Pengertian Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf)
Tuesday, 4 October 2016
SUDUT HUKUM | Dari kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa jual beli itu mempunyai arti bagi kelangsungan hidup manusia. Dengan
memperhatikan kita dapat mengambil pengertian bahwa jual beli itu suatu proses
tukar menukar kebutuhan. Namun untuk memahami secara lebih jelas, kita
harus memberi batasan sehingga jelas bagi kita apa itu jual beli.[1] Baik
secara bahasa (etimologi) maupun secara istilah (terminologi).
Adapun pengertian jual beli menurut bahasa (etimologi) adalah kata al ba’i dalam
bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian kaitannya, yakni kata asy-Syira (beli). Dengan demikian maka kata a-Bai
berarti :Jual” sekaligus “beli”.[2]
Menurut Sayid Sabiq jual beli dalam pengertian lughawi adalah
saling menukar, kata al-bai (jual) dan al-syira (beli)
digunakan biasanya dalam pengertian yang sama. Dalam kata ini masing-masing mempunyai makna
dua yang satu dengan yang lainnya bertolak belakang.[3]
Menurut Hamzah Ya’qub dalam bukunya “Kode Etik Dagang Menurut Islam” menjelaskan bahwa pengertian jual beli menurut bahasa yaitu “menukar sesuatu dengan sesuatu”.[4] Adapun pengertian jual beli menurut istilah (terminologi) adalah pertukaran harta di mana semua harta dapat dimiliki dan dapat
dimanfaatkan atas dasar saling rela.[5]
Menurut Save M. Dagum dalam bukunya “Kamus Besar Ilmu Pengetahuan” menjelaskan bahwa pengertian mata uang adalah alat pembayaran suatu negara, alat pembayaran tertentu dari logam atau
kertas.[6]
Adapun pengertian jual beli mata uang (al-Sharf) menurut
bahasa (etimologi) adalah al-ziyadah (tambahan) dan al-‘adl (seimbang).[7] Menurut Heri Sudarsono dalam bukunya “Bank dan Lembaga Keuangan syari'ah Deskripsi dan Ilustrasi” menjelaskan bahwa
pengertian al-Sharf menurut
bahasa yaitu penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan, atau transaksi jual beli.[8]
Adapun pengertian al-Sharf menurut istilah adalah jual beli
antara barang sejenis atau barang tidak sejenis.[9] Al-Sharf juga dapat diartikan perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta asing.[10] Valuta
asing berarti nilai uang, alat pembayaran yang terjamin oleh persediaan emas atau
perak. Jadi valuta asing maksudnya mata uang luar negeri, seperti Yen
Jepang, Dolar Amerika, Ringgit Malaysia, dan sebagainya.[11]
Dari beberapa definisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa jual beli mata uang (al-Sharf) adalah suatu proses dimana
seseorang penjual menyerahkan uang kepada pembeli (orang lain) setelah mendapatkan persetujuan mengenai besarnya uang tersebut, yang kemudian uang
tersebut diterima oleh si pembeli dari si penjual sebagaimana yang telah
disepakati. Dengan demikian secara otomatis pada proses dimana transaksi jual
beli mata uang (al-Sharf) berlangsung, telah melibatkan dua pihak, di
mana pihak yang satu menyerahkan uang (harta) sebagai pembayaran barang yang
diterimanya dan pihak yang lain menyerahkan barangnya sebagai ganti dari uang
yang diterimanya dan proses tersebut dilakukan atas dasar rela sama rela
antara kedua pihak, artinya tidak ada unsur keterpaksaan atau pemaksaan
pada keduanya, sebagaimana firman Allah swt:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu…”. (Qs. An-Nisa’ : 29).
[1] Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Sunnah Islam, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1994, hlm. 58
[2] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Intermasa, 1997, cet. Ke-1, hlm.827
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, terj., alih bahasa H. Kamaludin A. Marzuki, Kilid XII,Bandung: al-Ma;arif, hlm. 47
[4] Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalamPerekonomian), Bandung: Diponegoro, 1992, hlm. 18
[5] Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 47
[6] Sava M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Cetakan ke-5, 2006, hlm. 626
[7] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Mu'amalah Kontekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002, hlm. 149
[8] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari'ah Deskripsi dan Ilustrasi,Yogyakarta: Ekonisia, cet. Ke-3, 2005, hlm. 78
[9] Ghufron A. Mas’adi, op. cit.
[10] Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Persada Media, 2005, hlm.98
[11] M. Ali Hasan, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan (Masail Fiqhiyah II),Jakarta: raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 155