Asas Desentralisasi
Sunday, 27 November 2016
SUDUT HUKUM | Sejarah mencatat bahwa upaya
desentralisasi di Indonesia tergambar seperti ayunan pendulum berpola zig zag
yang terjadi antara desentralisasi dan sentralisasi. Upaya serius untuk
melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi di mulai di
tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim,
dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis. Setelah jatuhnya
pemerintahan Soeharto sebagai reaksi yang kuat dari kecenderungan sentralisasi
kekuasaan dan sumber daya di pemerintah pusat selama tiga dekade terakhir. Ciri suatu
pemerintahan yang demokratis salah satunya ialah melakukan
desentralisasi, memberikan kewenangan kepada rakyat daerah untuk mengatasi
masalah-masalah daerah.
Secara etimologi istilah
desentralisasi berasal dari Bahasa Latin, yaitu “de”=lepas dan “centrum”=
pusat. Jadi menurut perkataannya desentralisasi adalah melepaskan dari pusat. Hendry
Maddick menyatakan bahwasanya Desentralisasi merupakan pengalihan kekuasaan
secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah.
Sedangkan menurut Rondinelli dan
Cheema merumuskan definisi desentralisasi dengan lebih
merujuk pada perspektif yang lebih luas, tetapi tergolong perspektif
administrasi, bahwa desentralisasi:
The transfer of planning, decision making, or administrative authority from central government to its field organisations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government,or non-government organizations”. (perpindahan perencanaan, pengambilan keputusan, atau kewenangan administratif dari pemerintah pusat ke organisasi bidangnya, unit administratif daerah, semi otonomi dan organisasi parastatal, pemerintah daerah, atau organisasi-organisasi non pemerintah).
Menurut Piliang dalam Peni
Chalid, desentralisasi dan otonomi daerah merupakan bentuk sistem
penyerahan urusan pemerintahan dan pelimpahan wewenang kepada daerah yang
berada dibawahnya.
Desentralisasi
merupakan konsekuensi dari adanya
demokratisasi.
Ruiter dalam Hoogerwerf
mengemukakan desentralisasi adalah sebagai pengakuan atau penyerahan
wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang
lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan
kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta struktur
wewenang yang terjadi dari hal itu.
Menurut Koesoemahatmadja desentralisasi
dibagi dalam dua macam, yaitu: pertama, dekonsentrasi (deconcentratie)
atau amtelijke decentralisatie, adalah pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan
negara tingkat atas kepada bawahannya guna melancarkan pelaksanaan tugas
pemerintahan. Desentralisasi semacam ini rakyat tidak diikutsertakan. Kedua,
desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige decentralisatie)
atau
desentralisasi politik adalah pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan
(regelende en bestuurende bevoegheid) kepada daerah-daerah otonom di dalam
lingkungannya. Desentralisasi politik berkaitan dengan rakyat yang mempengaruhi
saluran-saluran tertentu (perwakilan) ikut serta di dalam pemerintahan.
Koswara selanjutnya mengemukakan
bahwa pengertian desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna bahwa
melalui proses desentralisasi urusan-urusan pemerintahan yang semula termasuk
wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat sebagaian diserahkan kepada
badan lembaga pemerintah daerah agar menjadi urusan rumah tangganya
sehingga urusan tersebut beralih kepada pemerintah daerah dan menjadi
wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah.
Konsep desentralisasi menurut
Bryant menekankan pada salah satu cara untuk mengembangkan kapasitas
lokal dapat pula diaplikasikan dalam rangka pengembangan pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia, terutama untuk mempengaruhi birokrat dan
pengambil keputusan yang masih menyangsikan kemampuan Daerah Tingkat II atau
mengkhawatirkan kemungkinan timbulnya disintegrasi dalam melaksanakan
otonomi daerah.
Sedangkan
menurut UU No. 23 Tahun 2014 pada ketentuan umum
menyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan
oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.
Desentralisasi adalah asas
penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan dengan
sentralisasi. Desentralisasi menghasilkan pemerintahan lokal (local government), yang
menyebabkan terjadinya “...., a
„superior‟ government assigns responsibility, authority, or
function to „lower‟ government unit that is
assumed to have some degree of authority.”
Adanya
pembagian kewenangan serta tersedianya
ruang gerak yang memadai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada
unit pemerintahan yang lebih rendah (pemerintah lokal), merupakan perbedaan
terpenting antara konsep desentralisasi dan sentralisasi.
Sistem desentralisasi pada
pelaksanaannya menimbulkan sebagian kewenangan pemerintahan pusat
dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan. Pelimpahan
kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan disebut
desentralisasi. Encyclopedia of the Social Science menyebutkan bahwa “The process of decentralization denotes the transference of authority,
legislative, judicial, or administrative, from higher level of government to a lower.” Artinya desentralisasi adalah penyerahan
wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi
kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang
legislatif, judikatif atau administratif.
Desentralisasi ketatanegaraan
dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu Desentralisasi teritorial (territorial
decentralisatie), adalah pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah masing-masing (otonom) dan desentralisasi fungsional (functionale
decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan
mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. Desentralisasi semacam
ini dikehendaki agar kepentingan-kepentingan tertentu diselenggarakan oleh
golongan-golongan yang bersangkutan sendiri.
Kewajiban pemerintah dalam
hubungan ini hanyalah memberikan pengesahan atas segala sesuatu yang telah
ditetapkan oleh golongan-golongan kepentingan tersebut.
Terdapat tujuh faktor yang
mendorong apakah suatu negara akan memakai desentralisasi (dispersion
power) atau cenderung memakai sentralisasi (concentration power),
adalah sebagai berikut:
- Faktor Sifat dan Bentuk Negara
Negara federal cenderung untuk
melaksanakan asas desentralisasi, sedangkan negara kesatuan lebih
baik melaksanakan sentralisasi dalam menjaga kesatuan dan kesatuan
bangsa.
- Faktor Rezim yang Berkuasa
Kalau rezim yang berkuasa dalam
suatu negara adalah rezim yang otoriter, maka cenderung melaksanakan
sentralisasi, sedangkan bila rezim yang berkuasa adalah yang memakai
paham demokrasi maka cenderung dilaksanakan desentralisasi.
- Faktor Geografis
Negara kepulauan karena
terpisah-pisah maka untuk efisiensi kerja pemerintah biasanya melaksanakan
desentralisasi, sebaiknya negara kontinental mudah mengatur dengan
sentralisasi.
- Faktor Warganegara
Negara yang homogen penduduknya
cenderung untuk melaksanakan sentralisasi, sebaliknya negara
yang heterogen penduduknya cenderung melaksanakan desentralisasi.
- Faktor Sejarah
Negara yang sering terjadi
pemberontakan diimbangi dengan adanya sentralisasi begitu juga negara
yang sering melakukan peperangan, sebaliknya negara yang sejak masa
silamnya terkenal damai tetapi masyarakatnya banyak protes lebih
baik dilaksanakan desentralisasi bagi mereka.
- Faktor Efisiensi dan Efektivitas
Untuk memperoleh efisiensi
dilaksanakan desentralisasi yaitu pemberian otonomi yang luas supaya lebih
efisien waktu dan tenaga, sedangkan untuk mencapai efektivitas dilakukan
sentralisasi misalnya untuk keperluankeperluan politik dan ekonomi.
- Faktor Politik
Bila hendak menciptakan wadah
pendidikan politik bagi masyarakat maka sebaiknya dilangsungkan
desentralisasi, sedang bila kebijaksanaan pemerintah di bidang politik,
misalnya dengan alasan ekonomi yaitu bertujuan untuk memperlaju
pembangunan, atau untuk membentuk kekuatan fisik (strategi militer)
maka sebaiknya dilakukan sentralisasi.
Secara politik, pergeseran
penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi tersebut dapat
meningkatkan kemampuan dan tanggung jawab politik daerah, membangun proses
demokratisasi (kompetisi, partisipasi, dan transparansi), konsolidasi
integrasi nasional (menghindari konflik pusat-daerah dan antar daerah).
Secara administratif akan mampu
meningkatkan kemampuan daerah merumuskan perencanaan dan
mengambil keputusan strategis, meningkatkan akuntabilitas publik dan
pertanggungjawaban publik.
Secara ekonomis akan mampu
membangun keadilan di semua daerah (maju bersama), mencegah eksploitasi
pusat terhadap daerah, serta meningkatkan kemampuan daerah memberikan public
goods and services.
Terdapat beberapa keuntungan
dengan menerapkan sistem desentralisasi dalam suatu negara, yaitu:
- Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
- Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu instruksi dari Pemerintah Pusat.
- Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan.
- Dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan (diferensial) dan pengkhususan (spesialisasi) yang bergua bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi territorial, dapat lebih mudah menyesuaikan diri pada kebutuhan/keperluan khusus daerah.
- Dengan adanya desentralisasi territorial, daerah otonom dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan denganpemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan di seluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik, dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih mudah untuk ditiadakan.
- Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat.
- Dari segi psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan yang lebih besar kepada daerah.
- Akan memperbaiki kualitas pelayanan karena dia lebih dekat dengan masyarakat yang dilayani.
Rujukan:
- Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malin. Memperkokoh Otonomi Daerah, “Kebijakan, Evaluasi, dan Saran”. Yogyakarta; UII Press. 2004.
- Sarundajang. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Bitung; CV. Muliasari. 2002.
- Dr. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung; PT. Revika Aditama. 2001.
- Miftah Thoha. Birokrasi Pemerintahan Indonesia Di Era Reformasi. Jakarta; Kencana Prenada Media Group. 2008.
- Prof. Dr. Juanda, S.H., M.H. Hukum Pemerintahan Daerah, “Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah. Bandung; PT. Alumni. 2004.