-->

Perkembangan Fatwa Dewan Syariah Nasional sebelum Lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

SUDUT HUKUM | Suatu gejala yang bersifat umum bahwa pembentukan dan pengembangan hukum nasional dilakukan dari hukum tidak tertulis ke arah hukum tertulis, baik dalam masyarakat bangsa yang masih berkembang maupun yang telah maju. Meskipun demikian, hukum tidak tertulis merupakan bagian dalam sistem hukum nasional. Hukum tertulis dan tidak tertulis itu berlaku dalam penyelenggaraan segenap bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang bersifat mengikat bagi semua penduduk. Bentuk hukum tertulis di bidang tertentu, terutama dalam bidang hukum yang relatif netral, dikodifikasikan[1] dan diunifikasikan.[2]

Sementara itu, terhadap hukum yang peka, apalagi yang amat erat hubungannya dengan keyakinan masyarakat, usaha unifikasi hukum di Indonesia, misalnya, mengalami masalah karena masyarakat bangsa bersifat majemuk, terutama karena perbedaan agama yang dipeluk. Berkenaan dengan hal itu, pengembangan hukum Islam dalam bidang keluarga “diunifikasikan” secara khusus bagi orang-orang Islam, sebagaimana tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ia merupakan suatu bentuk “unifikasi” dari keanekaragaman hukum Islam sebagaimana terdapat dalam anekaragam produk pemikiran fuqaha yang tersebar dalam berbagai kitab fiqh di Indonesia.

Perkembangan Fatwa Dewan Syariah Nasional sebelum Lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah


Pengembangan hukum nasional itu didasarkan kepada politik hukum yang ditetapkan. Politik hukum tersebut merupakan suatu keputusan kekuasaan negara tentang hukum yang berlaku secara nasional dan arah pengembangan sistem hukum yang dianut. Politik hukum itu dirumuskan dan ditetapkan melalui badan penyelenggara negara yang memiliki kewenangan di bidang itu. Dalam proses perumusan dan penetapan politik hukum tersebut terjadi interaksi para elite yang mewakili berbagai kelompok kepentingan untuk memperoleh konsensus bagi pengembangan hukum dalam suatu satuan masyarakat bangsa yang diikat oleh organisasi negara nasional. Berkenaan dengan hal itu, terdapat variasi transformasi fiqh ke dalam produk badan penyelenggara negara, terutama badan legislatif dan eksekutif. Hal itu tergantung kepada politik hukum yang ditetapkan, yang kemudian ditindaklanjuti melalui program legislasi nasional.

Baca Juga

Sumber hukum positif dalam sistem hukum nasional dan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah disebutkan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak menyebutkan fatwa sebagai bagian dari dasar hukum di negara ini, sehingga fatwa tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Fatwa hanya sebagai suatu pendapat atau nasehat yang disampaikan oleh para ahli hukum Islam yang tergabung dalam suatu wadah organisasi, seperti MUI, Muhammadiyah, NU, Persis, dan lembaga lainnya. 

Sehingga fatwa dapat dikorelasikan dengan sumber hukum formal dalam sistem hukum nasional, yakni kedudukan fatwa sama dengan doktrin yang merupakan pendapat pakar atau pendapat para ahli di bidang hukum positif. Dalam praktik, doktrin (pendapat ahli hukum) banyak mempengaruhi pelaksanaan administrasi Negara, demikian juga dalam proses pengadilan. Seorang hakim diperkenankan menggunakan pendapat ahli untuk dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam memutus sebuah perkara, kemudian bagi seorang pengacara/pembela yang sedang melakukan pembelaannya pada suatu perkara perdata, seringkali mengutip pendapat-pendapat ahli sebagai penguat pembelaannya.[3]

Begitu pula dengan fatwa, dalam sejarah Peradilan Agama di Indonesia, Pengadilan Agama untuk dapat memeriksa, menangani, dan memutus perkara perdata (masalah kekeluargaan, kewarisan, perceraian, dan lain sebagainya), maka Pengadilan Agama memakai fatwa sebagai landasan hukum, yakni fatwa disepakati oleh Mahkamah Agung bersama Pengadilan Agama. Kemudian sebagai contoh bahwa fatwa juga telah digunakan oleh hakim sebagai pertimbangan dalam memutus perkara perdata yakni pada undang-undang no. 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama disebutkan bahwa Pengadilan Agama berwenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, maka dari itu produk fatwa MUI dijadikan sebagai dasar untuk memutus sebelum ada Undang-undang tentang ekonomi syariah, misalnya fatwa MUI no 21 tahun 2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah, fatwa MUI No. 3 tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan, dan fatwa-fatwa lain tentang ekonomi yang berbasis syariah.[4] 

Ide pendirian bank syariah di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970-an. Dimana pembicaraan mengenai bank syariah muncul pada seminar hubungan Indonesia-Timur Tengah pada 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan ( LSIK ) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat islam Indonesia memiliki perbankan islam sendiri mulai berhembus sejak itu.

Terdapat beberapa alasan yang menghambat realisasi ide pendirian bank syariah tersebut, antara lain:
  • Operasi bank syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur dan karena itu tidak sejalan dengan undang-undang pokok perbankan yang berlaku, yakni UU No. 14 Tahun 1967.
  • Konsep bank syariah dari segi politis berkonotasi ideologis, merupakan bagian dari atau berkaitan dengan konsep negara islam, dan karena itu tidak dikehendaki pemerintah.
  • Masih dipertanyakan, siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu.

Gagasan mengenai bank syariah muncul lagi di tahun 1988 disaat pemerintah mengeluarkan paket kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industri perbankan. Berdasarkan amanat Munas IV MUI maka dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Kelompok ini disebut Tim Perbankan MUI. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia, yang sesuai akte pendiriannya berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. 

Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia demikian cepat, khususnya perbankan, asuransi, dan pasar modal. Jika pada tahun 1990-an jumlah kantor layanan perbankan syariah masih belasan. Namun, pada tahun 2000-an, jumlah kantor pelayanan lembaga keuangan syariah itu melebihi enam ratusan yang tersebar di seluruh Indonesia. Asset perbankan syariah ketika itu belum mencapa Rp1 triliun, maka saat ini asetnya lebih dari Rp20-an triliun. Lembaga asuransi syariah pada tahun 1994 hanya dua buah, yakni Asuransi Takaful Keluarga dan Takaful Umum, kini telah berjumlah 34 lembaga asuransi syariah (data AASI 2006). Demikian pula obligasi syariah tumbuh pesat mengimbangi asuransi dan perbankan syariah.

Para praktisi ekonomi syariah, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa syariah dari lembaga ulama (MUI) berkaitan dengan praktik dan produk di lembaga-lembaga keungan syariah tersebut. Perkembangan lembaga keuangan syariah yang demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hokum syariah yang valid dan akurat, agar seluruh produknya memilik landasan yang kuat secara syariah. Untuk itulah Dewan Pengawas Syariah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian dari Majelis Ulama Indonesia.


[1] Penetapan undang-undang secara tertulis; pembukuan hukum, lihat Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 344.
[2] Ibid, h. 768.
[3] Yeni Salma Barlinti. Kedudukan Fatwa Dewan Syariah nasional dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia. (Depok: Fakultas Hukum Program Doktor Pascasarjana, 2010), h. 72.
[4] M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Yuridis Normatif), vol. VI (Jakata: Ulumuddin, 2010), h. 475.

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel