Saksi Pelaku Yang Bekerja Sama (justice collaborator)
Tuesday, 29 November 2016
SUDUT HUKUM | Istilah Justice Collaborator merupakan
istilah baru dalam hukum Acara Pidana Indonesia. Namun di Indonesia
terdapat istilah “saksi mahkota atau Crown Witness, yakni salah satu
pelaku tindak pidana ditarik sebagai saksi kunci untuk mengungkap pelaku-pelaku yang
lain dengan iming-iming pengurangan ancaman hukuman.
Sistem ini sudah lama diterapkan
di negara Eropa Kontinental seperti di Belanda, Prancis, dan Italia dengan
menggunakan konsep protection of cooperating person, sedangkan di negara-negara Anglo
Saxon, memiliki asas plea bargaining yang pada intinya sama dengan konsep protection
of cooperating person.
Konsep Justice Collaborator lebih
banyak diusung oleh negara-negara Anglo Saxon, khususnya Amerika dan
negara-negara commonwealth (negara-negara persemakmuran, bekas jajahan
Inggris). Sekalipun demikian konsep Justice Collaborator dan konsep protection
of cooperating person merupakan dua hal yang sangat berbeda. Si
pengungkap fakta pada konsep Justice Collaborator sama sekali tidak dipidana, sedangkan
si pengungkap fakta pada konsep protection of cooperating
person tetap
bisa dipidana namun mendapat keringanan. Konsep protection of
cooperating person lebih
terkonsentrasi kepada pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum(Justice Collaborator) dalam mengungkap kerumitan kasus.
Konsep Justice Collaborator di
Indonesia tidak diatur secara tegas. Definisi pada penjelasan Pasal 10 UU Perlindungan
Saksi dan Korban (UU PSK) memang ada kemiripan antara istilah Justice
Collaborator dan “pelapor”; bahkan di dalam wacana yang berkembang
akhir-akhir ini konsep Justice Collaborator juga dikaitkan dengan saksi yang
berasal dari kelompok pelaku, misalnya kasus Agus Condro dan kasus M. Nazarudin.
Oleh karena itu di Indonesia sebenarnya lebih cenderung mengadopsi konsep protection
of cooperating person dibandingkan konsep Justice Collaborator.
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 PSK tersebut lebih cenderung memiliki kesamaan kepada asas plea
Bargaining yang dimiliki oleh United States of America (USA) karena
asas plea Bargainingter tersebut merupakan kewenangan yang dimiliki oleh
Jaksa Penuntut, tetapi bukan persoalan mudah untuk menjadi Justice
Collaborator karena bukan tanpa resiko bagi seorang mengambil pilihan berani
meniupkan pluitnya memukul kentongan, dan membocorkan rahasia membongkar
kejahatan. Sebagai orang dalam yang menjadi bagian dari lingkungan tempat
informasi yang dia bocorkan, tentulah sangat paham mengenai apa dan bagaimana
modus kejahatan yang selama ini terbungkus rapi dan bersifat rahasia bagi publik dan aparat
hukum.