Aspek Yang Terkandung Dalam Putusan
Sunday, 6 November 2016
SUDUT HUKUM | Dalam pedoman perilaku (code
of conduct) hakim yang dikeluarkan Mahkamah Agung sebagai salah satu
lembaga kekuasaan kehakiman telah menentukan bahwa putusan hakim harus
mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis dan sosiologis,
sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan
dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal
justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan masyarakat (social
justice).
Aspek yuridis merupakan aspek
yang pertama dan utama dengan berpatokan kepada undang-undang yang
berlaku.Hakim sebagai aplikator undang-undang harus memahami undang-undang yang
berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi.Hakim harus menilai apakah
undang-undang tersebut adil, bermanfaat, atau memberikan kepastian hukum jika ditegakkan sebab salah satu tujuan
hukum itu unsurnya adalah menciptakan keadilan.
Aspek
filosofis merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan,
sedangkan aspek sosiologis memuat pertimbangkan tata nilai budaya yang hidup
dimasyarakat.Penerapan aspek filosofis dan sosiologis harus mampu mengikuti
perkembangan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat.Pencantuman ketiga aspek
tersebut sebagai upaya penegakan nilai keadilan dan dapat diterima oleh
masyarakat.
Dalam ketiga
aspek tersebut harus terkandung tujuan dari hukum yang dalam pandangan Achmad
Ali dapat diklasifikasikan kedalam tiga tujuan hukum, yaitu:
Pandangan yang menggap bahwa tujuan hukum semata-mata hanyalah keadilan belaka menuai pertentangan karena keadilan sebagai sesuatu yang abstrak. Keadilan dapat berwujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus menerus untuk memberikan bagi setiap orang apa yang menjadi haknya, dan ada pula yang melihat keadilan itu sebagai pembenaran bagi pelaksanaan 1) Aliran etis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu semata-mata hanya untuk mencapai keadilan. 2) Aliran utilitis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu hanyalah untuk menciptkan kemanfaatan atau kebahagiaan masyarakat. 3) Aliran normatif yuridis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu adalah untuk menciptakan kepastian hukum. hukum yang diperlawankan dengan kesewenang-wenangan. Aliran etis dapat dianggap sebagai morai idea atau ajaran moral teoritis.Penganut aliran ini ialah Aristoteles, Justianus, Eugen Erlich.
Aliran
utilitis memasukkan ajaran moral praktis yang menurut penganutnya bertujuan
untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi
sebanyak mungkin warga masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh para
penganutnya, yaitu diantaranya Jeremy Bentham, James Mill, Jhon Stuart
Mill.Bahkan Bentham berpendapat bahwa negara dan hukum semata-mata ada hanya
untuk manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.Kemudian menurut Jhon
Rawls dengan teorinya yang disebut teori Rawls atau Justice as
Fairness (keadilan sebagai kejujuran) menyatakan bahwa hukum itu haruslah
menciptakan masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang mencoba memperbesar
kebahagiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan (the greatest happiness of the
greatest number people).
Aliran
normatif yuridis dogmatis yang pemikirannya bersumber pada positivistis yang
beranggapan bahwa hukum sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri, tidak lain
hanyalah kumpulan aturan yang terdapat dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan atau hukum yang tertulis saja, dan tujuan pelaksanaan hukum
dalam hal ini untuk sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Menurut
aliran ini selanjutnya, walaupun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak
adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal
tersebut tidaklah menjadi masalah, asalkan kepastian hukum dapat ditegakkan. Kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksanakan dan
ditegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa konkrit dan tidak boleh ada
penyimpangan (fiat justitia et pereat mundus). Kepastian hukum
memberikan perlindungan kepada yustisiabel dari tindakaan
sewwenang-wenang pihak lain dan hal ini berkaitan dalam usaha ketertiban dalam
masyarakat.
Hukum itu ada
untuk manusia, sehingga masyarakat mengharapkan kemanfaatan dari pelaksanaan
atau penegakan hukum.Jangan sampai terjadi dalam pelaksanaan dan penegakan
hukum timbul keresahan dalam masyarakat.
Selain itu masyarakat
juga berkepentingan agar dalam pelaksanaan atau penegakan hukum itu,
memperhatikan nilai-nilai keadilan.Akan tetapi, harus diingat bahwa hukum itu
tidak identik dengan keadilan, karena hukum bersifat umum, mengikat setiap
orang, dan bersifat menyamaratakan atau tidak membeda-bedakan keadaan, status
ataupun perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Bagi hukum, setiap kejahatan
oleh pelaku tindak pidana atau pelanggaran hukum oleh pihak yang berperkara,
maka dijatuhkan pidana yang sesuai dengan apa yang tertera dalam bunyi pasal
dalam undang-undang, sehingga keadilan menurut hukum belum tentu sama
dengan keadian moral atau keadilan masyarakat.
Tujuan hukum
tersebut pada dasarnya sama dengan yang diungkapkan oleh Gustav Radbruch
sebagai tiga nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum. Selanjutnya Radbruch mengajarkan penggunaan asas prioritas dari ketiga
asas tersebut, dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru
kemanfaatan dan yang terakhir nilai kepastian hukum.
Hakim dalam
memutus perkara secara kasuistis selalu dihadapkan pada ketiga asas tersebut,
yaitu asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan. Sebagaimana
menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa ketiga asas tersebut harus dilaksanakan
secara kompromi yaitu dengan cara menerapkannya secara seimbang atau
proporsional. Sehingga tidak perlu mengikuti asas
prioritas sebagaimana yang diungkapkan oleh Radbruch, tetapi seharusnya
mengikuti asas prioritas yang kasuistis atau sesuai dnegan kasus yang dihadapi.
Dalam praktik
peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim untuk mengakomodir keadaan ini,
hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutuskan suatu
perkara dan tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam
satu putusan.jika diibaratkan dalam sebuah garis hakim dalam memeriksa dan
memutuskan suatu perkara berada diantara dua titik pembatas dalam garis
tersebut, yaitu berdiri pada titik keadilan atau titik kepastian hukum, sedangkan titik
kemanfaatan sendiri berada diantara keduanya.
Pada saat
hakim menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah pada asas kepastian hukum,
maka otomatis hakim akan menjauh dari titik keadilan. Sebaliknya jika hakim
menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah pada keadilan, makas secara otomatis
hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. Disinilah letak batas-batas
kebebasan hakim, dimana hakim hanya dapat bergerak diantara dua titik pembatas
tersebut. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan
menentukan kapan dirinya berada di dekat titik kepastian hukum, dan kapan harus
berada di titik keadilan. Jadi, tidaklah benar sepenuhnya bahwa hakim dalam
memeriksa dan menjatuhkan putusan suatu perkara bersifat bebas dan tanpa batas. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa seorang hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara tidak selamanya terpaku pada suatu asas, asas
yang terkandung dalam putusan disesuaikan dengan kasus yang sedang diperiksa.
Penekanan
terhadap asas kepastian hukum lebih cenderung mempertahankan norma-norma hukum
tertulis, pola berpikir seperti ini akan mengalami kendala pada saat ketentuan
tertulis dapat menjawab persoalan yang diajukan kepada hakim, sehingga dalam
posisi seperti itu hakim harus menemukan hukum untuk mengisi kekosongan hukum
tersebut. Penekanan terhadap asas ini lebih bernuansa pada terciptanya
keteraturan dan ketertiban masyarakat. Penekanan
pada asas kemanfaatan lebih bernuansa kepada pemenuhan tujuan hukum bagi
masyarakat banyak. Penekanan pada asas keadilan maka hakim harus
mempertimbangkan hukum yang hidup dimasyarakat.Putusan hakim harus mampu
mengakomodir rasa keadilan individu, kelompok, masyarakat yang belum tentu sama
dengan masyarakat lainnya. Dalam aspek tersebut harus terkandung nilai keadilan
hukum yaitu keadilan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Dalam
arti hakim hanya memutuskan perkara hanya berdasarkan hukum positif yang
berlaku.Keadilan seperti ini disebut dengan keadilan berdasarkan aliran legalistic
positivism.Dalam menegakkan keadilan ini hakim atau pengadilan hanya
sebagai pelaksana undang-undang belaka, hakim tidak perlu mencari sumber-sumber
hukum diluar hukum tertulis dan hakim hanya dipandang menerapkan undang-undang
pada setiap perkara konkrit. Dengan kata lain hakim merupkan corong
undang-undang. Keadilan hukum yang berdasarkan undang-undang pada dasarnya
berlaku pada kondisi tertentu, hal ini tidak berlaku ketika terjadi perubahan
nilai-nilai keadilan dalam masyarakat atau terjadi dinamika sosial yang
mengakibatkan pemahaman tentang keadilan mengalami pergeseran.
Selain
keadilan hukum yang hendak diwujudkan dikenal juga keadilan moral dan keadilan
sosial yang harus diterapkan hakim.Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang seorang hakim dipandang perlu menegakkan
nilai kebenaran dan keadilan dengan berpegang kepada hukum undang-undang,
nilai-nilai keadilan dalam masyarakat.Dalam diri hakim diemban amanah agar
peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil dan apabila penerapan
peraturan perundang-undangan tersebut menimbulkan ketidakadilan, maka hakim
berkewajiban berpihak kepada keadilan moral dan mengenyampingkan hukum dan
peraturan perundang-undangan.Karena hukum yang baik adalah hukum yang
bersesuaian dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law)
yang merupakan cerminan nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat.Keadilan
yang dimaksud disini bukan merupakan keadilan proseduril melainkan keadilan
substantif.
Menurut Daniel
S.Lev keadilan menggunakan istilah proseduril dan substantif.Sedangkan Schuyt
menggunakan istilah formil dan materiil.Keadilan proseduril diartikan sebagai
keadilan yang didapatkan dari putusan-putusan lembaga resmi yang dibentuk
menurut undang-undnag negara termasuk putusan pengadilan.Sedangkan
keadilan substantif menyangkut hak-hak sosial serta menandai penataan politik,
ekonomi dalam masyarakat.
Dalam
penerapannya dimasyarakat, tuntutan masyarakat lebih menekankan pada penegakan
keadilan substantif dibandingkan keadilan proseduril. Hal ini sejalan dengan
pandangan para penganut hukum moralitas yang mengkehendaki penegakan prinsip
kebajikan dan moralitas.
Karena menurut pandangan ini, hukum yang meninggalkan
prinsip-prinsip moralitas bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moralitas
boleh atau bisa tidak ditaati berdasarkan suatu hak moral (moral right).
Selain memperhatikan
aspek substantif seperti aspek yuridis, filosofis dan sosiologis, putusan hakim
juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana yang ditentukan dalam
pasal 197 ayat (1) KUHAP. Apabila putusan tidak memuat pernyataan yang
ditentukan dalam pasal 197 ayat (1) jo. Pasal 197 ayat (2), dapat mengakibatkan
putasan batal demi hukum.Suatu putusan yang batal demi hukum mengakibatkan
mengembalikan semua hal dan keadaan kepada keadaan semula seolah-olah terdakwa
tidak pernah diperiksa dan didakwa melakukan tindak pidana. Kedudukan terdakwa
pulih dalam keadaan semula sebelum ia diperiksa dan didakwa. Demikian fatalnya
akibat yang akan dialami oleh putusan yang tidak mengindahkan ketentuan yang
dimuat dalam pasal 197 ayat (1). Putusan yang dijatuhkan, tidak mengikat dan
tidak mempunyai kekuatan hukum, dan tidak mempunyai kekuatan daya
eksekusi.Putusan yang batal demi hukum tidak dapat dieksekusi oleh penuntut
umum, karena putusan itu sendiri tidak mempunyai akibat hukum. Hal tersebut dapat dilihat dalam: 1) Putusan pemidanaan harus
memuat semua ketentuan pasal 197 ayat (1) KUHAP. Putusan pemidanaan akan
terhindar dari ancaman batal demi hukum sebagaimana yang diancam pasal 197 ayat
(2), apabila putusan memuat semua ketentuan pasal 197 ayat (1) KUHAP.
- Berkepala: Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa berkaitan dengan falsafah yang dianut penegakan hukum yang dicita-citakan bangsa Indonesia keadilan berdasarkan ketuhanan,artinya hukuman atau putusan yang dijatuhkan bukan berdasarkan kehendak hakim atau undnag-undnag maupun penguasa, akan tetapi sekaligus dalam upaya penegakan hukumitu tersirat kehendak Tuhan.
- Identitas terdakwa, identitas meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. Huruf b menentukan agar dalam putusan jelas dan terang diuraikan identitas terdakwa, guna menjamin kepastian hukum bahwa orang yang dijatuhi pidana adalah terdakwa yangs sedang diadili. Oleh karena itu, identitas yang tertera dalam putusan harus sama dengan identitas yang tertera dalam berita acara persidangan.
- Dakwaan, dalam putusan memuat seluruh isi surat dakwaan yang dibuat penuntut umum yang terdapat dalam surat dakwaan. Dakwaan yang terdapat dalam surat dakwaan diambil alih secara keseluruhan kedalam putusan secara keseluruhan sesuai yang diuraikan penuntut umum. Hal ini sesuai dengan pasal 197 ayat (1) huruf c.
- Pertimbangan yang lengkap, fakta dan keadaan harus diuraikan jelas sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Karena landasan yang digunakan dalam menentukan berat Universitas Sumatera Utara ringannya hukuman pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa tidak terlepas dari fakta dan keadaan yang memberatkan atau meringankan si terdakwa.Pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaaan di sidang yang menjadi dasar penentuankesalahan terdakwa juga harus dimuat secara lengkap. Pembuktian tersebut akan dipertimbangankan secara argumentatif, sehingga jelas terbaca jalan pikiran yang logis dan reasoning yang mendukung kesimpulan pertimbangan hakim.
- Tuntutan pidana penuntut umum. Setelah uraian dakwaan maka dimuat ketentuan tuntutan pidana. Argumentasi fakta dan alat pembuktian dikonfrontir oleh hakim dengan argumentasi tuntutan pidana penuntut umum dan pembelaan terdakwa, konfrontasi semua argumentasi ini yang harus jelas terbaca dalam putusan hukum.
- Putusan undang-undang yang menjadi dasar pertimbangan. Menurut ketentuan ini, putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.
- Hari dan tanggal diadakannya musyawarah hakim. Hal ini memuat tanggal hari pemusyawaratan dan tanggal hari pengucapan pengumuman putusan.
- Pernyataan kesalahan terdakwa berupa penegasan telah terpenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan tindak pidana disertai Universitas Sumatera Utara dengan kualifikasi dan pemidanaan atau hukuman yang dijatuhkan. Biasanya pernyataan yang disebut pada huruf h ini dicantumkan dalam amar putusan.
- Pembebanan biaya perkara dan penentuan barang bukti. Ketentuan yang dimuat dalam huruf i menyangkut dua ketentuan yang berhubungan dengan pembebanan biaya perkara dan besarnya biaya perkara dan mengenai alat bukti serta cara pengembalian barang bukti, pemusnahan maupun perampasan barang bukti tersebut.
- Penjelasan tentang surat palsu, jika dalam persidangan ditemukan surat palsu maka akan dijelaskan dalam putusan.
- Perintah penahanan, tetap dalam tahanan atau pembebasan. Hal ini dimuat sebagai upaya mencegah terjadinya kelalaian hakim yang berakibat putusan batal demi hukum.
- Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, hakim yang menuntut dan panitera. Hal ini ditempatkan sesudah amar putusan.