Masyarakat Hukum Adat
Monday, 3 October 2016
SUDUT HUKUM | Masyarakat dalam istilah bahasa
Inggris adalah society yang berasal dari kata Latin socius yang
berarti (kawan). Istilah masyarakat berasal dari kata bahasa Arab syaraka yang
berarti (ikut serta dan berpartisipasi). Masyarakat adalah sekumpulan manusia
yang saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu
kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui warga-warganya dapat saling
berinteraksi.
Definisi lain, masyarakat
adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat
istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa
identitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki
keempat ciri yaitu:
Semua warga masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama, hidup bersama dapat diartikan sama dengan hidup dalam suatu tatanan pergaulan dan keadaan ini akan tercipta apabila manusia melakukan hubungan.
- Interaksi antar warga-warganya,
- Adat istiadat,
- Kontinuitas waktu,
- Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga.
Baca Juga
Semua warga masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama, hidup bersama dapat diartikan sama dengan hidup dalam suatu tatanan pergaulan dan keadaan ini akan tercipta apabila manusia melakukan hubungan.
Masyarakat
adalah suatu sistem dari kebiasaan, tata cara, dari wewenang dan kerja sama
antara berbagai kelompok, penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta
kebiasaan-kebiasaan manusia. Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan
bersama untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan suatu adat
istiadat, masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan
bekerja bersama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan
menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang
dirumuskan dengan jelas sedangkan masyarakat adalah orang-orang yang hidup
bersama yang menghasilkan kebudayaan dan mereka mempunyai kesamaan wilayah,
identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang
diikat oleh kesamaan.
Masyarakat
merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara mandiri, bebas dari
individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya. Masyarakat sebagai
sekumpulan manusia didalamnya ada beberapa unsur yang mencakup. Adapun
unsur-unsur tersebut adalah:
- Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama;
- Bercampur untuk waktu yang cukup lama;
- Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan;
- Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.
Keseluruhan
ilmu pengetahuan tentang masyarakat harus didasari pada prinsip-prinsip
fundamental yaitu realitas sosial dan kenyataan sosial. Kenyataan sosial
diartikan sebagai gejala kekuatan sosial didalam bermasyarakat. Masyarakat
sebagai wadah yang paling sempurna bagi kehidupan bersama antar manusia.
Hukum adat
memandang masyarakat sebagai suatu jenis hidup bersama dimana manusia memandang
sesamanya manusia sebagai tujuan bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan
kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan
yang lainnya. Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan masyarakat
memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi, sedangkan dalam bahasa Inggris
disebut society. Bisa dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan
manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan sosial.
Mereka mempunyai
kesamaan budaya, wilayah, dan identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap,
dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan. “Adah” atau
“adat” artinya kebiasaan yaitu perilaku masyarakat yang selalu senantiasa
terjadi di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dengan begitu yang dimaksud
hukum adat adalah hukum kebiasaan.[1] Menurut Maria SW Sumardjono, beberapa ciri pokok masyarakat
hukum adat adalah mereka merupakan suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan
tersendiri terlepas dari kekayaan perorangan, mempunyai batas wilayah tertentu
dan mempunyai kewenangan tertentu.[2]
Konsep
masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius van
Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van Vollenhoven mengeksplor
lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan pengertian
sebagai berikut, masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur,
menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai
kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat,
dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat
sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para
anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang
telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan
itu untuk selamalamanya.[3]
Kusumo
Pujosewojo memberikan pengertian yang hampir sejalan dengan Ter Haar, beliau
mengartikan masyarakat hukum adat sebagai masyarakat yang timbul secara spontan
diwilayah tertentu, berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh
penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas
sangat besar di antara anggota, memandang anggota masyarakat sebagai orang luar
dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat
dimanfaatkan sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya
oleh anggotanya. Sedangkan menurut Hazairin, masyarakat hukum adat adalah
kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk
sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan
kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua
anggotanya.[4]
Masyarakat
hukum adat mempunyai salah satu hak yang terpenting terkait dengan ruang
hidupnya yaitu hak ulayat sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UUPA 14 dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan
Pasal 3 dinyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu
dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada,
harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
Undang-Undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.
[1] Tolib Setiady, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia, Alfabeta : Bandung, hlm. 5.
[2] Maria. S. W. Sumard jono, 1996. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 56
[3] Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010), hlm. 30.
[4] Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, (Jakarta: UNDP Regional Centre in Bangkok, 2006), hlm. 23.