Perkembangan Fatwa Dewan Syariah Nasional sebelum Lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Thursday, 22 December 2016
SUDUT HUKUM | Suatu gejala yang bersifat umum
bahwa pembentukan dan pengembangan hukum nasional dilakukan dari hukum tidak
tertulis ke arah hukum tertulis, baik dalam masyarakat bangsa yang masih
berkembang maupun yang telah maju. Meskipun demikian, hukum tidak tertulis
merupakan bagian dalam sistem hukum nasional. Hukum tertulis dan tidak tertulis
itu berlaku dalam penyelenggaraan segenap bidang kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang bersifat mengikat bagi semua penduduk. Bentuk
hukum tertulis di bidang tertentu, terutama dalam bidang hukum yang relatif
netral, dikodifikasikan[1] dan
diunifikasikan.[2]
Sementara itu, terhadap hukum
yang peka, apalagi yang amat erat hubungannya dengan keyakinan masyarakat,
usaha unifikasi hukum di Indonesia, misalnya, mengalami masalah karena
masyarakat bangsa bersifat majemuk, terutama karena perbedaan agama yang
dipeluk. Berkenaan dengan hal itu, pengembangan hukum Islam dalam bidang
keluarga “diunifikasikan” secara khusus bagi orang-orang Islam, sebagaimana
tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ia merupakan suatu bentuk
“unifikasi” dari keanekaragaman hukum Islam sebagaimana terdapat dalam
anekaragam produk pemikiran fuqaha yang tersebar dalam berbagai kitab fiqh di
Indonesia.
Pengembangan hukum nasional itu
didasarkan kepada politik hukum yang ditetapkan. Politik hukum tersebut
merupakan suatu keputusan kekuasaan negara tentang hukum yang berlaku secara
nasional dan arah pengembangan sistem hukum yang dianut. Politik hukum itu
dirumuskan dan ditetapkan melalui badan penyelenggara negara yang memiliki
kewenangan di bidang itu. Dalam proses perumusan dan penetapan politik hukum
tersebut terjadi interaksi para elite yang mewakili berbagai kelompok
kepentingan untuk memperoleh konsensus bagi pengembangan hukum dalam suatu
satuan masyarakat bangsa yang diikat oleh organisasi negara nasional. Berkenaan
dengan hal itu, terdapat variasi transformasi fiqh ke dalam produk badan
penyelenggara negara, terutama badan legislatif dan eksekutif. Hal itu
tergantung kepada politik hukum yang ditetapkan, yang kemudian ditindaklanjuti
melalui program legislasi nasional.
Sumber hukum positif dalam
sistem hukum nasional dan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan,
sebagaimana telah disebutkan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak menyebutkan fatwa sebagai
bagian dari dasar hukum di negara ini, sehingga fatwa tidak dapat dijadikan
sebagai landasan hukum. Fatwa hanya sebagai suatu pendapat atau nasehat yang
disampaikan oleh para ahli hukum Islam yang tergabung dalam suatu wadah
organisasi, seperti MUI, Muhammadiyah, NU, Persis, dan lembaga lainnya.
Sehingga fatwa dapat dikorelasikan dengan sumber hukum formal dalam sistem
hukum nasional, yakni kedudukan fatwa sama dengan doktrin yang merupakan
pendapat pakar atau pendapat para ahli di bidang hukum positif. Dalam praktik,
doktrin (pendapat ahli hukum) banyak mempengaruhi pelaksanaan administrasi
Negara, demikian juga dalam proses pengadilan. Seorang hakim diperkenankan
menggunakan pendapat ahli untuk dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam
memutus sebuah perkara, kemudian bagi seorang pengacara/pembela yang sedang
melakukan pembelaannya pada suatu perkara perdata, seringkali mengutip
pendapat-pendapat ahli sebagai penguat pembelaannya.[3]
Begitu pula dengan fatwa, dalam
sejarah Peradilan Agama di Indonesia, Pengadilan Agama untuk dapat memeriksa,
menangani, dan memutus perkara perdata (masalah kekeluargaan, kewarisan,
perceraian, dan lain sebagainya), maka Pengadilan Agama memakai fatwa sebagai
landasan hukum, yakni fatwa disepakati oleh Mahkamah Agung bersama Pengadilan
Agama. Kemudian sebagai contoh bahwa fatwa juga telah digunakan oleh hakim
sebagai pertimbangan dalam memutus perkara perdata yakni pada undang-undang no.
3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama disebutkan bahwa Pengadilan Agama
berwenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, maka dari itu produk
fatwa MUI dijadikan sebagai dasar untuk memutus sebelum ada Undang-undang
tentang ekonomi syariah, misalnya fatwa MUI no 21 tahun 2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syari’ah, fatwa MUI No. 3 tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan, dan
fatwa-fatwa lain tentang ekonomi yang berbasis syariah.[4]
Ide pendirian
bank syariah di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970-an. Dimana pembicaraan
mengenai bank syariah muncul pada seminar hubungan Indonesia-Timur Tengah pada
1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi
Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan ( LSIK ) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Perkembangan
pemikiran tentang perlunya umat islam Indonesia memiliki perbankan islam
sendiri mulai berhembus sejak itu.
Terdapat beberapa alasan yang
menghambat realisasi ide pendirian bank syariah tersebut, antara lain:
- Operasi bank syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur dan karena itu tidak sejalan dengan undang-undang pokok perbankan yang berlaku, yakni UU No. 14 Tahun 1967.
- Konsep bank syariah dari segi politis berkonotasi ideologis, merupakan bagian dari atau berkaitan dengan konsep negara islam, dan karena itu tidak dikehendaki pemerintah.
- Masih dipertanyakan, siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu.
Gagasan mengenai bank syariah
muncul lagi di tahun 1988 disaat pemerintah mengeluarkan paket kebijakan
Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industri perbankan. Berdasarkan amanat
Munas IV MUI maka dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di
Indonesia. Kelompok ini disebut Tim Perbankan MUI. Sebagai hasil kerja Tim
Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia, yang
sesuai akte pendiriannya berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991.
Perkembangan
ekonomi syariah di Indonesia demikian cepat, khususnya perbankan, asuransi, dan
pasar modal. Jika pada tahun 1990-an jumlah kantor layanan perbankan syariah
masih belasan. Namun, pada tahun 2000-an, jumlah kantor pelayanan lembaga
keuangan syariah itu melebihi enam ratusan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Asset perbankan syariah ketika itu belum mencapa Rp1 triliun, maka saat ini
asetnya lebih dari Rp20-an triliun. Lembaga asuransi syariah pada tahun 1994
hanya dua buah, yakni Asuransi Takaful Keluarga dan Takaful Umum, kini telah
berjumlah 34 lembaga asuransi syariah (data AASI 2006). Demikian pula obligasi
syariah tumbuh pesat mengimbangi asuransi dan perbankan syariah.
Para praktisi ekonomi syariah,
masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa syariah dari
lembaga ulama (MUI) berkaitan dengan praktik dan produk di lembaga-lembaga
keungan syariah tersebut. Perkembangan lembaga keuangan syariah yang demikian
cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hokum syariah yang valid dan akurat,
agar seluruh produknya memilik landasan yang kuat secara syariah. Untuk itulah
Dewan Pengawas Syariah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian
dari Majelis Ulama Indonesia.
[1] Penetapan undang-undang secara tertulis; pembukuan
hukum, lihat Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
Arkola, 1994), h. 344.
[2] Ibid, h. 768.
[3] Yeni Salma Barlinti. Kedudukan Fatwa Dewan Syariah
nasional dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia. (Depok: Fakultas Hukum
Program Doktor Pascasarjana, 2010), h. 72.
[4] M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum
Islam dan Hukum Positif (Analisis Yuridis Normatif), vol. VI (Jakata:
Ulumuddin, 2010), h. 475.