Peraturan Mengenai Tindak Pidana Penistaan Agama
Thursday, 10 November 2016
SUDUT HUKUM | Perlu diketahui bahwa Code Penal
sendiri tidak mengatur mengenai delik agama, yang ada hanyalah
undang-undang mengenai Godslastering di Negeri Belanda pada tahun 1932
yang terkenal dengan nama Lex Donner oleh Menteri Donner yang menciptakan
undang-undang tersebut. Undang-undang di Jerman dalam Strafgesetzbuch mencantumkan
delik agama dalam Pasal 166, tampaknya menjadi model dan ilham
bagi Negeri Belanda, yang tidak memiliki aturan mengenai delik agama tersebut
di tengah-tengah kehidupan hukum di sana dan tidak mengadakan
transfer ke Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Akhirnya tindak pidana penistaan
terhadap agama diatur di dalam Pasal 156 dan Pasal 156a huruf
(a) Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yang merumuskan:
“Dipidana dengan pidana penjara
selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
- yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
- dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Di negeri Belanda, Jerman dan
lain-lain, bahwa ucapan, pernyataan ataupun perbuatan-perbuatan yang
mengejek Tuhan, memiliki peraturan sendiri, suatu Godslasteringswet di
samping peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan delik¬delik agama, ataupun
pernyataan terhadap Tuhan, Nabi dan lain-lainnya dituangkan dalam satu
ketentuan seperti di Inggris, yaitu blasphemy.
Selanjutnya menurut Oemar Seno
Aji yang dikutip oleh Ismuhadi, tindak pidana penistaan terhadap
agama di Indonesia sendiri diatur di dalam Pasal 156 dan Pasal 156a huruf
(a) Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yang dimasukkan pada tahun 1965 dengan Penetapan
Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama kedalam kodifikasi mengenai delik agama.
Namun demikian, Indonesia
dengan Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa
prima, tidak memiliki suatu afweer terhadap serangan kata-kata mengejek
terhadap Tuhan. Tidak terdapat di sini suatu perundang-undangan semacam Godslasteringswet
ataupun blasphemous libel di atas. Hal ini dikemukakan
sebagai suatu kekurangan yang vital dalam suatu negara yang berdasarkan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tindak pidana penistaan terhadap
agama yang diatur di dalam Pasal 156 Undang-Undang Republik
Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
adalah salah satu dari haatzaai-artikelen yang befaamd dirumuskan
dengan perbuatan pidana yang kontroversial, yaitu mengeluarkan pernyataan perasaan
bermusuhan, benci atau merendahkan dengan objek dari perbuatan
pidana tersebut, ialah golongan penduduk, yang kemudian diikuti oleh
interprestasi otentik. Dikatakan dalam Pasal 156 Undang-Undang Republik
Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kemudian,
bahwa yang dimaksudkan dengan golongan penduduk ialah golongan yang berbeda,
antara lain karena agama dengan golongan penduduk yang lain.
Maka
suatu pernyataan perasaan di muka umum yang bermusuhan, benci atau
merendahkan terhadap golongan agama, dapat dipidanakan berdasarkan Pasal
156a Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Selanjutnya istilah dalam bahasa Belanda,
yaitu ongelukkig adalah pernyataan yang ditujukan terhadap golongan agama
itu ditempatkan dalam salah satu haatzaaiartikelen (pasal-pasal dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia).
Selanjutnya Pasal 156a huruf (a)
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana memidanakan barangsiapa di muka
umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
- yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalagunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
- dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Seperti telah dikemukakan di
atas, pasal ini dimasukkan dalam kodifikasi delik agama pada
Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama, dimana dalam Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun
1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama melarang
untuk dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang
suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan dari agama itu, penafsiran dan
kegiatan-kegiatan mana menyimpang dari pokok ajaran agama itu.
Selanjutnya barangsiapa melanggar
ketentuan dalam Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun
1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, ia
diberi peringatan dan diperintahkan untuk menghentikan perbuatannya itu ke
dalam suatu keputusan bersama menteri agama, jaksa agung dan menteri
dalam negeri. Jika yang melanggar itu suatu organisasi atau aliran
kepercayaan, ia oleh presiden setelah mendapat pertimbangan dari menteri agama,
menteri/jaksa agung dan menteri dalam negeri, dapat dibubarkan dan
dinyatakan sebagai organisasi/aliran terlarang.
Jika setelah diadakan
tindakan-tindakan sebagaimana tersebut di atas, ia masih terus melanggar
ketentuan dalam Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, maka orang/anggota atau anggota
pengurus dari organisasi/aliran tersebut dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima)
tahun.
Sandaran dari peraturan tersebut
adalah pertama-tama melindungi ketenteraman beragama dari
pernyataan ataupun perbuatan penodaan/penghinaan serta ajaran-ajaran untuk
tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.