Eksistensi Fatwa Dalam Kajian Konfigurasi Politik Hukum
Wednesday, 21 December 2016
SUDUT HUKUM | Fatwa dilihat dari kacamata
objektivitas, dapat menjadi dua hal yang saling bertolak belakang.Di satu sisi,
secara substansi sosiologis, fatwa mengikat bagi setiap orang yang mengaku
beragama Islam. Namun ditinjau dari sisi formal legal, fatwa tidak
memiliki kekuatan mengikat.Hal ini menjadikan fatwa memiliki dua sisi yang
berbeda.Namun, eksistensi fatwa kembali diperdebatkan ketika mufti sebagai
orang yang mengeluarkan fatwa dilembagakan oleh negara.
1. Eksistensi Fatwa Dalam
Perspektif Otoritas Hukum Islam
Ketika mengkaji eksistensi
fatwa dalam perspektif otoritas hukum Islam, maka yang didapatkan adalah fatwa
sebagai “penjelas” dan “penjabaran” dari nash-nash di dalam hukum Islam. Oleh
sebab itu, fatwa mengikat bagi umat Islam yang telah diwajibkan tunduk dan
patuh terhadap ketentuan hukum Islam. Bagi seseorang yang mengaku
beragama Islam, berdasarkan teori penerimaan otoritas hukum Islam, wajib
baginya untuk tunduk dan patuh terhadap ketentuan hukum Islam.
Hanya saja, ketentuan hukum Islam yang bersumber langsung kepada Al Qur’an dan Hadis seringkali tidak dapat dipahami secara langsung oleh sebagian umat Islam.Seperti adanya ayat-ayat 82 yang mutasyabihat, maupun adanya ayat-ayat yang bersifat umum dan memerlukan penjelasan dari para ahli hukum Islam. Fatwa sebagai drop down dari nash yang lebih tinggi merupakan “sumber” alternatif bagi umat Islam dalam mengambil tindakan yang berakibat hukum. Oleh sebab itu, ditinjau dari aspek substantif sosiologis, fatwa bersifat mengikat kepada umat Islam.
2. Eksistensi Fatwa Dalam
Perspektif Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
Apabila ditinjau dari
penjenjangan norma hukum di Indonesia, yang ditegaskan oleh Undang-Undang No.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, fatwa tidak
memiliki kedudukan apapun di dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Secara formal legal, fatwa sama dengan doktrin para pakar hukum (legal
opinion) yang sifatnya hanya menilai dan memberikan rekomendasi hukum.Hanya
saja, dengan dilembagakannya mufti di Indonesia melalui Majelis Ulama Indonesia
yang berwenang mengeluarkan fatwa tentang hukum Islam, telah terjadi
transformasi fatwa tidak hanya bagi subjek produk fatwa itu sendiri, namun juga
bagi kedudukannya.
Lahirnya Dewan Syariah Nasional
yang kedudukannya diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah menjadi landasan formal bagi kekuatan mengikat fatwa DSN-MUI
bagi pelaku aktifitas ekonomi syariah, khususnya Perbankan Syariah. Fatwa
DSN-MUI dijadikan sebagai “legitimasi” bahwa produk Perbankan Syariah telah
sesuai dengan
tuntunan syariat Islam, sebagaimana nilai dan moralitas yang diinginkan oleh
aktifitas ekonomi syariah.
Penulis
menyimpulkan, fatwa menjadi relatif ketika dilihat dari kacamata tata hukum
nasional, tetapi menjadi mutlak dan mengikat ketika dilihat dari tata hukum
Islam perspektif Majelis Ulama Indonesia (self regulation).Adanya
kepentingan terhadap lahirnya fatwa DSN-MUI untuk melegitimasi lahirnya produk
lembaga keuangan syariah menjadikan eksisnya fatwa DSN-MUI dilihat dari
kacamata konfigurasi politik hukum.Dalam hal ini, fatwa yang lahir dari
kelembagaan DSN-MUI, merupakan syarat mutlak dapat dikeluarkannya produk
lembaga keuangan syariah.