Syarat-syarat Pemberian Perlindungan dan Bantuan
Tuesday, 29 November 2016
SUDUT HUKUM | Syarat-syarat pemberian
perlindungan dan bantuan terdapat dalam Pasal 28 Undang-undang No 13 Tahun 2006
dimana perjanjian perlindungan lembaga perlindungan saksi dan korban
terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:
- Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;
- Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
- Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;
- Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.
Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana memberikan batasan pengertian saksi itu sendiri sebagai seseorang
yang “melihat, mendengar, atau mengalami” suatu tindak pidana. Pengertian yang
sama dijumpai dalam Undang- Undang Perlindungan Saksi dan Korban
(Pasal 1 ayat (1)). Dalam beberapa kasus, bagaimanapun,orang-orang akan
lebih takut untuk melapor suatu tindak pidana.
Seseorang yang mengetahui suatu
tindak pidana dan bahkan memiliki bukti penting tetapi tidak masuk dalam
kategori sebagaimana ditetapkan dalam undangundang, tidak akan mendapatkan
perlindungan saksi, yang mana berarti bahwa mereka dapat saja mengalami bentuk-bentuk
intimdasi dan ancaman.
Keamanan seseorang yang tampil ke
depan dan mempublikasikan informasi masih dibatasi, mengingat tidak
semua orang yang dapat saja melapor sebuah kejahatan, atau menyediakan
bukti, diberikan perlindungan. Dalam kasus terjadinya pelanggaran HAM hal
pokok termasuk keperluan untuk menjaga aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat dan
kelompok masyarakat sipil lainnya. Secara khusus, seseorang yang karena “menyediakan
informasi tanpa adanya itikad baik” tidak mendapatkan perlindungan (Pasal10ayat
(3)) Undang-undang No 13 Tahun 2006. Dengan menghindari klarifikasi pada siapa
yang berhak memberikan penilaian semacam itu dan atas dasar apa seseorang dapat
dimasukkan ke dalam kategori ini, teks tersebut meninggalkan celah interpretasi
yang cukup besar bagi kepentingan para pelaku.
Asian Human
Rights Commisions menyambut
dimasukkannya anggota keluarga saksi dan korban ke dalam skema
perlindungan saksi dari lembaga perlindungan saksi dan korban. Tetapi, sebagai
tambahan, seluruh saksi yang dapat menyediakan bukti-bukti, tanpa
melihat hubungan mereka dengan kasus tersebut, seharusnya juga dapat dimasukkan
kedalam undang-undang ini. Bagi seseorang yang dimasukkan ke dalam program
perlindungan saksi dari lembaga perlindungan saksi dan korban, harus
mendapat kepastian bahwa mereka akan diproses secara tepat waktu.
Lembaga perlindungan saksi dan
korban diberikan waktu selama 7 hari untuk menanggapi, tetapi tidak ada
ketentuan apapun yang dikeluarkan untuk mempercepat
persyaratan-persyaratan tersebut dalam kasus-kasus yang sifatnya darurat, seperti pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang melibatkan pembunuhan oleh aparat militer atau personil
kepolisian. Terlebih lagi, hak untuk mendapatkan asistensi medis dan rehabilitasi
psikologi hanya dapat diterapkan pada korban pelanggaran Hak Asasi Manusias
aja, sementara korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak termasuk untuk
asistensi dan perlindungan semacam itu.
Berdasarkan Pasal 28
Undang-undang No 13 Tahun 2006, kondisi untuk perlindungan didasarkan pada
pentingnya pemberian informasi oleh saksi atau korban, tingkatan ancaman, hasil
asistensi medis dan analisa psikologis, dan catatan criminal saksi
tersebut tidak disebutkan dalam undang-undang.
Mengenai motif dibalik
pengancaman, maupun indikasi apapun yang dibuat dalam hal mana aspek-aspek
pendampingan akan diperlukan.Untuk mengakhiri kebijakan perlindungan, bukti
meyakinkan adanya ketidak amanan bukan syarat mutlak. Tanpa adannya bukti
seperti itu, setiap petugas yang berwenang dapat saja mengakhiri perlindungan
saksi yang dimohonkan oleh petugas yang sama. (Pasal 32 angka 1b) Undang-undang
No 13 Tahun 2006.
Tidak ada ketentuan yang dibuat untuk memberikan
perlindungan bagi para saksi dari aparat bersenjata untuk menjamin
keamanan secara fisik, maupun tidak ada indikasi apapun menunjukkan kepada siapa
yang berwenang untuk mengambil langkah seperti itu. Hanya pada Pasa l36
ayat (1) yang memberikan mandat kepada lembaga perlindungan saksi dan
korban untuk “bekerjasama dengan instansi berwenang lainnya yang terkait”.
Namun, instansi seperti itu hanya diwajibkan melaksanakan keputusan lembaga
perlindungan saksi dan korban, sesuai dengan kewenangannya.
Negara lainnya, instansi seperti
itu, termasuk kepolisian, angkatan bersenjata, departemen tertentu seperti
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM. Di Indonesia, indikasi
semacam ini tidak jelas. Undang-undang tersebut juga menghindari untuk
mengklarifikasi prosedur komunikasi dan tugas antar instansi. Oleh karena itu,
birokrasi yang berkepanjangan dan masalah procedural yang berbelit-belit hampir pasti
akan dihadapi. Tidak ada persyaratan yang disebutkan dalam undang-undang
bagi para anggota lembaga perlindungan saksi dan korban dalam hal pelatihan
profesional. Namun, Pasal 11 ayat(3), menyatakan bahwa lembaga
perlindungan saksi dan korban akan memiliki perwakilan di daerah sesuai dengan
keperluan. Jika hal tersebut membuat kepolisian terlibat dalam perlindungan
sebagaimana disyaratkan dalam undangundang, keselamatan para saksi hamper pasti
tidak dapat terjamin, secara khusus dimana kebanyakan pelaku dalam kasus
pelanggaran HAM adalah kepolisian.
Pendirian kantor cabang, diatas
segalanya, tentu diperlukan di daerah-daerah tertentu dimana pelanggaran HAM
serius sering terjadi, seperti Aceh, Papua Barat, Maluku, dan Sulawesi.
Undang-undang juga tidak merujuk pada hak apapun bagi para korban atau
saksi untuk memilih divisi lain di kepolisian untuk melaksanakan langkah-langkah
perlindungan, begitu kepolisian ditugaskan untuk melaksanakan tugas perlindungan.
Hal ini penting dalam kasus dimana petugas kepolisian di daerah biasanya
menjadi pelaku pelanggaran HAM.
Perlindungan saksi yang dilakukan
oleh Komisi Independen Pemberantasan Korupsi Hong Kong (Independent
Commission against Corruption), adalah sebagai contoh pelaksanaannya dilakukan oleh divisi
khusus tersendiri.