Kewenangan dan Kedudukan Gubernur
Saturday, 26 November 2016
SUDUT HUKUM | Kewenangan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “wewenang” yang artinya hak dan
kekuasaan yang dimiliki. Sedangkan kewenangan adalah hak atau
kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu. Sementara itu, kekuasaan berasal
dari kata dasar “kuasa” kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat
sesuatu), kekuatan, wewenang atas sesuatu untuk memerintah. Sedangkan kekuasaan
adalah kuasa untuk memerintah, kemampuan atau kesanggupan.
Soerjono Soekanto secara tegas
membedakan antara “kekuasaan” (power) dengan wewenang (authority).
Menurutnya, kekuasaan merupakan sesuatu kemampuan atau kekuatan
seseorang/segolongan untuk mempengaruhi pihak lain, sedangkan wewenang adalah
kekuasaan yang mendapat pengakuan dan dukungan dari masyarakat. Jadi dalam
pengertian wewenang, sudah mencakup hak dan kekuasaan untuk memberi perintah
atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu
dilakukan sesuai dengan yang diinginkan.
Wewenang menurut H.D. Stout
adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang
dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan
dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam
hubungan hukum publik. Lebih lanjut, H.D. Stout dengan mengutip pendapat Goorden
mengatakan bahwa wewenang adalah keseluruhan hak dan kewajiban yang secara
eksplisit diberikan oleh pembuat undang-undang kepada subyek hukum publik.
Bagir Manan menyatakan bahwa
dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajban (rechten en
plichten). Hal tersebut jika dikaitkan dengan otonomi daerah, hak mengandung
pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan
mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan
untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti
kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara
secara keseluruhan.
Wewenang yang dimiliki oleh
pemerintah dapat diperoleh dengan beberapa cara diantaranya yaitu atribusi,
delegasi, dan mandat. Willem Konijnenbelt kemudian mendefinisikan sebagai
berikut:
- Attributie; atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.
- Delegatie; delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
- Mandaat; mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Jadi, kewenangan adalah kekuasaan
yang dimiliki golongan atau pemerintahan yang diakui oleh masyarakat untuk
bertindak atau melakukan sesuatu yang diinginkan sesuai dengan aturan
yang ditetapkan yang melekat dalam dirinya sebagai konsekuensi terhadap
kedudukan yang diterimanya.
Gubernur memiliki dua kedudukan
dalam dirinya, yaitu Gubernur sebagai kepala daerah otonom dan Gubernur
sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas
pemerintah pusat di daerah. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam
penyelenggarakan pemerintahan daerah tidak lepas dari wewenang yang telah diberikan
oleh undang-undang yaitu dalam hal pembinaan, pengawasan, dan koordinasi.
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat bertanggungjawab kepada Presiden.
Penyelenggaraan pemerintahan
daerah oleh Gubernur berhubungan dengan kedudukan daerah provinsi sebagai
wilayah kerja Gubernur. Daerah provinsi melaksanakan tugas-tugas
dekonsentrasi sebagai manifestasi dari konsekuensi wilayah administratif yang
merupakan perpanjangan tangan dari wilayah administratif pemerintah pusat.
Hal ini dimaksudkan agar provinsi menjadi sarana untuk mengikat dan menjaga
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyelesaikan masalah
lintas daerah kabupaten/kota dan berbagai tugas yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota sehingga alasan pelaksanaan otonomi daerah secara
penuh hanya diterapkan di kabupaten/kota.
Penguatan fungsi Gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat dimaksudkan guna memperkuat hubungan antar
tingkatan pemerintahan hal tersebut berkaitan dengan kedudukan Gubernur selaku
Wakil Pemerintah Pusat, maka hubungan antara gubernur dengan
bupati/walikota bersifat bertingkat, di mana gubernur melakukan wewenangnya dalam hal
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sebaliknya bupati/walikota dapat melaporkan permasalahan yang
terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk dalam hubungan
antar kabupaten/kota.
Kedudukan Gubernur berdasarkan UU
No. 23 Tahun 2014 sebagai Wakil Pemerintah Pusat tidak lepas dari
kewenangan yang melekat pada dirinya sebagaimana diatur di dalam
undang-undang. Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat berwenang untuk
melaksanakan pembinaan, pengawasan, dan koordinasi terhadap daerah kabupaten/kota.
Hubungan antara rakyat dan
kekuasaan negara sehari-hari lazimnya berkembang atas dasar dua teori,
yaitu teori demokrasi langsung (direct democracy) dimana
kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam arti rakyat sendirilah yang
melaksanakan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya, serta teori demokrasi tidak langsung (representative
democracy). Sistem demokrasi atau paham kedaulatan rakyat di
zaman modern ini tidak dapat dilepaskan dari soal pemilihan umum dan partai
politik. Penyaluran kehendak rakyat yang demikian diperlukan adanya suatu
sistem yang disebut pemilihan umum (pemilu). Seiring dengan
berjalannya waktu, berdasarkan peraturan perundangundangan yang ada, Gubernur mulai dipilih
melalui mekanisme pemilihan umum (Pemilu). Hal tersebut memberikan
penguatan posisi terhadap kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
Rujukan:
- Suryo Sakti Hadiwijoyo. Gubernur; Kedudukan, Peran, dan Kewenangan. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2011.
- Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Gagasan kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1994.
- Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008,
- Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: UI Press, Cet. IV, 1975.
- Prof. Drs. H.A.W. Widjaja. 1998. Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
- Dr. Mirza Nasution, S.H., M.Hum., 2011. Pertanggungjawaban Gubernur Dalam Negara Kesatuan Indonesia. Jakarta; P.T. Sofmedia.
- Ridwan HR. 2010. Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi. Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada.