Teori Pemisahan Kekuasaan Montesquieu
Friday, 11 November 2016
SUDUT HUKUM | Kedaultan rakyat yang dikenal di
Indonesia berbeda dengan kedaulatan rakyat versi Barat (menurut Montesquieu).
Menurut versi Barat, kedaulatan rakyat dibagi menjadi 3 bagian kekuasaan yang
terdiri dari kekuasaan:
- Legislatif (Pembuat Undang-Undang / Undang-Undang Dasar) : Parlemen
- Eksekutif (Pelaksana Undang-Undang : Pemerintah
- Yudikatif (Pengawas Pelaksana Undang-Undang).
Di Indonesia pemisahan kekuasaan
ini berlandaskan pada sila-sila Pancasila. Kedaulatan rakyat juga akan
diartikan berbeda dengan demokrasi. Kedaulatan rakyat dipandang sebagai bagian
dari istilah demokrasi.
Dalam negara yang menganut paham
demokrasai, rakyat memiliki kedaulatan tertinggi. Tulisan ini menganalisis
makna dari kedaulatan rakyat itu berdasarkan nilai-nilai bangsa Indonesia serta
bagaimana kedaulatan rakyat itu diwadahi baik tersirat dan tersurat dalam
Pancasila dan UUD Tahun 1945 di Indonesia sehingga memiliki ciri khas.
Sehubungan dengan pemisahan
tersebut, diperlukan suatu persamaan pendapat berkaitan dengan kompetensi
peradilan militer yang selalu dihubungkan dengan kondisi suatu negara, apakah
negara tersebut dalam keadaan damai atau dalam keadaan perang, karena hal ini
masing-masing membawa implikasi yang berbeda, baik mengenai obyek maupun subyek
delik.
Prajurit TNI atau anggota militer
di negara manapun merupakan warga negara yang memperoleh perlakuan khusus
dibandingkan dengan warga sipil atau warga negara pada umumnya, dan kekhususan
itu berkaitan dengan tugas dan wewenang yang dimiliki dalam rangka membela,
menjaga dan mempertahankan negara.
Kekhususan dimaksud antara lain;
hak “membunuh” musuh. Sebagaimana dinyatakan oleh Jean Pictet, yaitu di dalam
asas hukum humaniter yang terdapat dalam Konvensi Jenewa tanggal 12
Agustus 1949 tentang Perlindungan terhadap korban perang, dijelaskan bahwa
hanya anggota angkatan bersenjatalah yang berhak menyrang dan menahan musuh.
Hal ini berarti, seseorang
militer di dalam pertempuran, selain dapat menahan musuh yang tentu saja masih
hidup baik luka maupun tidak, juga memiliki hak untuk membunuh musuh
sebagaimana dipersyaratkan dalam hukum humanitar. Anggota angkatan bersenjata
atau militer dalam hukum humaniter dikategorikan sebagai kombatan. Menurut
hukum humanitar, combatantas are members of the armed forces of a party to the
conflict except medical and religious personnel. Dengan demikian, kombatan adalah
anggota angkatan bersenjata yang terlibat konflik kecuali petugas kesehatan dan
rohaniawan yang tidak boleh diserang atau dibunuh.
Selain itu, perlakuan hukum
terhadap anggota militer berbeda dengan warga negara pada umumnya (warga
sipil). Sebagai warga negara, militer tunduk pada hukum pidana umum yaitu KUHP
yang merupakan ketentuan yang berlaku bagi warga negara, sedangkan selaku warga
negara yang memiliki tugas wewenang khusus berlaku hukum yang bersifat khusus,
yaitu Hukum Pidana Militer yang hanya berlaku bagi militer saja atau yang dipersamakan.
Berlaku KUHP dan
perundang-undangan pidana lainnnya di lingkungan TNI didasarkan pada ketentuan
Pasal 1 dan Pasal 2 KUHPM sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1947 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara.78 Berdasarkan
ketentuan tersebut, bagi seoang prajurit TNI selain tunduk pada KUHPM, juga
tunduk pada perundang-undangan pidana umum yang kesemuanya merupakan tindakan
pidana militer dalam arti tindak pidana yang dilakukan prajurit TNI.
Dasar negara Pancasila dan
menurut UUD 1945, secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi ada di
tangan rakyat. Lembaga MPR negara ini diberi wewenang utama mengubah dan
menetapkan dan melantik Kepala Negara (Presiden) serta memberhentikan Presiden
menurut UUD dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Di samping itu, terdapat
pula lembaga-lembaga tinggi negara lainnya yang setingkat dengan Presiden.
Masing-masing lembaga mempunyai tugas mengemban kedaulatan rakyat pula.
Kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini secara lebih konkret
dilaksanakan melalui berbagai produk hukum, seperti UU, dan peraturan lainnya
rnulai dan undang-undang sampai dengan keputusan Kepala Dati II. Masalahnya
tentu saja, kedaulatan rakyat sebagai bagian dan demokrasi Pancasila tersebut,
tidak cukup hanya dituangkan secara konsepsional dan perlu dilengkapi dengan
segi operasionalnya. Dua segi tersebut secara simultan harus dijadikan
indikator untuk menilai kadar demokrasi suatu negara, termasuk negara kita.
Secara garis besar bahwa kedaulatan rakyat yang dikenal bangsa kita itu berbeda
dengan bangsa lain di dunia. Kedaulatan rakyat di Indonesia berlandaskan pada
UUD 1945 dan Pancasila. UUD 1945 terdiri atas:
- Pembukaan dengan 4 alinea.
- Batang tubuh dengan XVI Bab dan 37pasal.
- Penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
Dalam Pembukaan saja terdapat
kata kedaulatan rakyat yang tersurat dalam alma IV, dan ditemukan pula di Pokok
Pikiran ke-3 Pembukaan UUD 1945, sedang Kedaulatan Rakyat menurut Pancasila
terdapat di sila ke-4. Pada batang tubuh UUD 1945 kedaulatan rakyat terdapat di
pasal 1 ayat 2, pasal 2 ayat 3, sedang pelaksanaan kedaulatan rakyat diatur
pasal 3 (MPR), pasal 19-22 B (DPR), pasal 37 (perubahan UUD). Secara implisit
sistem pemerintahan negara berpegang kepada tujuh prinsip (dalam penjelasan UUD
1945) yang dapat menunjukkan keterkaitannya dengan konsep kedaulatan Rakyat
bagi negara Republik Indonesia.
Sebagai uraian akhir dapat
ditegaskan di sini, bahwa Pancasila dan UUD 1945 telah secara jelas dan lengkap
memuat prinsip-prinsip kedaulatan rakyat atau lebih luas lagi prinsip-prinsip
demokrasi termasuk di dalamnya pengakuan kedaulatan rakyat sebagai bagian dan
hak-hak asasi manusia. Dalam hal ini rakyat tidak menyerahkan hak-haknya kepada
(penguasa) negara. Hak-hak itu tetap utuh ada pada rakyat. Dengan perkataan
lain, hak asasi manusia di Indonesia dipertahankan melalui kedaulatan rakyat.
Rakyat ikut serta dalam sistem pemerintahan negara, yaitu melalui
wakil-wakilnya. Apa saja kekuasaan/ wewenang rakyat itu dan bagaimana tata
caranya, itulah yang disebut dengan demokrasi, tepatnya demokrasi Pancasila.
Apabila dikaitkan dengan teori kedaulatan, jelas bahwa kedaulatan rakyat
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tidak mengacu kepada salah satu
teori yang ada, tetapi merupakan gabungan dan teori kedaulatan hukum. Hal ini
disebabkan oleh motivasi yang melatar belakangi berdirinya bangsa dan negara
Indonesia, yang muncul melalui proses perjuangan yang panjang dengan titik
kulminasinya pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945.
Bahwa setelah ditetapkannya UU No
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana Peradilan Militer berada di
bawah kekuasaan Mahkamah Agung, yang sebelumnya sepenuhnya berada di bawah
kendali Markas Besar TNI, membuat peradilan militer semakin independen dan
imparsial, terbebas dan campur tangan komando. Secara umum dapat dikatakan
bahwa pengadilan umum tidak tepat untuk mengadili tindak pidana (baik pidana
umum maupun pidana militer) yang dilakukan oleh prajurit. Untuk itu dibutuhkan
suatu pengadilan militer yang terpisah untuk menegakkan standard disiplin
militer secara khusus di dalam Angkatan Bersenjata karena militer dianggap
sebagai komuniti khusus, yang mempunyai disiplin khusus, yang mempertaruhkan
nyawanya dan dipersiapkan untuk mempertahankan kedaulatan negara.
Bahwa asas-asas peradilan militer
yaitu asas kesatuan komando, asas komandan bertanggungjawab terhadap anak
buahnya dan asas kepentingan militer merupakan asas yang harus ada dalam sistem
peradilan militer selain asas umum yang terdapat dalam peradilan umum. Apabila
asas tersebut tidak berlaku maka fungsi komandan selaku Ankum/Papera juga tidak
berlaku lagi atau peranannya akan berkurang. Dengan demikian juga, fungsi
pembinaan yang dilakukan oleh komandan selaku
Pembina disiplin akan berkurang atau sama sekali hilang dan ketaatan prajurit
akan berkurang terhadap komandan. Selanjutnya apabila ketaatan berkurang maka
disiplin prajurit juga akan berkurang. Dan apabila disiplin berkurang maka
efisiensi, kesiapan dan efektifitas pasukan akan sulit dicapai.
Konsekuensi logisnya adalah bahwa hal tersebut akan mengganggu stabilitas keamanan negara yakni Pertahanan Keamanan (Hankam), Bahwa sistem peradilan militer yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia adalah sistem peradilan militer yang sesuai dengan budaya militer Indonesia dimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Jo. Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dimana Peradilan Militer masih tetap mempunyai yurisdiksi untuk mengadili kejahatan militer dan kejahatan umum.
Konsekuensi logisnya adalah bahwa hal tersebut akan mengganggu stabilitas keamanan negara yakni Pertahanan Keamanan (Hankam), Bahwa sistem peradilan militer yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia adalah sistem peradilan militer yang sesuai dengan budaya militer Indonesia dimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Jo. Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dimana Peradilan Militer masih tetap mempunyai yurisdiksi untuk mengadili kejahatan militer dan kejahatan umum.
Mengingat peradilan militer sudah berada di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung, baik bersifat teknis yuridis maupun organisasi,
administrasi dan finansial sehingga membuat peradilan militer sudah semakin
bersifat independen dan akuntabel.