Sanksi Pidana Terhadap Penistaan Agama Menurut Hukum Positif
Tuesday, 8 November 2016
SUDUT HUKUM | Sanksi pidana
dalam KUHP sesungguhnya bersifat reaktif dalam suatu perbuatan,
sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan
tersebut.
Menurut Alf
Ross Sanksi pidana adalah suatu sanksi yang harus
memenuhi dua syarat/tujuan.
Pertama: pidana dikenakan kepada pengenaan penderitaan terhadap orang yang
bersangkutan. Kedua: pidana itu harus merupakan suatu pernyataan pencelaan
terhadap perbuatan si pelaku.
Perumusan
sanksi pidana dalam KUHP pada umumnya memakai dua pilihan, misalnya
pidana penjara atau denda (system alternative).
Jika dipandang dari sudut sifatnya ,
sanksi merupakan akibat hukum dari pada pelanggaran suatu kaidah, hukuman dijatuhkan
berhubung dilanggarnya suatu normaoleh seseorang. Mengenai
aturan penodaan agama, sanksi yang dikenakan adalah sanksi penjara sebagai bagian
dari sanksi pidana dengan membuat pelaku tersebut menderita, sanksi penodaan agama
ini diatur dalam pasal 2 UU PNPS No 1/1965 (jo Undang-Undang No 5/1965) dan
pasal 156a KUHP. Pasal 2 UU PNPS No 1/1965 menyebutkan: Ayat (1)
Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Ayat (2) “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi atau aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Baca Juga
Sesuai dengan
kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang ataupun penganut-penganut
suatu aliran kepercayaan maupun anggota maupun anggota pengurus
organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam pasal 1, untuk permulaannya
dirasa cukup diberi nasehat seperlunya. Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh
organisasi atau penganut-penganut kepercayaan dan mempunyai efek yang cukup
serius bagi masyarakat yang beragama, maka Presiden berwenang untu membubarkan
organisasi itu dan untuk menyatakan sebagai organisasi atau aliran terlarang
dengan akibat-akibatnya.
Dalam
pasal 3 disebutkan:
Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidanna dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun”.
Pemberian
ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini adalah tindakan lanjutan terhadap
anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan tersebut, dalam pasal 2. Oleh karena
aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai bentuk seperti organisasi/perhimpunan,
di mana mudah dibedakan siapa pengurus dan siapa anggotanya,
maka mengenai aliran kepercayaan, hanya penganutnaya yang masih melakukan
pelanggaran yang dapat dikenakan pidana, sedang pemuka aliran sendiri yang
menghentikan kegiatannya tidak dapat dituntut. Mengingat sifat dari tindak pidana dalam
pasal ini, maka ancaman pidana 5 tahun dirasa sudah wajar.
Dalam pasal 4
disebutkan: Pada KUHP diadakan pasal baru yaitu pasal 156a yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. b. Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sanksi penjara
tersebut diberlakukan jika tersangka telah terbukti secara sah dan meyakinkan
dan diputuskan oleh pengadilan dengan ancaman hukuman maksimal lima
tahuk penjara, dikatakan maksimal, artinya jumlah pidana tersebut pelaku
penistaan agama dalam KUHP adalah lima tahun penjara atau bahkan dapat diberikan hukuman minimum.