Sejarah Peradilan Militer Di Indonesia
Friday, 11 November 2016
SUDUT HUKUM | Peradilan
Militer di Indonesia yang ada saat ini adalah merupakan penjelmaan dan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan Undang-undang Dasar
1945, dan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 pasal 2 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang mengamanatkan adanya empat lingkungan Peradilan yaitu, penyelenggara
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konsitusi.
Ketika
Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia tidak/belum
membentuk badan peradilan tetapi dengan sangat bijak dan guna menghindarkan
kekosongan hukum maka Undang-undang Dasar tahun 1945 memuat Aturan Peralihan
dalam pasal 2 yang menyatakan “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih
langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”.
Dalam
konteks keberadaan hukum di Indonesia, Indonesia mengalami paling tidak dua
kali masa transisi. Transisi pertama saat Indonesia baru merdeka dan transisi
yang kedua pada saat Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden
yang sering diberikan label sebagai era “reformasi”.
Transisi
pertama terjadi karena pemerintah yang baru dibentuk mengirimkan hukum yang
berlaku adalah hukum yang muncul dalam masyarakat Indonesia, dilain pihak
pemerintah yang baru tidak mungkin mengganti seluruh peraturan
perundang-undangan yang ada berikut institusinya dalam waktu sekejap. Transisi
kedua terjadi pasca berakhirnya pemerintahan Soeharto, transisi yang dialami
adalah transisi hukum yang berfungsi sebagai alat kekuasaan dan legistimasi menjadi
hukum sebagai instrumen yang menjadikan rujukan dan rel dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Saat ini
sedang dibahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan terhadap
Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dengan Pemerintah. Dalam pembahasan tersebut muncul perdebatan
tentang kewenangan dan Peradilan Militer sebagaimana yang diamanatkan dalam
Pasal 65 ayat (2) Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia yang mengatur: “Prajurit tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer
dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan
umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan Undang-undang”.
Pro dan
kontra terjadi, argumentasi yang digunakan mereka yang menghendaki agar
Peradilan Militer hanya untuk pelanggaran pidana militer adalah dalam sebuah
negara yang demokratis harus ada supremasi sipil. Oleh karena itu pelanggaran
pidana umum yang dilakukan oleh personil militer harus tunduk kepada kewenangan
dan otoritas sipil.
Sementara yang
menghendaki agar Peradilan Militer berwenang mengadili pelanggaran pidana
dengan melihat status dan pelaku kejahatan mendasarkan pada sistem yang selama
ini berlaku di Indonesia. Karena adanya pendapat pro dan kontra tentang
jurisdiksi Peradilan Militer, alangkah baiknya terlebih dahulu. dibahas
mengenai sejarah Peradilan Militer di Indonesia.