Pengertian dan Dasar Hukum Penyembelihan
Thursday, 22 December 2016
SUDUT HUKUM | Hewan
yang boleh dimakan dagingnya tidak halal untuk dimakan, kecuali
dengan penyembelihan secara syara atau dengan suatu cara yang semakna
dengannya. Hal ini berlaku bagi setiap hewan selain belalang dan ikan. Az-zaba’ih
merupakan bentuk jamak dari kata Az-zabihah yang berarti penyembelihan
hewan secara syar‘i demi kehalalan mengkonsumsinya.[1] Secara kebahasaan
berarti penyembelihan hewan atau memotongnya dengan jalan memotong
tanggorokannya atau organ untuk perjalanan makanan dan minumannya.[2]
Secara
syara‘, zabaih berarti
menyembelih dengan cara zahb atau nahr pada
hewan yang boleh dimakan dagingnya dengan kemauan sendiri, atau membunuh
hewan yang sulit disembelih lehernya dengan cara yang disahkan oleh
syara‘.[3]
Menurut
ulama’ fiqih, penyembelihan merupakan suatu kegiatan mengakhiri
hidup hewan untuk membersihkannya dari darah dengan menggunakan
benda tajam yang sekiranya dapat mempercepat kematiannya sehingga
memenuhi syarat kehalalan mengkonsumsinya. Dengan demikian dapat
disimpulkan, pelaksanaan penyembelihan tersebut dimaksudkan untuk melepaskan
nyawa binatang untuk bisa dikonsumsi. Dengan jalan yang paling mudah,
yang kiranya meringankan dan tidak menyakiti, dengan menggunakan alat
yang tajam selain kuku, tulang dan gigi. Untuk itu alat yang digunakan dalam
menyembelih masuk dalam syarat penyembelihan, dimana alat harus tajam.
Di
samping itu disyaratkan juga, bahwa penyembelihan itu harus dilakukan
di leher binatang yang bisa dipotong lehernya, sedangkan untuk binatang
yang tidak bisa disembelih lehernya maka dilakukan pada tempat yang lebih
dekat untuk memisahkan hidup binatang dengan mudah.
Adapun
yang menjadi dasar peraturan mengenai penyembelihan terhadap binatang
yang halal dimakan, adalah firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 3:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Maidah:3)
Berdasarkan
ayat tersebut di atas, dapat diambil keterangan bahwasannya
Allah telah memberi kemampuan kepada manusia khususnya kepada
orang Islam untuk mengukur perkara yang halal dan yang haram sesuai dengan
yang telah ditentukan. Terutama dalam hal makanan karena apa yang masuk
dalam perut kita itu merupakan energi yang dibutuhkan otak untuk selalu menjaga
tingkah laku kita.
Dalam
uraian ayat di atas dapat disimpulkan bahwa makanan hewan yang
berhubungan dengan penyembelihan ini, harus diperhatikan betul tentang jenis
hewan apa yang harus disembelihnya, siapa yang menyembelihnya, bagaimana
cara menyembelihnya, serta apa yang dibaca pada saat menyembelih.
Oleh karena itu, diharamkan makan daging binatang yang matinya karena tercekik,
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang
buas, atau yang disembelih bukan atas nama Allah. Jadi makanan yang tidak
disembelih menurut ajaran Islam sama dengan bangkai, oleh karena itu haram dimakan.
[1]
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi
Hukum Islam, Jilid 6, (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet.7, 2006), 1969
[2]
Sayyid Sabit, Fiqih
Sunnah 13, diterjermahkan oleh Kamalaudin A. Marzuki
dari Fiqhussunnah, (Bandung: PT. Alma’arif,
1987), 132
[3]
Abu Sari Muhammad Abdul Hadi, Hukum
Makanan dan Sembelihan dalam Islam, Diterjahkan
oleh Sofyan Suparman dari al-Ath’imah wadz Dzabaa-ih fil Fiqhil Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1997),194