Kedudukan Hukum Pelaku Transeksual dalam Kewarisan Islam
Sunday, 27 November 2016
SUDUT HUKUM | Kedudukan hukum
pelaku transeksual sangat ditentukan oleh hukum transeksual.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa hukum transeksual-bagi operasi alat
kelamin yang jelas dan normal- dalam Islam adalah haram, maka hasil transeksual
(operasi kelamin) tidak diakui. Pelaku transeksual wanita merubah kelamin
menjadi pria, dalam Islam kedudukan hukum sebagai pria tidak diakui. Dalam
hal ini yang bersangkutan tetap diakui sesuai dengan kelamin sebelum
melakukan transeksual. Demikian pula sebaliknya pria yang melakukan
transeksual menjadi wanita, kedudukan hukumnya tetap diakui sebagai pria.
(Baca juga: Hukum Operasi Kelamin dalam Islam)
Kedudukan hukum
pelaku transeksual tetap sesuai dengan jenis kelaminnya sebelum melakukan
transeksual, sebagaimana dinyatakan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia
tanggal 1 Juni 1980, keputusan nomor 2, “Orang yang kelaminnya diganti
kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula
sebelum dirubah.”14 Demikian pula hal ini dipertegas melalui musyawarah nasional
MUI tanggal 27 Juli 2010 di Jakarta, sebagaimana disampaikan oleh
sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh: “Karena keabsahannya tidak
boleh ditetapkan, maka kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah
melakukan operasi kelamin tetap dengan jenis kelamin semula seperti sebelum
operasi. Tanpa kecuali bagi mereka yang sudah mendapat penetapan
pengadilan,”.
Memperhatikan
kedudukan hukum pelaku transeksual tetap diakui sesuai dengan jenis
kelamin semula sebelum operasi kelamin, maka bagi transgender pria yang merubah
kelaminnya menjadi wanita, dalam kewarisan Islam kedudukan hukumnya
tetap diakui sebagai ahli waris pria. Demikian pula sebaliknya,
transgender wanita yang melakukan operasi kelamin menjadi pria, dalam kewarisan
Islam kedudukan hukumnya tetap diakui sebagai ahli waris wanita.
Demikian pula
dinyatakan dalam buku Kajian Fiqh Kontemporer: Apabila sifat dan tujuan
operasi kelaminnya itu tabdil/taghyiril khilqah (merubah
ciptaan Allah) dengan jalan
operasi penggantian jenis kelamin dari pria menjadi wanita atau sebaliknya,
maka status jenis kelaminnya tetap, tidak berubah, sehingga kedudukannya
sebagai ahli waris tetap berstatus dengan jenis kelaminnya yang asli pada waktu
lahirnya. Karena itu, seorang wanita yang melakukan operasi ganti kelamin
menjadi pria, tidak berhak menuntut bagian warisannya sama dengan bagian pria,
sebab ia menurut hukum tetap berstatus sebagai wanita.
Sedangkan bagi
pelaku operasi kelamin dalam rangka untuk tahsin/takmil, hanya untuk
memperbaiki atau menyempurnakan jenis kelaminnya saja, maka kedudukan hukumnya
dalam kewarisan Islam sesuai dengan jenis kelaminnya setelah operasi. Pengakuan kedudukan hukum jenis kelamin
sesuai dengan hasil operasi
kelamin, mengingat operasi kelamin yang dilakukan dalam rangka perbaikan atau
penyempurnaan jenis kelamin. Hal ini juga ditegaskan dalam fatwa MUI tahun
1980, diktum nomor 3 menyatakan: “Seorang khuntsa (banci) yang
kelaki-lakiannya lebih jelas boleh disempurnakan kelaki-lakiannya. Demikian pula sebaliknya dan hukumnya menjadi positif
(laki-laki).