Sejarah Lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Monday, 7 November 2016
SUDUT HUKUM | Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal, terdapat di semua lapisan dan kelompok masyarakat di dunia. Keluarga adalah miniatur masyarakat, bangsa dan negara. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, ikatan antara kedua orang berlainan jenis dengan tujuan membentuk keluarga. Ikatan suami istri yang didasari niat ibadah diharapkan tumbuh berkembang menjadi keluarga (rumah tangga) bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dapat menjadi masyarakat yang beriman, bertakwa, berilmu pengetahuan, teknologi dan berwawasan nusantara[1].
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling berat diterpa oleh arus globalisasi dan kehidupan modern. Dalam era globalisasi, kehidupan masyarakat cenderung materialistis, individualistis, kontrol sosial semakin lemah, hubungan suami istri semakin merenggang, hubungan anak dengan orang tua bergeser, kesakralan keluarga semakin menipis[2]. Untuk memelihara dan melindungi serta meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah undang-undang yang mengatur perkawinan dan keluarga[3].
Telah lama umat Islam di Indonesia ingin memiliki hukum perkawinan tertulis. Keinginan ini sudah muncul pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam makalah ini, Penulis akan mencoba untuk memaparkan sekilas tentang sejarah lahirnya undang-undang No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut dan berbagai hal tentang poligami dan perceraian.
1. Masa Kerajaan Islam di Indonesia
Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.
Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasei di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i [4]. Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel[5]. Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan[6]. Sementara itu, di bagian timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i[7].
2. Masa Penjajahan di Indonesia
Pada masa kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer, mengikuti nama penghimpunnya[8]. Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa)[9]. Ketika pemerintahan VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur berubah terhadap hukum Islam.
Pada Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yokyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah [10].
Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim[11]. Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.
3. Masa Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali[12].
Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No: 19 tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga dan seterusnya[13].
Pada tanggal 6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah perkawinan monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon pengantin[14].
4. Masa Menjelang Kelahiran UU Perkawinan
Pada tahun 1973 Fraksi Katolik di Parlemen menolak rancangan UU Perkawinan yang berdasarkan Islam. Konsep RUU Perkawinan khusus umat Islam yang disusun pada tahun 1967 dan rancangan 1968 yang berfungsi sebagai Rancangan Undang Undang Pokok Perkawinan yang di dalamnya mencakup materi yang diatur dalam Rancangan tahun 1967. Akhirnya Pemerintah menarik kembali kedua rancangan dan mengajukan RUU Perkawinan yang baru pada tahun 1973[15].
Pada tanggal 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili Pemerintah membawa konsep RUU Perkawinan yang di setujui DPR menjadi Undang-Undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara No: 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.
B. Poligami
Hukum perkawinan Islam menempatkan perempuan dalam posisi yang terbaik dibanding dengan sistem-sistem hukum yang pernah ada. Sebagian besar Ulama berpendapat bahwa perkawinan yang ideal adalah perkawinan monogami. Kebolehan perkawinan poligami merupakan pintu “darurat” bagi suami yang “daruri”. Oleh sebab itu, para Ulama menyetujui penetapan syarat-syarat yang berat bagi laki-laki dalam berpoligami.
Perkawinan poligami yang tidak mengikuti prosedur dan tidak memenuhi syarat maka ditindak sebagai tindak pidana kejahatan dengan ancaman hukuman paling lama 5 tahun (Pasal 279 KUH Per). Bahkan menurut Prof. Soebekti, bahwa dalam kondisi apapun orang-orang yang pernah tunduk kepada hukum perkawinan yang menganut monogami mutlak, setelah diberlakukannya UU No: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka tidak boleh mengambil istri kedua dan seterusnya. Pendapat Soebekti ini banyak dianut oleh para hakim dilingkungkan Pengadilan Negeri, seperti Hakim di Pengadilan Negeri Selong Lombok Timur NTB pada tahun 1976 yang mengenakan pasal 279 KUH Per dengan ancaman 5 tahun penjara bagi pelanggaran poligami non prosedural dan tidak memenuhi syarat. Namun penafsiran tersebut mendapat tantangan keras dari berbagai pihak, karena meletakkan atas monogami perkecualian yang dianut UU No: Tahun 1974 tentang Perkawinan serta UU No: 22 Tahun 1946 jo. UU No: 32 Tahun 1954.
Lahirnya UU Perkawinan merupakan hukum nasional. Pasal 66 UU No: 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam KUH Per, HOCI, Peraturan Perkawinan Campuran dan peraturan-peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian berdasarkan pada Pasal 66 tersebut, maka jelas Soebekti tentang ketundukan penduduk kepada KUH Per tersebut kurang tepat.
C. Perceraian
Perceraian merupakan salah satu ancaman dan gangguan terhadap kebahagiaan keluarga, perceraian dipandang sebagai bentuk kegagalan berkeluarga. Besarnya angka perceraian dapat dipakai sebagai indikator tentang besarnya keluarga yang tidak stabil yakni keluarga yang gagal. Untuk mengantisipasi dan godaan terhadap keutuhan keluarga, perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan terjadinya perceraian. Salah satu asas UU No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah mempersulit perceraian. Namun perlu disadari bahwa perceraian hanyalah tentang adanya ketidakharmonisan dalam hubungan suami istri sebagai gejala masalah dalam rumah tangga. Hukum tidak mampu menjangkau hal-hal yang bersifat batin. Hukum pada UU Perkawinan pada hanyalah akan menangani perceraian sepanjang kewenangannya.
Upaya mempersulit perceraian dalam UU No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah dengan menetapkan syarat perceraian dengan dasar alasan-alasan tertentu dan diucapkan di depan sidang pengadilan. Alasan dan prosedur ini dituangkan dalam Pasal 39-40 UU No: 1 tahun 1974 jo. Pasal 19 PP No: 9 Tahun 1975 yaitu salah satu pihak atau kedua-duanya zina, pemabuk yang sukar disembuhkan, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun tanpa izin, salah satu pihak mendapat hukuman 5 tahun atau lebih, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berbahaya, salah satu pihak mendapat cacat badan sehingga tidak dapat melakukan fungsinya sebagai suami/istri, atau terus menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Keadaan persamaan hak perempuan dan laki-laki di Indonesia sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi perempuan di negeri-negeri Baraty yang menonjolkan emansipasi, women Liberation, hak asasi wanita dan sebagainya. Perjuangan para kaum perempuan di Indonesia saat ini tinggal meneruskan dan mengembangkan apa yang telah dimiliki, di samping memberikan tafsir baru terhadap ayat-ayat kitab-kitab suci dari agama yang ada, serta membuat rumusan fikih baru perempuan. Emansipasi dalam UU No: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan itu dituangkan dalam rumusan asa persamaan hak dan kedudukan suami dan istri dalam kehidupan keluarga dan kehidupan bermasyarakat[16].
Kedudukan hak dan kedudukan antara suami dan istri dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masyarakat merupakan asas perkawinan yang diharapkan terwujud dalam setiap keluarga melalui pelaksanaan Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut. Keseimbangan hak dan kedudukan ini dapat dilihat melalui :
Pelaksanaan Pasal 6 ayat (1) UU No. Tahun 1974 Perkawinan tentang kesepakatan pihak calon pengantin laki-laki dan pengantin perempuan untuk melangsungkan perkawinan. Pasal ini tidak berbeda dengan PAsal 28 KUH Per (untuk golongan Belanda dan Eropa) dan Pasal 3 staatsblad 1933 No: 74 (bagi pribumi beragama Kristen).
Pembentukan dan pembagian harta bersama dalam perkawinan sebagai diatur dalam Pasal 35 s.d Pasal 37 UU No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Isi pasal-pasal ini sedikit berbeda dengan Pasal 131-139 KUH Per. Kecenderungan pasangan-pasangan muda membuat perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan dapat dipandang sebagai tanda keseimbangan hak dan kedudukan antara istri dan suami dalam keluarga dan di masyarakat. Di pihak lain, banyak pula yang berkomentar bahwa perbuatan perjanjian khusus tentang harta ini mecerminkan mulai berkurangnya rasa pengabdian dan pengorbanan (calon) suami dan (calon) istri terhadap keluarga yang akan dibentuknya.
Kewenangan istri berbuat hukum. Seorang istri menurut Pasal 38 ayat (2) UU No: 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa seorang istri berwenang mengelola harta pribadinya sendiri, istri juga bersama-sama dengnan suami berwenang mengelola harta bersama mereka. Kedudukan istri menurut UU Perkawinan ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan kedudukan istri menurut Pasal 142 KUH per. Namun demikian harus dikemukakan disini bahwa kemajuan prinsip ini belum dikembangkan sampai ke bidang-bidang lainnya, seperti hukum bisnis dan sejenisnya.
Pertumbuhan jumlah erai yang diprakasai oleh istri (cerai gugat) disbandingkan dengan jumlah cerai talak yang merupakan pelaksanaan hak suami untuk menceraikan istri (cerai talak), merupakan indikator yang kuat bahwa telah terjadi kecenderungan semakin seimbangnya hak dan kedudukan istri dari suami baik dalam rumah tangga maupun di masyarakat.
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan justru memberikan keseimbangan hak dan kedudukan antara suami dan istri dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masyarakat dibandingkan hukum yang sebelumnya.
Perlu diketahui bahwa lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum Islam di Indonesia melalui proses yang cukup panjang dari masa sebelum masa kemerdekaan hingga kemerdekaan. Sehingga konsep undang-undang tersebut tidak terlepas dari berbagai pihak. Namun sebelum lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkainan, hukum Islam di Indonesia telah muncul undang-undang lain tetapi kehadirannya mengalami pro dan kontra dari berbagai kalangan sehinggaperlu adanya berbagai perbaikan. Berangkat dari berbagai perbaikan undang-undang tersebut maka menjelmalah sebuah undang-undang yakni Undang-Undang Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sementara dalam hal poligami, pada dasarnya hukum Islam di Indonesia tidak diperbolehkan namun dengan keterkecualian. Pemerintah melalui undang-undang telah berupaya untuk memberatkan poligami dengan berbagai syarat agar suami tidak beristri lebih dari satu. Persyaratan tersebut diharapkan dapat meminimalisasi poligami dalam masyarakat.
Sedangkan masalah perceraian dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan hak dan kedudukan antara suami istri meiliki kesamaan atau keseimbangan yakni istri bisa mengajukan cerai gugat. Meskipun hak cerai atau yang biasa disebut dengan cerai talak adalah hak suami namun istri dapat mengajukan cerai gugat dipengadilan.
[2] T.O.Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 284-301.
[3] Sajtipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1979, hal. 146-147.
[4] Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hal. 53.
[5] Hamka, I b i d, hal. 145-155.
[6] Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal. 70.
[7] Mawarti Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1984, hal. 197.
[8] Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang , 1975, hal. 11.
[9] Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia, dalam Pembangunan no 2 Tahun ke XII, Maret 1982, hal. 101.
[10] Maria Ulfah Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Yayasan Idayu, 1981, hal. 9-10.
[11] Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, hal. 77.
[12] Nani Suwondo, I b i d, hal. 78-79.
[13] Indriaswari Dyah Saptaningrum, Sejarah UU No: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pembakuan Peran Gender, dalam Perspektif Perempuan, Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan, 2000, hal. 53.
[14] R. Soetedjo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Universitas Airlangga Press, 1988, hal. 18.
[15] Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali, Bandung, 1983, hal. 98.
[16] Moh Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, 2003, hal. 36-38.
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling berat diterpa oleh arus globalisasi dan kehidupan modern. Dalam era globalisasi, kehidupan masyarakat cenderung materialistis, individualistis, kontrol sosial semakin lemah, hubungan suami istri semakin merenggang, hubungan anak dengan orang tua bergeser, kesakralan keluarga semakin menipis[2]. Untuk memelihara dan melindungi serta meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah undang-undang yang mengatur perkawinan dan keluarga[3].
Baca Juga
Dalam makalah ini, Penulis akan mencoba untuk memaparkan sekilas tentang sejarah lahirnya undang-undang No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut dan berbagai hal tentang poligami dan perceraian.
A. Sejarah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
1. Masa Kerajaan Islam di Indonesia
Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.
Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasei di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i [4]. Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel[5]. Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan[6]. Sementara itu, di bagian timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i[7].
2. Masa Penjajahan di Indonesia
Pada masa kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer, mengikuti nama penghimpunnya[8]. Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa)[9]. Ketika pemerintahan VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur berubah terhadap hukum Islam.
Pada Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yokyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah [10].
Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim[11]. Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.
3. Masa Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali[12].
Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No: 19 tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga dan seterusnya[13].
Pada tanggal 6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah perkawinan monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon pengantin[14].
4. Masa Menjelang Kelahiran UU Perkawinan
Pada tahun 1973 Fraksi Katolik di Parlemen menolak rancangan UU Perkawinan yang berdasarkan Islam. Konsep RUU Perkawinan khusus umat Islam yang disusun pada tahun 1967 dan rancangan 1968 yang berfungsi sebagai Rancangan Undang Undang Pokok Perkawinan yang di dalamnya mencakup materi yang diatur dalam Rancangan tahun 1967. Akhirnya Pemerintah menarik kembali kedua rancangan dan mengajukan RUU Perkawinan yang baru pada tahun 1973[15].
Pada tanggal 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili Pemerintah membawa konsep RUU Perkawinan yang di setujui DPR menjadi Undang-Undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara No: 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.
B. Poligami
Hukum perkawinan Islam menempatkan perempuan dalam posisi yang terbaik dibanding dengan sistem-sistem hukum yang pernah ada. Sebagian besar Ulama berpendapat bahwa perkawinan yang ideal adalah perkawinan monogami. Kebolehan perkawinan poligami merupakan pintu “darurat” bagi suami yang “daruri”. Oleh sebab itu, para Ulama menyetujui penetapan syarat-syarat yang berat bagi laki-laki dalam berpoligami.
Perkawinan poligami yang tidak mengikuti prosedur dan tidak memenuhi syarat maka ditindak sebagai tindak pidana kejahatan dengan ancaman hukuman paling lama 5 tahun (Pasal 279 KUH Per). Bahkan menurut Prof. Soebekti, bahwa dalam kondisi apapun orang-orang yang pernah tunduk kepada hukum perkawinan yang menganut monogami mutlak, setelah diberlakukannya UU No: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka tidak boleh mengambil istri kedua dan seterusnya. Pendapat Soebekti ini banyak dianut oleh para hakim dilingkungkan Pengadilan Negeri, seperti Hakim di Pengadilan Negeri Selong Lombok Timur NTB pada tahun 1976 yang mengenakan pasal 279 KUH Per dengan ancaman 5 tahun penjara bagi pelanggaran poligami non prosedural dan tidak memenuhi syarat. Namun penafsiran tersebut mendapat tantangan keras dari berbagai pihak, karena meletakkan atas monogami perkecualian yang dianut UU No: Tahun 1974 tentang Perkawinan serta UU No: 22 Tahun 1946 jo. UU No: 32 Tahun 1954.
Lahirnya UU Perkawinan merupakan hukum nasional. Pasal 66 UU No: 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam KUH Per, HOCI, Peraturan Perkawinan Campuran dan peraturan-peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian berdasarkan pada Pasal 66 tersebut, maka jelas Soebekti tentang ketundukan penduduk kepada KUH Per tersebut kurang tepat.
C. Perceraian
Perceraian merupakan salah satu ancaman dan gangguan terhadap kebahagiaan keluarga, perceraian dipandang sebagai bentuk kegagalan berkeluarga. Besarnya angka perceraian dapat dipakai sebagai indikator tentang besarnya keluarga yang tidak stabil yakni keluarga yang gagal. Untuk mengantisipasi dan godaan terhadap keutuhan keluarga, perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan terjadinya perceraian. Salah satu asas UU No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah mempersulit perceraian. Namun perlu disadari bahwa perceraian hanyalah tentang adanya ketidakharmonisan dalam hubungan suami istri sebagai gejala masalah dalam rumah tangga. Hukum tidak mampu menjangkau hal-hal yang bersifat batin. Hukum pada UU Perkawinan pada hanyalah akan menangani perceraian sepanjang kewenangannya.
Upaya mempersulit perceraian dalam UU No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah dengan menetapkan syarat perceraian dengan dasar alasan-alasan tertentu dan diucapkan di depan sidang pengadilan. Alasan dan prosedur ini dituangkan dalam Pasal 39-40 UU No: 1 tahun 1974 jo. Pasal 19 PP No: 9 Tahun 1975 yaitu salah satu pihak atau kedua-duanya zina, pemabuk yang sukar disembuhkan, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun tanpa izin, salah satu pihak mendapat hukuman 5 tahun atau lebih, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berbahaya, salah satu pihak mendapat cacat badan sehingga tidak dapat melakukan fungsinya sebagai suami/istri, atau terus menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Keadaan persamaan hak perempuan dan laki-laki di Indonesia sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi perempuan di negeri-negeri Baraty yang menonjolkan emansipasi, women Liberation, hak asasi wanita dan sebagainya. Perjuangan para kaum perempuan di Indonesia saat ini tinggal meneruskan dan mengembangkan apa yang telah dimiliki, di samping memberikan tafsir baru terhadap ayat-ayat kitab-kitab suci dari agama yang ada, serta membuat rumusan fikih baru perempuan. Emansipasi dalam UU No: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan itu dituangkan dalam rumusan asa persamaan hak dan kedudukan suami dan istri dalam kehidupan keluarga dan kehidupan bermasyarakat[16].
Kedudukan hak dan kedudukan antara suami dan istri dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masyarakat merupakan asas perkawinan yang diharapkan terwujud dalam setiap keluarga melalui pelaksanaan Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut. Keseimbangan hak dan kedudukan ini dapat dilihat melalui :
Pelaksanaan Pasal 6 ayat (1) UU No. Tahun 1974 Perkawinan tentang kesepakatan pihak calon pengantin laki-laki dan pengantin perempuan untuk melangsungkan perkawinan. Pasal ini tidak berbeda dengan PAsal 28 KUH Per (untuk golongan Belanda dan Eropa) dan Pasal 3 staatsblad 1933 No: 74 (bagi pribumi beragama Kristen).
Pembentukan dan pembagian harta bersama dalam perkawinan sebagai diatur dalam Pasal 35 s.d Pasal 37 UU No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Isi pasal-pasal ini sedikit berbeda dengan Pasal 131-139 KUH Per. Kecenderungan pasangan-pasangan muda membuat perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan dapat dipandang sebagai tanda keseimbangan hak dan kedudukan antara istri dan suami dalam keluarga dan di masyarakat. Di pihak lain, banyak pula yang berkomentar bahwa perbuatan perjanjian khusus tentang harta ini mecerminkan mulai berkurangnya rasa pengabdian dan pengorbanan (calon) suami dan (calon) istri terhadap keluarga yang akan dibentuknya.
Kewenangan istri berbuat hukum. Seorang istri menurut Pasal 38 ayat (2) UU No: 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa seorang istri berwenang mengelola harta pribadinya sendiri, istri juga bersama-sama dengnan suami berwenang mengelola harta bersama mereka. Kedudukan istri menurut UU Perkawinan ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan kedudukan istri menurut Pasal 142 KUH per. Namun demikian harus dikemukakan disini bahwa kemajuan prinsip ini belum dikembangkan sampai ke bidang-bidang lainnya, seperti hukum bisnis dan sejenisnya.
Pertumbuhan jumlah erai yang diprakasai oleh istri (cerai gugat) disbandingkan dengan jumlah cerai talak yang merupakan pelaksanaan hak suami untuk menceraikan istri (cerai talak), merupakan indikator yang kuat bahwa telah terjadi kecenderungan semakin seimbangnya hak dan kedudukan istri dari suami baik dalam rumah tangga maupun di masyarakat.
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan justru memberikan keseimbangan hak dan kedudukan antara suami dan istri dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masyarakat dibandingkan hukum yang sebelumnya.
KESIMPULAN
Perlu diketahui bahwa lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum Islam di Indonesia melalui proses yang cukup panjang dari masa sebelum masa kemerdekaan hingga kemerdekaan. Sehingga konsep undang-undang tersebut tidak terlepas dari berbagai pihak. Namun sebelum lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkainan, hukum Islam di Indonesia telah muncul undang-undang lain tetapi kehadirannya mengalami pro dan kontra dari berbagai kalangan sehinggaperlu adanya berbagai perbaikan. Berangkat dari berbagai perbaikan undang-undang tersebut maka menjelmalah sebuah undang-undang yakni Undang-Undang Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sementara dalam hal poligami, pada dasarnya hukum Islam di Indonesia tidak diperbolehkan namun dengan keterkecualian. Pemerintah melalui undang-undang telah berupaya untuk memberatkan poligami dengan berbagai syarat agar suami tidak beristri lebih dari satu. Persyaratan tersebut diharapkan dapat meminimalisasi poligami dalam masyarakat.
Sedangkan masalah perceraian dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan hak dan kedudukan antara suami istri meiliki kesamaan atau keseimbangan yakni istri bisa mengajukan cerai gugat. Meskipun hak cerai atau yang biasa disebut dengan cerai talak adalah hak suami namun istri dapat mengajukan cerai gugat dipengadilan.
DAFTAR RUJUKAN
[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal. 22-23.[2] T.O.Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 284-301.
[3] Sajtipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1979, hal. 146-147.
[4] Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hal. 53.
[5] Hamka, I b i d, hal. 145-155.
[6] Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal. 70.
[7] Mawarti Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1984, hal. 197.
[8] Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang , 1975, hal. 11.
[9] Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia, dalam Pembangunan no 2 Tahun ke XII, Maret 1982, hal. 101.
[10] Maria Ulfah Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Yayasan Idayu, 1981, hal. 9-10.
[11] Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, hal. 77.
[12] Nani Suwondo, I b i d, hal. 78-79.
[13] Indriaswari Dyah Saptaningrum, Sejarah UU No: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pembakuan Peran Gender, dalam Perspektif Perempuan, Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan, 2000, hal. 53.
[14] R. Soetedjo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Universitas Airlangga Press, 1988, hal. 18.
[15] Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali, Bandung, 1983, hal. 98.
[16] Moh Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, 2003, hal. 36-38.
DAFTAR PUSTAKA
- Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
- Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang
- Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali, Bandung
- Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1976
- Indriaswari Dyah Saptaningrum, Sejarah UU No: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pembakuan Peran Gender, dalam Perspektif Perempuan, Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan, 2000.
- Maria Ulfah Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.
- Mawarti Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan
- Moh Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, 2003
- Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia, dalam Pembangunan no 2 Tahun ke XII, Maret 1982
- Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia
- R. Soetedjo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Universitas Airlangga Press, 1988
- Sajtipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1979,
- Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
- T.O.Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1999.