Putusan Peradilan Tata Usaha Negara
Monday, 21 November 2016
SUDUT HUKUM | Putusan Peradilan Tata Usaha
Negara merupakan produk hukum suatu Pengadilan Tata Usaha Negara. Suatu putusan
pengadilan diambil untuk memutuskan suatu sengketa, yang diserahkan
kepadanya dalam rangka yang dinamakan jurisdiction contentiosa. Sebelum
putusan itu dijatuhkan, terlebih dahulu majelis hakim bermusyawarah dalam ruangan
tertutup untuk mempertimbangkan putusan sengketa itu. Hakim ketua majelis memimpin
musyawarah itu untuk mendapatkan putusan yang merupakan mufakat bulat.
Bila hal itu tidak tercapai, maka permusyawaratan ditunda sampai musyawarah
berikutnya. Apabila hal itu gagal setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh, lalu
putusan diambil dengan suara terbanyak dan kalau itupun tidak tercapai, maka suara
terakhir hakim ketua majelis tadi yang menentukan.
Putusan berdasarkan golongan
dapat berupa, pertama, putusan akhir, adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa
atau perkara dalam suatu tingkat peradilan tertentu; kedua, putusan sela
atau putusan antara, adalah putusan yang fungsinya memperlancar pemeriksaan. Putusan sela
dijatuhkan terhadap eksepsi yang dilakukan karena menyangkut
atribusi serta distribusi atau seperti hal yang dimaksud oleh Pasal 83.
Menurut sifatnya, amar putusan
atau dictum putusan itu dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu:
- Putusan condemnatoir, yaitu yang amarnya berbunyi: “Menghukum dan seterusnya …”
- Putusan yang konstitutif, yaitu yang amarrnya menimbulkan suatu keadaan hukum baru, atau meniadakan keadaan hukum baru.
Adapun amar putusan diatur dalam
Pasal 97 ayat (3) berupa:
- Gugatan Ditolak
Menolak gugatan, berarti
memperkuat KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan. Pada umumnya suatu gugatan ditolak oleh majelis hakim, karena
alat-alat bukti yang diajukan pihak tergugat tidak dapat mendukung gugatannya, atau
alat-alat bukti yang diajukan pihak tergugat lebih kuat.
- Gugatan Dikabulkan
Suatu gugatan dikabulkan, adakalanya
pengabulan seluruhnya atau menolak sebagian lainnya. Isi putusan pengadilan
yang mengabulkan gugatan pihak penggugat itu, berarti tidak membenarkan KTUN
yang dikeluarkan oleh pihak tergugat, atau tidak membenarkan sikap tidak berbuat
apa-apa yang dilakukan oleh tergugat, padahal itu sudah merupakan kewajibannya.
Bilamana gugatan dikabulkan maka
pihak tergugat (Instansi/Pejabat Tata Usaha Negara) berkewajiban melakukan
hal yang diatur Pasal 97 ayat (8) dan (9). Dalam rangka pihak tergugat
melaksanakan kewajiban-kewajiban itu yang perlu diperhatikan adalah petitum
gugatan dalam korelasinya dengan diktum putusan.
Artinya, petitum apa sajakah yang
dikabulkan menjadi diktum putusan. Ke dalam diktum putusan “gugatan
dikabulkan”, sedangkan petitum gugatan menyatakan “batal” atau “tidak sah” yang
maknanya berbeda juga dalam implikasi pelaksanaan kewajiban yang dapat disertai
pembebanan ganti rugi dan pemberian rehabilitasi pada Pasal 97 ayat (10) dan (11).
- Gugatan Tidak Diterima
Putusan pengadilan yang berisi
tidak menerima gugatan pihak penggugat, berarti gugatan itu tidak memenuhi
persyaratan yang ditentukan. Persyaratan tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam
prosedur dismissal dan atau pemeriksaan persiapan. Dalam prosedur atau
tahap tersebut, Ketua Pengadilan dapat menyatakan gugatan tidak dapat diterima,
karena alasan gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat tidak memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan.
- Gugatan Gugur
Putusan pengadilan yang
menyatakan gugatan gugur dalam hal para pihak atau kuasanya tidak hadir dalam
persidangan yang telah ditentukan dan mereka telah dipanggil secara patut, atau perbaikan
gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat telah melampaui tenggang waktu
yang ditentukan (daluwarsa).
UU PTUN tidak mengatur perihal
tentang manakala pihak penggugat meninggal dunia. Dalam hukumm acara perdata
setelah kematian diberitahukan, pemeriksaan perkara terhenti (schorsing),
segala tindakan-tindakan prosesuil tidak sah, gugatan kemudian dapat dilanjutkan oleh
ahli waris. Dalam
perkara administrasi menurut Sjachran Basah, tidak dengan
sendirinya gugatan dinyatakan gugur, akan tetapi pihak ahli waris penggugat akan
dipanggil untuk ditanya, apakah gugatan akan diteruskan atau dicabut.
Demikian
pula perubahan status salah satu pihak, misalnya apabila salah satu pihak
kehilangan kemampuan untuk bertindak , dan juga apabila kualitas seseorang dalam
beracaraberhenti, meninggalnya wakil salah satu pihak yang berpekara, menyebabkan pula
terhentinyajalannya pemeriksaan.
Putusan ini diucapkan dalam
siding terbuka untuk umum. Hal ini merupakan salah satu asas dalam hukum acara, dan
jika tidak dipenuhi akan berakibat bahwa putusan itu tidak sah, serta tidak
mempunyai kekuatan hukum atau batal demi hukum.
Bilamana salah satu pihak atau
para pihak tidak hadir tatkala putusan diucapkan, maka hakim ketua siding
memerintahkan salinan putusan itu disampaikan dengan “surat tercatat” kepada yang
bersangkutan. Suatu putusan harus memuat, memenuhi syarat-syarat, dan susunan yang
diatur dalam Pasal 109 sebagai berikut:
a. Kepala Putusan
Putusan haruslah mempunyai kepala
putusan pada bagian atas putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan ini memberikan kekuatan eksekutorial
pada putusan, apabila kepala putusan ini tidak dicantumkan pada suatu putusan
pengadilan, maka putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan bahkan lebih jauh
diancam dengan pembatalan.
b. Identitas Para Pihak
Para pihak harus didengar “audi
alteram partem”. Hal ini berarti sekurang-kurangnya ada 2 (dua) pihak dalam suatu
perkara. Di dalam putusan harus dimuat identitas para pihak itu yang menyangkut nama,
kewarganegaraan, tempat tinggal, pekerjaan, atau tergugat kedudukan. Bila hal itu
tidak dimuat, dapat menyebabkan putusan batal.
c. Ringkasan
Harus dibuat secara jelas dari
ringkasan gugatan dan jawaban. Hal ini menunjukan bahwa adanya hubungan antara yang
diminta oleh pihak penggugat dalam gugatan dan bantahan atas gugatan pihak
tergugat. Apabila tidak maka putusan pun dapat batal.
d. Pertimbangan (Considerans)
Pertimbangan atau lazim juga
dikatakan konsiderans, merupakan dasar dari pada putusan. Pertimbangan dalam
putusan dapat juga pertimbangan tentang duduknya perkara dan pertimbangan tentang
hukumnya. Walaupun para pihak mengemukakan duduk perkara, akan tetapi oleh
karena hakim tata usaha negara itu pada prinsipnya aktif, disarankan agar dapat pula
hakim menyempurnakannya. Sedangkan soal hukumnya adalah semata-mata
urusan hakim. Dalam pertimbangan putusan dimuat alasan-alasan hakim secara tepat
dan rinci, termasuk ke dalamnya penilaian secara yuridis terdapat setiap bukti
yang diajukan dan hal-hal yang terjadi dalam persidangan selama proses
sengketa itu diperiksa. Ikhwal tersebut merupakan pertanggungjawabannya kepada
masyarakat. Karena itu putusan harus obyektif.
Dengan demikian, pertimbangan
memuat alasan-alasan dan dasar dari putusan hakim. Hakim tata usaha negara
melengkapi segala alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak. Sehingga dengan
demikian, putusan harus lengkap dan cukup dipertimbangkan dengan cermat dan
seksama. Apabila sebaliknya, dapat dijadikan alasan untuk kasasi dan diancam
dengan pembatalan.
e. Alasan Hukum
Alasan harus bersifat yuridis dan
menjadi dasr putusan. Putusan harus dimuat pasalpasal
tertentu dari peraturan-peraturan
yang bersangkutan dan sumber hukum yang tidak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili. Bilamana sebaliknya, maka dapat menyebabkan putusan batal.
f. Amar Putusan (Diktum) dan
Biaya Sengketa
Diktum adalah apa yang diputuskan
secara final oleh Pengadilan. Diktum tersebut harus dibedakan dengan
penilaian/pengujian (toetsing) mengenai berdasar tidaknya gugatan yang bersangkutan. Amar
atau diktum putusan merupakan jawaban terhadap petitum daripada gugatan, Hal ini
berarti hakim wajib mengadili semua bagian daripada “tuntutan”, dan juga
akhirnya ditetapkan jumlah dan kepada siapa biaya perkara harus dibebankan.
Lazimnya pihak yang dikalahkan dihukum harus membayar biasa perkara baik
sebagian, ataupun seluruhnya. Ke dalam biaya perkara termasuk diantara biaya-biaya
untuk kepaniteraan, materai, para saksi (maksimal 5), dan pemeriksaan di tempat di luar
ruangan sidang. Bagian diktum dalam putusan pengadilan dimulai dengan dimulai
dengan kepala “Memutuskan”. Apabila hal itu tidak dimuat, dapat menyebabkan
putusan batal.
g. Waktu, Nama Hakim, Panitera,
dan Keterangan lain
Dalam putusan itu dimuat pula
mengenai hari, tanggal, nama (majelis) hakim yang memutuskan perkara tersebut, dan
nama Panitera. Sedangkan yang dimaksud dengan keterangan lain, yaitu disebutkan
mengenai kehadiran atau tidak para pihak di persidangan. Para hakim yang
memeriksa dan memutuskan perkara itu dan paniteranya yang ikut bersidang
harus menandatangani putusan itu. Apabila hakim anggota majelis berhalangan
menandaangani putusan, maka hakim ketua majelis menandatanganinya dengan
menyatakan, bahwa ia berhalangan.
Memperhatikan hal-hal tersebut di
atas, syarat-syarat putusan sebagaimana diuraikan diatas memegang peranan penting
dalam menentukan sah atau tidaknya suatu putusan.