Teori Kedaulatan dan Hukum
Friday, 11 November 2016
SUDUT HUKUM | Kedaulatan
rakyat adalah salah satu fokus perhatian penting yang muncul pada saat BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengadakan
sidang I (29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945) yang menampilkan 3 orang pembicara
yaitu: Soepomo, M. Jamin, dan Soekarno. Mereka masing-masing mengemukakan Dasar
negara Indonesia yang akhirnya diberi nama Pancasila. PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18
Agustus 1945. Sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Negara
Indonesia perlu mempelajari konsep-konsep kedaulatan dan negara-negara lain
yang telah lebih dahulu berdiri.
Hasil dan
pengkajian dan diskusi inilah yang kemudian menjadi konsep Kedaulatan Rakyat
Indonesia menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya tulisan
ini hanya akan dibahas secara konsepsional. Konsepsional yang dimaksud adalah
pembahasan didasarkan pada isi UUD 1945 dan sila-sila Pancasila secara teori
(konsep).
Menurut
Hans Kelsen Teori mengenai negara maka jalan yang paling baik ialah meninjau
persoalan tersebut semata-mata dari sudut hukum saja. Tiap peninjauan negara,
organisasi negara hendaklah dimulai dengan peninjauan dari sudut hukum. Hans
Kelsen menganggap lahirnya suatu negara sebagai suatu pernyataan yang sederhana
yang tak dapat dimasukkan dalam hal-hal yang Yurusdiksi.
Generasi
yang menjalankan negeri kita saat ini memang bukanlah mereka yang bermandikan
peluh dan darah dalam memperjuangkan kemerdekaan. Bila tidak kita lestarikan,
bisa saja apa yang sudah ada hanya menjadi sebuah tontonan tanpa suatu arti.
Satu-satunya jalan agar sebuah perjuangan itu tidak padam adalah dengan
mengingat apa yang terjadi di Indonesia dahulu kala. Akibat
kemajuan, api revolusi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan
di negeri ini sudah dapat kita rasakan dan hargai.
Perjuangan
merebut dan menegakkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
melahirkan dan membentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai penjelmaan
rakyat Indonesia yang melakukan perlawanan bersenjata terhadap penjajah, dengan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai intinya. Bersamaan dengan
itu, terbentuk pula tradisi kepejuangan prajurit Indonesia yang manunggal
dengan rakyat, rela berkorban, percaya pada kekuatan sendiri, dan tidak
mengenal menyerah. Tradisi itulah yang kemudian dikukuhkan sebagai kode etik
prajurit ABRI, yaitu Sapta Marga, sebagai pencerminan tekad dan kepribadian
prajurit ABRI seutuhnya, yaitu pejuang prajurit dan prajurit pejuang.
Disamping
melahirkan dan membentuk TNI sebagai wadah pengabdian, pengalaman perjuangan
kemerdekaan Indonesia telah pula keyakinan yang kuat tentang hakikat Pertahanan
Keamanan Negara (Hamkamneg), yaitu perlawanan rakyat semesta, yang dilaksanakan
dengan sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). TNI beserta
cadangannya, yang menjadi komponen utama kekuatan Hankamneg dalam
Sishankamrata, dibina sebagai kekuatan siap yang relative kecil namun efektif
dan efesien, serta memiliki mobilitas yang tinggi dan kekuatan cadangan yang
cukup.
Pembinaan
prajurit ABRI harus mengacu kepada tetap lestarinya tradisi keperjuangan,
sehingga mampu mengemban setiap tugas yang dibebankan kepadanya, baik sebagai
kekuatan pertahanan maupun keamanan Negara. Dalam pada itu, pembinaan prajurit
ABRI merupakan salah satu fungsi komando yang menjadi tanggung jawab setiap
Komandan/Pimpinan satuan ABR1 yang bersangkutan, mulai dan yang terendah sampai
yang tertinggi.
Perlu
tidaknya Hukum Militer erat hubungannya dengan persoalan ada tidaknya perbedaan
antara Hukum Umum dan Hukum Militer. Dan ada tidaknya perbedaan fungsi ini
tergantung dan pada ada tidaknya perbedaan kedudukan atau tugas kewajiban
antara orang preman (bukan militer) dengan orang militer.
Orang
militer harus mengabdikan kemauannya sendiri kepada kemauan orang lain, kepada
kemauan Angkatan Bersenjata. Untuk itu jika perlu, dia harus mengenyampingkan
perasaan-perasaan, pendapat-pendapat serta kepentingan-kepentingan pribadinya.
Sifat menurut dan menjadikan kemauan sendiri kepada kemauan orang lain, harus
dipelajari dan dipelihara. Untuk memudahkannya maka setiap militer diwajibkan
untuk menghormati atasannya dan menghargai bawahannya.
Itulah
kewajiban-kewajiban khusus yang terutama dan pada seorang militer. Secara
praktis dapat dikatakan bahwa semua kewajiban-kewajiban lainnya dan pada
seorang militer dapat dikembalikan kepada kedua kewajiban utama tadi.
Melalaikan kewajiban-kewajiban tersebut mungkin dapat mengakibatkan suatu
malapetaka bagi kelanjutan kehidupan Negara dan Bangsa. 33 Oleh karena itu
bagaimana yurisdiksi yang dimaksud “Pelanggaran Hukum Pidana” yang terdapat
dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI hal ini
berkaitan dengan tindak pidana dan kompetensi mengadili.
Teori Kedaulatan
Kedaulatan
rakyat sesungguhnya merupakan salah satu dan sekian banyak teori kedaulatan. Di
samping teori kedaulatan rakyat, dikenal juga teori kedaulatan Tuhan,
kedaulatan raja, Kedaulatan negara dan kedaulatan hukum. Jenis teori kedaulatan
yang dianut suatu negara biasanya dapat diamati dan dasar negara, bentuk
negara, bentuk pemerintahan, dan sistem hukumnya. Dapat juga terjadi, tidak
hanya satu teori kedaulatan yang dianut oleh suatu negara, tetapi gabungan atau
kombinasi dan beberapa teori sekaligus. Indonesia misalnya, termasuk negara
yang menganut lebih dan satu teori kedaulatan.
Dalam
pembukaan UUD 1945 dinyatakan, bahwa kemerdekaan didasarkan atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa. Hal ini mengandung pengakuan akan kekuasaan Tuhan
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas makhluk hidup dan segenap
ciptaan-Nya. Dengan demikian, Tuhan memiliki kedaulatan. Selanjutnya disinggung
pula tentang Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan dalam
pasal 1 ayat 2 UUD 1945 ditegaskan tentang kedaulatan ada di tangan rakyat.
Pasal 3 UUD 1945 menyatakan: “Oleh karena Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR)
memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas,..,”. Penjelasan
tersebut menyinggung tentang kedaulatan negara. Kemudian Penjelasan UUD 1945
tentang sistem pemerintahan negara, kunci pokok yang pertama menegaskan bahwa
Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machstaat). Ini berarti Negara Indonesia juga menganut
teori kedaulatan hukum, demikian juga dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 45 secara
tegas dituliskan : “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam ilmu hukum dan
filsafat hukum, kasus mengenai istilah kedaulatan rakyat dikaitkan dengan
permasalahan : mengapa orang menaati hukum. Permasalahan tersebut dapat
dirumuskan dengan perkataan lain: “Siapa yang menjadi sumber hukum utama dalam
negara itu?” Jawaban atas pertanyaan itu melahirkan banyak teori kedaulatan,
seperti kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Rakyat, kedaulatan negara, dan kedaulatan
hukum.
Demikian
pula dalam hukum tata negara, masalah kedaulatan ini juga muncul dalam konteks
pembicaraan serupa tentang siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu
negara. Konsep kedaulatan rakyat ini sering kali diidentikkan dengan konsep
demokrasi. Secara etimologis, demokrasi (demos = rakyat, kratos/kratein
kekuasaan/berkuasa). Lengkapnya, dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah
pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.
Pengertian
kekuasaan sendiri menurut definisi yang telah diterima secara umum adalah
kemampuan seseorang/ sekelompok orang/ suatu badan untuk mempengaruhi orang
lain agar bersikap/bertindak sesuai dengan keinginan yang memiliki kemampuan
itu. Kekuasaan harus pula dibedakan dengan kewenangan. Kewenangan adalah
kekuasaan yang ada pada seseorang/ sekelompok orang yang mempunyai dukungan/
mendapat pengakuan dan masyarakat. Dengan demikian, demokrasi sesungguhnya
lebih luas cakupannya daripada kedaulatan rakyat.
Demokrasi
dalam arti material adalah segala kewenangan yang dimiliki rakyat. Dalam arti
formal, demokrasi berkaitan dengan tata cara rakyat dalam melaksanakan
kewenangan itu. Jelaslah, bahwa kedaulatan rakyat adalah salah satu unsur
penting dalam demokrasi.
Kedaulatan
rakyat sendiri merupakan suatu konsep ketatanegaraan yang dianut banyak negara.
Konsep kedaulatan dalam alam pikiran modern pertama kali dikemukakan oleh Jean Bodin, melanjutkan
apa yang dikemukakan oleh Machiaveli. Selanjutnya, konsep ini terus berkembang
dan tercatat beberapa nama penting disinggung setiap kali berbicara tentang
Kedaulatan Rakyat, yaitu Thomas Hobbes, John Locke dan Jean Jacques Rousseau.
Konsep tersebut dikembangkan sebagai reaksi atas kekuasaan yang terlalu besar
dan kaum penguasa negara dan gereja, khusus pada abad pertengahan di Eropa.
Paham perjanjian yang dikemukakan Thomas Hobbes berangkat dan perjanjian antar
individu untuk melahirkan suatu negara.
Dalam
perjanjian itu, para individu yang selalu bertikai itu menyerahkan semua hak
mereka kepada negara. ini berarti perjanjian yang dilakukan bukan antara
individu dengan negara, sebab negara adalah buah dari perjanjian itu, dan tidak
mempunyai kewajiban apapun terhadap para individu. Negara adalah “manusia
buatan”, atau Sang Leviatan sebagaimana judul yang diberikan Thomas Hobbes atas
bukunya. Negara mempunyai kehidupan dan kehendak sendiri. Sang Leviatan ini
dapat saja mati/bubar, tetapi selama ia ada, selama itu pula ia berkuasa dan
berwenang mutlak menyerupai Tuhan.
Hobbes
bahkan juga mengatakan, bahwa negara itu ibarat “Tuhan yang dapat mati”. Paham
ini melahirkan absolutisme negara, yang dalam prakteknya berarti bukan pula absolutisme
penguasa negara (raja). Hobbes bukan tidak menyadari jika absolutisme ini
dapat saja disalahgunakan oleh penguasa. Untuk itu ia menyatakan penguasa masih
mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab kepada Tuhan, karena kekuasaan yang
diperolehnya berasal dan Tuhan, bukan dan masyarakat Landasan moral inilah
satu-satunya pembatas yang dapat menghindarkan negara dan kesewenang-wenangan.
John Locke secara tidak langsung memberi reaksi atas pemikiran Hobbes tersebut.
Jika Hobbes berpendapat bahwa individu-individu senantiasa bertikai, Locke
sebaliknya mengatakan bahwa manusia itu pada awalnya hidup dalam kedamaian.
Situasi ini baru berubah setelah manusia mulai diperdayai oleh materi, termasuk
masalah tanah. Untuk melindungi hak milik inilah yang membuat para individu
bersepakat mendirikan negara. Hak milik ini meliputi pula hak-hak asasi manusia
yang paling utama, seperti hak untuk hidup dan kebebasan. Para individu yang
mengadakan perjanjian tersebut kemudian menyerahkan 2 haknya kepada negara,
yaitu:
- Hak untuk menentukan sendiri bagaimana mempertahankan din dan dan orang-orang lain.
- Hak untuk menghukum seorang pelanggar hukum menurut aturan hukum kodrat.
Kekuasaan
negara dengan demikian, terbatas pada tujuan penegakan 2 hak itu saja. Urusan
yang pribadi adalah hal individu yang bersangkutan, yang tidak perlu dicampuri
oleh negara. Pemikiran
ini lebih jauh melahirkan paham negara sebagai penjaga malam (nachtwakerstaat).
Kekuasaan negara tidaklah tak terbatas. Kekuasaan yang dimiliki negara datang
dari para individu yang membuat perjanjian, bukan dari Tuhan seperti teori
Hobbes. Pembatasan kekuasaan negara ini dimuat dalam konstitusi. John Locke
membagi kekuasaan ini menjadi 3 fungsi, yaitu legislatif, eksekutif, dan
federatif (hubungan luar negeri). Menurut Locke, kekuasaan yang tertinggi ada
di tangan legislatif, yaitu parlemen.
Sayangnya
ia tidak merekomendasikan parlemen yang benar-benar dapat menggambarkan
kedaulatan rakyat, walaupun ia menyatakan konstitusi negara harus menganut
prinsip mayoritas yang berarti didukung oleh kesepakatan sebagian besar
masyarakat. Kenyataannya, para parlemen di Inggris tidak lebih daripada
representasikan golongan pemilik modal dan kaum bangsawan, bukan rakyat kebanyakan.
Pembagian kekuasaan ini (negara) dan Locke dikembangkan oleh Montesquieu dengan
menyebut 3 fungsi yaitu legislative, eksekutif, dan yudikatif. Fungsi federatif
dimasukkannya dalam eksekutif.
Tokoh
terakhir yang akan disinggung berikut adalah Jean Jacques Rousseau. Ia
menentang keras absolutisme negara. Menurutnya, setiap individu memiliki
kehendaknya sendiri, tetapi di sisi lain juga ada kepentingan para individu
untuk menjaga hubungan sosial. Hal terakhir ini disebut kehendak umum (volonte
generale), dan tugas negara adalah menjalankan kehendak umum dari rakyat
itu. Ini berarti kehendak rakyat identik dengan kehendak negara. Rakyat yang
memiliki negara, bukan penguasa. Rakyatlah pemilik kedaulatan. Dalam hal ini
tidak ada satupun hak-hak rakyat yang diserahkan kepada negara. Sampai di sini
pemikiran Rosseau dapat kita terima.
Hanya
kemudian, sebagai konsekuensi pendapatnya tentang identifikasi negara dan
rakyat. Rosseau menolak keberadaan lembaga perwakilan. Menurutnya, rakyat tidak
dapat diwakili. Bila diadakan pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat,
itu artinya sama dengan mengasingkan negara dan rakyat. Untuk menjaga kemurnian
kehendak rakyat itu, tidak ada jalan lain kecuali mengajak rakyat seluruhnya
bersama masyarakat menyuarakan kehendaknya dan mencantumkan dalam
undang-undang.
Gagasan
Rosseau ini tentu suatu utopia untuk dapat dilaksanakan, bahkan bagi negara
Perancis ketika Rosseau hidup. Paham negara persatuan yang dianut oleh bangsa
Indonesia sepintas agak menyerupai pemikiran Rosseau ini. Hanya saja pemikiran
Rosseau tentang perlindungan hak-hak individu tentu saja tidak sejalan dengan
pandangan Indonesia. Karena rakyat identik dengan negara, berarti negara
(rakyat) tidak perlu membatasi kekuasaan yang dimilikinya sendiri.
Konsekuensinya, wujud final pemikiran Rosseau untuk menolak.