Keberadaan Konstitusi
Saturday, 31 December 2016
SUDUT HUKUM | Konstitusi dalam konteks hukum tata negara merupakan hukum yang tertinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi merupakan sumber legitimasi terhadap otoritas suatu pemerintahan untuk menjalankan fungsinya. Keberlakuan kostitusi terletak pada kesepakatan umum atau persetujuan di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.
Konstitusi terkait
dengan keberadaannya sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan pada
kedaulatan yang dianut oleh suatu negara. Jika negara itu menganut paham
kedaulatan rakyat maka sumber legitimasinya itu adalah rakyat. Jika yang berlaku
adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya
suatu konstitusi. Keberlakuan tersebut sering disebut sebagai constituent
power yang merupakan kewenangan di luar dan sekaligus di atas system yang
diaturnya.
Menurut C.F Strong “Constitusion
is a collection of principles according to which the power of
the government, the rights of the governed, and the relations between the two are
adjusted”. Artinya, konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan
asas-asas yang menyelenggarakan:
- Kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas),
- Hak-hak dari yang diperintah,
- Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut di dalamnya masalah hak asasi manusia).
Indonesia mengatur
penyelenggaraan dan hubungan yang dimaksud oleh C.F Strong dalam UUD
1945. UUD 1945 secara umum mengatur kekuasaan dan fungsi
lembaga-lembaga negara, hubungan di antara mereka, dasar negara, hak asasi manusia, dan
kewajiban warga negara. Menurut Jimly Asshidiqie,
UUD 1945 di samping
sebagai konstitusi politik, juga merupakan konstitusi ekonomi karena memuat
ketentuan yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Selain itu, Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum
RI dan Tata Urutan Peraturan RI juga menetapkan bahwa UUD 1945 merupakan
sumber hukum tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan
RI.
Memang tidak dapat
dipungkiri bahwa adanya konfigurasi politik, yang dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan para pelaku politik, juga berpengaruh terhadap produk
hukum suatu negara. Bahkan Mahfud dalam studinya menyatakan bahwa
jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antara hukum dan politik atau
pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik atau sebaliknya,
maka paling tidak ada tiga macam jawaban dapat menjelaskannya,
sebagai berikut:
Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk kepada hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum."
Dalam studinya
tersebut, Mahfud mengambil perspektif yang kedua. Dalam hubungan tolak
tarik antara politik dan hukum, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik,
karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum.
Hukum dalam proses pembuatannya lebih terpengaruh kepada kepentingan
politiknya sehingga dikatakan konsentrasi energi politik lebih besar daripada hukum.
Namun demikian, harus
diakui pula bahwa dalam melaksanakan kehidupan bernegara
sehari-hari, setiap orang baik para pelaku politik dalam negara hukum, akan terikat dengan
sistem yang telah diatur dalam konstitusi. Karena konsep negara hukum atau
yang dikenal dengan konsep rule of law dinegara-negara yang berlaku sistem Anglo
Saxon dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan penguasa negara agar tidak
menyalahgunakan kekuasaan untuk menindas rakyatnya (abuse of
power, abuse de droit).
Dalam negara hukum,
sistem bernegara yang terdiri dari sistem pembagian kekuasaan,
perlindungan hak-hak asasi manusia, dan hal-hal lain yang mengenai pengambilan
keputusan publik dan interaksi antara keseluruhan institusi-institusi politik yang ada,
diatur dalam suatu konstitusi. Penyelenggara negara mendasarkan
tugasnya berdasarkan konstitusi. Bahkan karena hak untuk menyatakan pendapat
dan berserikat sebagai bagian dari HAM juga diatur dalam konstitusi, maka
institusi yang tumbuh dalam masyarakat yang memiliki peranan politik seperti
pers dan pressure groups/interest groups juga akan ditentukan keberadaan dan
peranannya dalam konstitusi.
Berkaitan dengan hal ini, Miriam Budiardjo20 menyatakan
bahwa dalam gagasan konstitusionalisme, undangundang dasar dianggap
sebagai suatu lembaga yang mempunyai fungsi khusus, yaitu menentukan
dan membatasi kekuasaan pemerintah di satu pihak dan menjamin hak-hak
asasi warga negaranya di lain pihak. Konstitusi dianggap sebagai perwujudan
dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat
pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil “Government by laws, not
by men”.
Lebih lanjut lagi, E.C.S Wade juga
menyatakan bahwa konstitusi adalah naskah yang
memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu
negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. Dengan
demikian, perilaku politik yang terjadi dalam suatu negara akan sangat dipengaruhi
oleh konstitusi. Berdasarkan argumentasi yang telah dikemukakan,
konstitusi merupakan hal yang terpenting dalam negara hukum, sehingga
pelaksanaan pemerintahan negara dilandasi atau sangat dipengaruhi oleh ketentuan dalam UUD
1945.
Konstitusi sendiri
dalam perkembangannya dibagi dalam dua bentuk, yaitu konstitusi yang
fleksibel dan kosnstitusi kaku. Konstitusi kaku dapat
dilihat dari proses perubahannya
yang tidak memerlukan prosedur khusus atau syarat yang ketat untuk
melakukan perubahan. Sedangkan konstitusi kaku merupakan konstitusi yang
perubahannya memerlukan proses khusus untuk merubahnya yang dimuat dalam
konstitusi itu sendiri.
Inggris yang
konstitusinya dikatakan fleksebel, dapat dilihat dari peroses untuk mengubah konstitusi
berada di tangan parlemen. Kekuasan parlemen yang tidak terbatas memberi
ruang gerak kepada parlemen sehingga tidak ada kekuasaan dalam negara yang
membatasinya. Parlemenlah yang memutuskan konstitusi diubah atau
dibatalkan begitu juga dengan penafsiran hakim dapat dikatakan salah oleh parlemen.
Dengan supremasi parlemen tersebutlah sehingga dapat dilihat konstitusi suatu
negara fleksibel atau kaku.
Sedangkan UUD yang
kaku biasanya menganut supremasi konstitusi yang dibuat oleh suatu
konstituante sehingga kekuasan parlemen berada dibawah kekuasaan konstitusi. Untuk
melakukan perubahan terhadap konstitusi diperlukan proses khusus yang diatur
secara ketat dalam UUD yang bertujuan agar perubahan konstitusi tidak
terlalu sering terjadi. Untuk melakukan perubahan konstitusi sendiri ada
beberapa metode utama yang digunakan dalam konstitusi modern, yaitu:
- Melalui lembaga legislatif biasa, tetapi di bawah batasan-batasan tertentu;
- Melalui rakyat lewat referendum;
- Melalui suara mayoritas dari seluruh unit pada negara federal;
- Melalui konvensi istimewa.
Pada umumnya hanya
ada dua metode yang sering digunakan dari keempat metode diatas.
Pertama, dilakukan oleh lembaga legislatif menurut batasanbatasan khusus dan yang
kedua yaitu dilakukan oleh rakyat dalam situasi khusus, sedangkan dua
metode lainya digunakan pada negara federal. Masing-masing metode tersebut
dapat dilihat dari bentuk negara dimana konstitusi tersebut berlaku.
Rujukan:
Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konpress, Jakarta,
Dahlan Thaib, 2008, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta,
Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, 2009, Memahami Hukum dari Konstruksi sampai Implementasi, Rajawali Pers, Jakarta,
C.F. Strong, 2010, Konstitusi-Konstitusi Politik Moderen Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk (diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie), Nusa Media, Jakarta,
Munir Fuadi, 2009, Teori Negara Hukum Moderen, Refika Aditama, Jakarta,
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, PT Gramedia, Jakarta,
Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum Di Indonesia Edisi Revisi, Rajawali Pers,
Jakarta,