Teori Penjatuhan Putusan
Thursday, 27 October 2016
SUDUT HUKUM | Pemahaman atas
kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak lepas dari prinsip pemisahan kekuasaan
yang dikemukaan oleh John Locke dan Montesqueiu. Hal ini dimaksudkan untuk
menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur, atau netral (impartiality). Apabila
kebebesan tidak dimiliki oleh kekuasaan kehakiman, dapat dipastikan tidak akan
bersikap netral, terutama apabila terjadi sengketa antara pengusaha dan rakyat.
Kekuasaan kehakiman
merupakan badan yang menentukan isi dan kekuasaan kaidah-kaidah hukum positif
dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya.
Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang diciptakan dalam
suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan
rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada
kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang
bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagai
pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan
dalam memberi isi dan kekuatan kepada norma-norma hukum dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui
putusannya.
Fungsi utama dari seorang hakim
adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya,dimana dalam
perkara pidana, hal itu tidak lepas dari sistem pembuktian negatif (negative
wetterlijke), yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa
atau kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti
menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan
integitas moral yang baik. Jadi, putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan
pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani.
Adapun dalam memeriksa perkara
perdata, hakim bersifat pasif, dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas
pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa, pada asasnya
ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Akan tetapi,
hakim harus aktif membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran dari
peristiwa hukum yang menjadi sengketa diantara para pihak. Sistem pembuktian
positif (negative wetterlijke) digunakan hakim dalam
penyelesaian perkara perdata, di mana pihak yang mengaku mempunyai suatu hak,
maka ia harus membuktikan kebenaran dari pengakuannya, dengan didasarkan pada
bukti-bukti formil, yaitu alat-alat bukti sebagaimana terdapat dalam hukum
acara perdata.
Memeriksa dan memutus suatu
perkara bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Dalam era keterbukaan saat ini,
dunia peradilan mulai digugat untuk membuka diri, sehingga putusan hakim tidak
lagi semata-mata hanya menjadi bahan perbincangan secara hukum dan ilmu hukum
atau menjadi bahan kajian ilmu hukum saja, tetapi akan lebih jauh menjadi
konsumsi publik untuk dibicarakan dan diperdebatkan, terlebih jika ada putusan
hakim yang dirasakan kurang memuaskan masyarakat. Ungkapan yang sering didengar
atas putusan tersebut seperti: “kurang mencerminkan rasa keadilan masyarakat,
terlalu legalistik formal ataupun tidak menunjang program pemerintah dalam
pemberantasan illegal loging dan korupsi”, serta berbagai komentar lain
yang terasa bernada skeptis. Bahkan tidak hanya komentar yang mengemuka, tetapi
tidak jarang disertai dengan tindakan anarkhis, yang merusak kepentingan umum
atau merusak gedung pengadilan, sehingga merugikan masyarakat banyak maupun
negara.
Menerut Gerhard Robbes secara
kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu:
- Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan,
- Tidak seorang pun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan diajukan oleh hakim, dan
- Tidak boleh ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.
Kebebasan hakim dalam memeriksan
dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap
dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kesuali, sehingga tidak ada
satupun pihak yang dapat mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya
tersebut. Hakim dalam menjatuhkan putusan, harus mempertimbangkan banyak hal,
baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan
dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban maupun
keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa keadilan masyarakat.
Sebelum menjatuhkan putusan,
hakim harus bertanya pada diri sendiri, jujurkah ia dalam mengambil putusan
ini, atau sudah tepatkan putusan yang diambilnya itu, akan dapat menyelesaikan
suatu sengketa, atau adilkah putusan ini atau seberapa jauh manfaat dari putusan
yang dijatuhkan oleh seorang hakim bagi para pihak dalam perkara atau bagi
masyarakat pada umumnya. Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau
pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan
putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut: