cukup dasar alasan bagi hakim menjatuhkan putusan negative
dengan amar menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
f. Gugatan telah daluwarsa
Pasal 1941 KUH Perdata, selain
merupakan dasar untuk memperoleh hak, juga menjadi dasar hukum untuk
membebaskan seseorang dari perikatan setelah lewat jangka waktu tertentu.
Dengan demikian apabila gugatan yang diajukan penggugat telah melampaui batas
waktu yang ditentukan undang-undang untuk menggugatnya, berarti tergugat telah
terbebas untuk memenuhinya. Jika hakim menemukan gugatan telah daluarsa, harus
menjatuhkan putusan akhir dengan diktum menyatakan gugatan tidak dapat
diterima.
g. Gugatan nebis in idem
Adalah
gugatan yang diajukan oleh Penggugat sudah pernah diputus oleh Pengadilan yang
sama dengan objek sengketa yang sama dan pihak-pihak yang bersengketa juga sama
orangnya, objek sengketa tersebut sudah diberi status oleh Pengadilan yang
memutus sebelumnya. Dalam perkara perceraian bisa saja tidak terjadi nebis in
idem, kalau perkara yang sebelumnya telah diputus dengan dalil pertengkaran
kemudian tidak diterima kemudian diajukan lagi dengan dalil bahwa Tergugat
memukul Penggugat.
[1] Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta, Sinar Grafika, 2009), 120.
[2] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 892.
[3] M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-hikmah, 1994), 16.
[4] Mahkamah Agung RI , Pedoman Pelaksanaan Tugas…, 95.