Testimonium De Auditu dalam Hukum Acara Perdata
Wednesday, 23 November 2016
SUDUT HUKUM | Pada Posting sebelumnya tentang
syarat materiil saksi sebagai alat bukti berdasarkan pasal 171 HIR, pasal
1970 KUH Perdata, keterangan yang diberikan harus berdasar sumber pengetahuan
yang jelas. Dan sumber pengetahuan yang dibenarkan hukum harus merupakan pengetahuan,
penglihatan, atau pendengaran yang bersifat langsung dari
peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang disengketakan para
pihak.
Adapun terdapat istilah Testimonium
De Auditu adalah keterangan karena mendengnar dari orang lain yang
disebut juga kesaksian tidak langsung. Menurut Sudikno Mertokusumo
adalah keterangan seorang saksi yang diperolehnya dari pihak ketiga.
Dicontohkan pihak ketiga mengetahui secara langsung bahwa kedua belah pihak
yang berperkara pernah mengadakan perjanjian hutang piutang.
Kemudian pihak ketiga tersebut menceritakan pengetahuannya kepada saksi.
Di
persidangan saksi memberikan kesaksian bahwa ia mendengar dari pihak ketiga
dan memberikan keterangan yang diperolehnya dari pihak ketiga tersebut. Inilah
yang disebut testimonium de auditu. Akan tetapi testimonium de auditu
bukan merupakan suatu pendapat atau persangkaan yang didapat secara berpikir.
Bentuk keterangan demikian dalam
Common Law disebut hearsay evidence. Pengertian
testimonium de auditu dengan hearsay witness dalam Common Law, sama-sama memiliki
definisi yang mengandung pengertian berupa keterangan yang diberikan
seseorang yang berisi pernyataan orang lain baik secara verbal, tertulis, atau
dengan cara lain.
Setelah memperhatikan syarat-syarat kesaksian yang
telah dijelaskan sebelumnya, maka testimonium de auditu jelas-jelas
tidak memenuhi syarat kesaksian. Dalam praktek pun, tampaknya belum
tercipta satu law standard yang baku, sehingga belum terbina unifeid legal frame
work dan unified legal opinion.
Sebagai contoh kasus mengenai testimonium de
auditu, adalah dua putusan MA (1997:221). Pertama, Putusan Nomor: 329
K/Sip/1973, tanggal 25 Nopember 1975, yang telah membenarkan pertimbangan Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi, menyatakan bahwa keterangan saksi-saksi pada
umumnya adalah menurut perasaan, tetapi haruslah pula dipertimbangkan bahwa
hampir semua kejadian atau perbuatan atau peristiwa hukum yang terjadi dahulu
tidak mempunyai surat, tetapi adalah berdasarkan pesan turun temurun, sedangkan
saksi-saksi yang langsung menghadapi perbuatan hukum itu dahulunya, sudah
tidak ada lagi yang diharapkan hidup sekarang, sehingga dengan demikian, pesan
turun temurun itulah yang dapat diharapkan sebagai keterangan, dan menurut
pengetahuan Hakim Majlis sendiri, pesan-pesan sepert ini oleh masyarakat Batak,
umumnya dianggap berlaku dan benar.
Dalam pada itu, harus pula diperhatikan, tentang
dari siapa pesan itu diterima, dan orang yang memberi keterangan bahwa dialah yang langsung
menerima pesan tersebut. Oleh karena itu, dari sudut inilah dinilai
keterangan saksi-saksi tersebut. Kedua, Putusan Nomor: 308 K/Sip/1959,
tanggal 11 Nopember 1959, yang menyatakan bahwa testimonium de auditu tidak
dapat digunakan sebagai alat bukti langsung, tetapi penggunaan kesaksian yang
bersangkutan sebagai persangkaan yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu, tidak
dilarang undang-undang.
Dari kedua putusan tersebut jelas tergambar bahwa MA
dalam putusan pertama membenarkan testimonium de auditu sebagai
alat bukti yang memenuhi syarat formal dan material, sehingga dapat dijadikan
dasar untuk memutus perkara. Sedang pada putusan kedua, lembaga yudicial
tertinggi di Republik ini tidak membenarkan dan tidak mengakui kapasitas testimonium
de auditu sebagai alat bukti yang mampu berdiri sendiri, sehingga tidak mempunyai
nilai kekuatan pembuktian yang berkualitas mendukung keterbuktian fakta atau
dalil, karena ia hanya dikonstruksi sebagai alat bukti persangkaan.
Tetapi agaknya, upaya ke arah terciptanya law
standard yang baku guna membina unified legal frame work dan unified
legal opnion dalam penerapan testimonium de auditu sudah mulai terkuak, di mana MA
dalam buku "wajib" untuk rechtelijke ambtenaar ketika membicarakan soal
pembuktian, menunjuk pada pendapat Subekti yang tertuang dalam bukunya
"Hukum Pembuktian".
Dalam kaitannya dengan testimonium de auditu, yang
oleh Subekti dinamakannya dengan "kesaksian dari pendengaran" (1997:45), ia
mengacu pada Putusan MA yang kedua tersebut, seraya mengemukakan bahwa mula-mula banyak
yang mengajarkan bahwa keterangan seorang saksi yang memberikan suatu
"kesaksian dari pendengaran", tidak ada nilainya sama sekali. Sebagai kesaksian,
keterangan dari pendengaran itu memang tidak ada nilainya.
Tetapi, bukan berarti
bahwa hakim lantas dilarang untuk menerimanya. Yang dilarang adalah jika saksi menarik
kesimpulan-kesimpulan, memberikan pendapat atau perkiraan-perkiraan. Kalau
ada beberapa saksi yang masingmasing menerangkan bahwa mereka mendengar dari
tergugat bahwa ia telah membeli tanah sengketa, maka dapat dimengerti bahwa
hakim tidak boleh menganggap pembelian itu sebagai telah terbukti,
sebab jumlah berbagai keterangan yang masing-masing kosong itu, masih tetap nihil.
Namun demikian, ia mempunyai nilai untuk mempercayai keterangan lain yang berisi,
misalnya keterangan saksi lain yang memenuhi syarat formal dan material, atau untuk
menyusun suatu persangkaan. Jadi tidaklah benar kalau kesaksian de auditu itu
tidak bernilai sama sekali. Ia tidak bernilai sebagai kesaksian bila dipergunakan sebagai
bukti langsung, tetapi bernilai sebagai suatu sumber persangkaan, di mana dari
persangkaan itu dapat disimpulkan terbuktinya
sesuatu.