Teori Keseimbangan
Thursday, 27 October 2016
SUDUT HUKUM | Dimaksud dengan keseimbangan disini adalah antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan pihak tergugat.
Dalam praktik peradilan pidana, kepentingan korban saat ini belum mendapat perhatian yang cukup, kecuali antara lain dalam perkara-perkara korupsi, perlindungan konsumen, lingkungan hidup. Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam memberikan pertimbangan pada kepentingan korban, karena baik dalam hukum pidana materil maupun hukum pidana formil, tidak ada ketentuan atau tidak cukup diatur mengenai perlindungan terhadap korban, hal itu adalah atas inisiatif sendiri dan bukan sebagai bagian dari proses perkara.
Dalam praktik, ada dua cara melindungi kepentingan korban, yaitu yang pertama, melakukan gugatan keperdataan atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), dan yang kedua, melakukan perdamaian dengan pelaku atau semata-mata karena uluran tangan pelaku. Salah satu penyebab tidak ada tempat bagi kepentingan korban, karena perkara pidana semata-mata dianggap sebagai perkara antara negara melawan pelaku dan korban bukan merupakan bagian, apalagi sebagai pihak dalam perkara pidana.
Keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan terdakwa, dalam praktik umumnya dirumuskan dalam pertimbangan mengenai hal-hal yang memberatkan dan peringankan penjatuhan pidana bagi terdakwa, dimana kepentingan masyarakat dirumuskan dalam hal-hal yang memberatkan, dan kepentingan terdakwa dirumuskan pada hal-hal yang meringankan. Pertimbangan hal-hal memberatkan dan meringankan tersebut, merupakan faktor yang menentukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa (vide Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP).
Adapun keseimbangan dalam perkara perdata dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 163 HIR/Pasal 283 Rbg/Pasal 1865 KUH Perdata, mengatur mengenai asas pembuktian dalam perkara perdata, dimana pihak yang menyatakan mempunyai hak tertentu atau menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya tersebut, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang tersebut harus membuktikan adanya hak atau kejadian tersebut.
Dalam praktik peradilan pidana, kepentingan korban saat ini belum mendapat perhatian yang cukup, kecuali antara lain dalam perkara-perkara korupsi, perlindungan konsumen, lingkungan hidup. Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam memberikan pertimbangan pada kepentingan korban, karena baik dalam hukum pidana materil maupun hukum pidana formil, tidak ada ketentuan atau tidak cukup diatur mengenai perlindungan terhadap korban, hal itu adalah atas inisiatif sendiri dan bukan sebagai bagian dari proses perkara.
Dalam praktik, ada dua cara melindungi kepentingan korban, yaitu yang pertama, melakukan gugatan keperdataan atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), dan yang kedua, melakukan perdamaian dengan pelaku atau semata-mata karena uluran tangan pelaku. Salah satu penyebab tidak ada tempat bagi kepentingan korban, karena perkara pidana semata-mata dianggap sebagai perkara antara negara melawan pelaku dan korban bukan merupakan bagian, apalagi sebagai pihak dalam perkara pidana.
Baca Juga
Keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan terdakwa, dalam praktik umumnya dirumuskan dalam pertimbangan mengenai hal-hal yang memberatkan dan peringankan penjatuhan pidana bagi terdakwa, dimana kepentingan masyarakat dirumuskan dalam hal-hal yang memberatkan, dan kepentingan terdakwa dirumuskan pada hal-hal yang meringankan. Pertimbangan hal-hal memberatkan dan meringankan tersebut, merupakan faktor yang menentukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa (vide Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP).
Adapun keseimbangan dalam perkara perdata dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 163 HIR/Pasal 283 Rbg/Pasal 1865 KUH Perdata, mengatur mengenai asas pembuktian dalam perkara perdata, dimana pihak yang menyatakan mempunyai hak tertentu atau menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya tersebut, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang tersebut harus membuktikan adanya hak atau kejadian tersebut.