Klasifikasi Tindak pidana
Tuesday, 13 December 2016
SUDUT HUKUM | Berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHP, tindak pidana terdiri dari
kejahatan dan pelanggaran, tetapi dalam KUHP tidak diberikan syarat-syarat ketentuan
untuk membedakan keduanya. Dalam KUHP dinyatakan bahwa semua ketentuan
yang dimuat dalam Buku II adalah merupakan delik-delik kejahatan,
sedangkan yang terdapat dalam Buku III adalah merupakan delik pelanggaran. Kata
kata ”kejahatan” dan ”pelanggaran” merupakan istilah dari terjemahan
misdrijf dan overtreding. Misdrijf atau kejahatan berarti suatu perbuatan
tercela dan berhubungan dengan hukum, atau perbuatan melanggar hukum.
Overtreding
atau pelanggaran berarti suatu perbuatan yang melanggar sesuatu
dan berhubungan dengan hukum atau perbuatan melanggar hukum. Kedua
istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama, serta menjadi
sinonim bagi istilah yang lainnya atau keduanya bermakna tunggal,
sehingga keduanya tidak dapat dilihat perbedaan antara kedua golongan tindak
pidana ini.
Menurut Sudarto ada beberapa
perbedaan kejahatan dan pelanggaran, yaitu :
- Rechtdelichten adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang undang atau tidak, jadi yang benar benar dirasakan oleh masyarakat sebagian bertentangan dengan keadilan. Delik delik semacam ini dinamakan kejahatan.
- Wetsdelichten adalah perbuatan yang oleh umum baru diasadari sebagai suatu tindak pidana, karena undang undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena adanya undang undang mengancamnya dengan pidana. Delik delik semacam ini disebut pelanggaran.
Baca Juga
Umumnya kejahatan diancam dengan
pidana yang lebih berat dari pelanggaran, karena menurut sifatnya tindak
pidana adalah perbuatan yang melanggar hukum dan perbuatan tersebut juga
merugikan masyarakat. Tetapi tidak semua perbuatan yang melanggar hukum
dan merugikan masyarakat dapat disebut dengan tindak pidana.
Kejahatan merupakan masalah yang
ada dalam kehidupan bermasyarakat yang dapat mengganggu ketertiban,
keamanan, kenyamanan dan ketentraman. Untuk dapat ditentukannya suatu
perbuatan sebagai suatu yang melanggar hukum adalah tugas dari aparat penegak hukum,
karena penentuan perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang
melanggar hukum, haruslah disesuaikan dengan dasar-dasar hukum yang ada. Jadi
syarat utama adanya perbuatan tindak pidana adalah adanya peraturan atau
ketentuan yang melarang dan mengancam dengan sanksi pidana kepada siapapun
yang melanggar larangan tersebut.
Selain pembagian tindak pidana
menurut KUHP, para ahli hukum juga membedakan tindak pidana atas :
- Tindak pidana materil dan formal
Tindak pidana ini digolongkan
atas cara perumusan ketentuan hukum pidana oleh pembentuk undang undang.
Apabila tindak pidana yang dimaksudkan dalam suatu ketentuan hukum
pidana (Strafbepaling) di sini dirumuskan sebagai perbuatan yang
menyebabkan terjadinya suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan wujud dari perbuatan
itu, maka tindak pidana ini dikalangan ilmu pengetahuan hukum dinamakan ”tindak
pidana materil” (materieel delict). Dan apabila
tindak pidana yang dimaksud, dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan
akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu, maka disebut tindak pidana
formal (formeel delict). (Wirjono Prodjodikoro, 1980 : 34).
- Tindak pidana berupa tak berbuat (Nalaten)
Wujud perundang-undangan dalam
hukum pidana, adakalanya seseorang akan dihukum pidana apabila tidak
melakukan perbuatan tertentu, seperti misalanya Pasal 224 KUHP yang
mengancam hukuman pidana seorang yang telah dipanggil dengan sah
sebagai saksi dalam suatu perkara dimuka hakim, yang bersangkutan tidak datang
menghadap tanpa sebab yang sah (Wirjono Prodjodikoro, 1980 : 35).
- Tindak pidana yang tak ada hentinya (Voordurend delict)
Biasanya suatu tindak pidana ada
saat permulaannya dan ada saat terhentinya oleh karena perbuatan yang
dilarang sudah selesai. Seperti misalnya suatu pencurian mulai dengan
mengulurkan tangan untuk mengambil barang, dan selesai setelah barangnya pindah
dari suatu tempat ke tempat lainnya dalam kekuasaan pencuri. Namun ada
beberapa tindak pidana yang tidak demikian halnya. Misalnya Pasal 529 KUHP
menentukan :
Siapa yang tidak memenuhi kewajiban berdasar undang-undang untuk melakukan pemberitahuan kepada Pegawai Catatan Sipil guna dimasukkan daftar kelahiran atau kematian, akan di denda sebesarbesarnya seratus rupiah”.
Disamping itu ada peraturan, yang
mewajibkan dilakukannya pemberitahuan itu dalam tempo sepuluh hari
setelah peristiwa yang bersangkutan terjadi. Apabila tempo sepuluh hari itu
sudah lampau tanpa ada pemberitahuan, maka pada saat itu orang yang wajib
memberitahukan itu, mulai melakukan tindak pidana yang dimaksudkan dalam
Pasal 529 KUHP. Kini tidak dapat ditentukan, kapan tindak pidana
ini berhenti. Selama setelah tempo sepuluh hari lampau tidak dilakukan
pemberitahuan, maka ia terus menerus melakukan tindak pidana, jadi tak
ada hentinya.
- Tindak pidana karena lalai (Omissie delict)
Terdapat dua istilah yakni : omissie
delict dan comissie delict. Omissie berarti melalaikan kewajiban
untuk melakukan sesuatu. Jadi yang dimaksud dengan omissie delict seperti
yang dimaksud dengan pembahasan voordurend, yaitu “tidak
melakukan pemberitahuan” hal kelahiran atau kematian dalam tempo sepuluh hari
kepada Pegawai Catatan Sipil. Sebaliknya comissie delict adalah
tindak pidana yang melakukan suatu perbuatan positif, jadi hampir
meliputi semua tindak pidana.
- Tindak pidana istimewa (Gequalificeerd delict)
Istilah ini dipergunakan untuk
suatu tindak pidana tertentu yang bersifat istimewa, seperti misalnya suatu
pencurian dari pasal 362 KUHP menjadi pencurian yang Gequalificeerd apabila
dilakukan merusak pintu, dan oleh karenanya masuk pasal 363 ayat 1 nomor 5 KUHP.