Dasar Pertimbangan Hakim
Sunday, 27 November 2016
SUDUT HUKUM | Pemidanaan adalah suatu proses,
sebelum proses itu berjalan , peranan Hakim sangatlah penting. Hakim
mengkonkretkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan
menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu. Hakim dalam menjatuhkan
pidana sangatlah banyak hal-hal yang mempengaruhinya, yaitu yang bisa dipakai
sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan putusan pemidanaaan baik yang
terdapat di dalam maupun di luar Undang-Undang.
Hakim mempunyai substansi untuk
menjatuhkan pidana, akan tetapi dalam menjatuhkan pidana tersebut Hakim
dibatasi oleh aturan-aturan pemidanaaan, masalah pemberian pidana ini bukanlah
masalah yang mudah seperti perkiraan orang, karena Hakim mempunyai kebebasan
untuk menetapkan jenis pidana, cara pelaksanaan pidana, dan tinggi rendahnya
pidana.
Peranan seorang Hakim sebagi
pihak yang memberikan pemidanaaan tidak mengabaikan hukum atau norma serta
peraturan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Kebebasan Hakim sangat dibutuhkan untuk menjamin keobjektifan Hakim
dalam mengambil keputusan. Hakim memberikan putusan-putusannya dalam hal-hal:
- Keputusan mengenai peristiwanya
- Keputusan mengenai hukumannya, dan
- Keputusannya mengenai pidananya
Pengambilan
keputusan itu didasarkan kepada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti
dalam sidang pengadilan (Pasal 191 KUHAP).
Selanjutnya menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang
dipergunakan oleh Hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu
perkara, yaitu sebagai berikut:
Teori keseimbangan
Yang dimaksud
dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan
oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tesangkut dan berkaitan
dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan
dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.
Teori pendekatan seni dan intuisi
Penjatuhan
putusan oleh Hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari Hakim. Sebagai
diskresi, dalam menjatuhkan putusan Hakim menyesuaikan dengankeadaan dan pidana
yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, Hakim akan melihat keadaan pihak
terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana.
Teori pendekatan keilmuan
Titik tolak
dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pedana harus dilakukan
secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan
putusan-putusan terdahulu dalam rangka dalam menjamin konsistensi dari putusan
Hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus
suatu perkara, Hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau insting
semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan
keilmuan Hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputusnya.
Teori pendekatan pengalaman
Pengalaman
dari seorang Hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi
perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang
dimilikinya, seorang Hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang
dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban
maupun masyarakat.
Teori Ratio Decidendi
Teori ini
didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek
yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari
peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang
disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan
Hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan
memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “dalam memeriksa dan
memutuskan perkara, Hakim bertanggung jawab atas penerapannya dan putusan yang
dibuatnya. Penetapan dan putusan tersebut harus memuat pertimbangan Hakim yang
didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.
Adanya
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, maka kebebasan Hakim menjadi semakin besar,
atau dapat dikatakan Hakim tidak hanya dapat menetapkan tentang hukumannya,
tetapi Hakim juga dapat menemukan hukum dan akhirnya menetapkannya sebagi
putusan dalam suatu perkara.
Kebebasan
Hakim dalam menetapkan hukuman harus melalui pembuktian, hal ini sebagai
ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam upaya mencari dan
mempertahankan kebenaran. Baik Hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat
hukum terikat pada ketentuan taata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan
undang-undang. Semua pihak tidak boleh secara leluasa bertindak dengan caranya
sendiri dalam menilai suatu pembuktian. Secara teoritis, ada beberapa teori
sistem pembuktian yang digunakan untuk membktikan perbuatan yang didakwakan,
yaitu:
- Teori sistem pembuktian berdasarkan atas undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie), maksudnya jika terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan Hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formale bewijstheorie).
- Teori sistem pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim semata conviction in time sistem ini dianut oleh peradilan juri di Perancis.53 Dimana keyakinan Hakim digunakan dalam pembuktian, Sebab keyakinan Hakim dianggap menentukan wujud kebenaran sejati.
- Teori sistem pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan yang logis laconvication raisonnee konsep gabungan antara sistem pertama dan kedua. Menurut teori ini Hakim dapat memutuskan sesorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peratturan pembuktian tertentu.
- Teori sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif negatief wettljk stelsel hal ini dapat dilihat dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP menetapkan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan pada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan Hakim yang diperoleh dari alat bukti tersebut.
Berdasarkan Pasal 183 KUHAP maka alat alat bukti sah yang
dapat digunakan Hakim dalam menentukan bahwa tindak pidana yang dilakukan
pelaku benar-benar merupakan tindak pidana adalah sebagai berikut:
- Keterangan saksi adalah alat bukti yang mendatangkan saksi di sidang pengadilan.
- Keterangan ahli adalah seorang ahli yang dapat membuktikan atau menyatakan kebenaran perkara disidang pengadilan .
- Surat adalah dokumen atau lainnya dalam bentuk resmi yang memuat keterangan tentang kejadian keadaan yang didengar,dilihat atau yang dialami sendiri ,disertai alasan yang tegas dan jelas tentang keterangan tersebut.
- Petunjuk adalah perbuatan ,kejadian atau keadaan,yang karena penyesuaiannya,baik antara yang satu dengan yang lain ,maupun dengan tindak pidana itu sendiri,menandahkan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
- Keterangan terdakwa adalah terdakwa menyatakan dipersidangan tentang perbuatan yang dilakukan atau yang diketahui sendiri atau dialami sendiri.
Konsep
pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan mekanisme yang menentukan dapat
dipidananya pembuat, sehingga hal tersebut berpengaruh bagi Hakim. Hakim harus
mempertimbangkan keseluruhan aspek tersebut, baik dirumuskan secara positif
maupun negatif. Hakim harus mempertimbangkan hal tersebut sekalipun penuntut
umum tidak dapat membuktikannya. Sebaliknya ketika terdakwa mengajukan
pembelaan yang didasarkan pada alasan yang menghapus kesalahan, maka Hakim berkewajiban untuk memasuki
masalahnya lebih dalam. Sesuai kode etik setiap
Hakim indonesia mempunyai pegangan tingkah laku yang harus dipedomaninya, yaitu
bahwa didalam persidangan seorang Hakim:
- Harus bertindak menurut garis-garis yang dibenarkan dalam hukum acara yang berlaku dengan memperhatikan asas-asas keadilan yang baik, yaitu:
- Menjungjung tinggi hak seseorang untuk mendapatkan putusan (right to decision) dalam arti setiap orang berhak untuk mengajukan perkara dan dilarang menolak untuk mengadilinya. Kecuali ditentukan lain oleh undang-undang, serta putusan harus dijatuhkan dalam waktu yang pantas;
- Semua pihak yang berperkara berhak atas kesempatan dan perlakuan yang sama untuk didengar, diberikan kesempatan untuk membela diri, mengajukan bukti-bukti, serta memperoleh informasi dalam proses pemeriksaan (a fair hearing)
- Putusan dijatuhkan secara objektif tanpa dicermati oleh kepentingan pribadi atau pihak lain (no bias) dengan menjungjung tinggi prinsip (nemo judex in resua)
- Putusan harus memuat alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat dimengerti serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang sisematis (Reasones and argumentation of decision). Argumentasi tersebut harus diawasi (Controleerbaarheid) den diikuti serta dapat dipertanggungjawabkan (accountability) guna menjamin sifat keterbukaan (Transparency) dan kepastian hukum (Legal Certainity) dalam proses peradilan
- Menjungjung tinggi hak asasi manusia
- Tidak dibenarkan menunjukan sikap memihak atau bersimpati ataupun antipati kepada pihak-pihak yang berpekara, baik dalam ucapan maupun tingkah laku
- Harus bersikap sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
- Harus menjaga kewibawaan dan kehidmatan persidangan antara lain serius dalam memeriksa, tidak melecehkan pihak-pihak, baik dengan kata maupun perbuatan.
- Bersungguh-bersungguh mencari kebenaran dan keadilan.