Pengertian Penegakan Hukum Pidana
Tuesday, 13 December 2016
SUDUT HUKUM | Secara konsepsional inti dan arti
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kadamaian pergaulan hidup. (Soerjono
Soekanto, 1983, dalam Nyoman SPJ, 2008 : 134).
Pengertian penegakan hukum ialah
penerapan hukum (acara) pidana dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana.
Di dalam literatur hukum pidana di negara barat (Amerika), istilah penegakan
hukum lebih dikenal dengan istilah “Criminal Justice System”.
Dari uraian di atas, jelaslah
bahwa penegakan hukum (acara) pidana sebagai suatu sistem harus merupakan
suatu kesatuan aparat penegak hukum yang bertugas menindak para pelanggarhukum pidana, sedangkan penegakan hukum sebagai suatu proses. Jelas bahwa
ia harus merupakan suatu kesatuan proses penerapan hukum (acara) pidana.
Hal ini berarti sebagai suatu proses penegakan hukum tersebut harus terdiri
dari penyelidikan dan penyidikan kejahatan, penangkapan, pemeriksaan
pendahuluan, penuntutan dan peradilan serta pelaksaan pidana.
Penegakan hukum sebagai sarana
untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh energi
dikerahkan agar hukum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral
dalam hukum. Kegagalan hukum untuk mewujudkan nilai hukum tersebut
merupakan ancaman bahaya akan bangkrutnya hukum yang ada.
Hukum yang miskin
implementasi terhadap nilai-nilai moral akan berjarak serta terisolasi
dari masyarakatnya. Keberhasilan penegakan hukum akan menentukan barometer
legitimasi hukum ditengah-tengah realitas sosialnya.
Tujuan penegakan hukum di
Indonesia disamping untuk mengurangi dan membatasi peningkatan kejahatan
yang timbul dalam masyarakat, juga memberikan kesempatan bagi
pelanggar hukum untuk menjadi warga masyarakat yang berguna . (R. Atmasasmita :
1982)
Menurut Lawrence M Friedman
(Satjipto Rahardjo, 1986 : 203) untuk menganalisis masalah penegakan
hukum, perlu diperhatikan tiga komponen sistem hukum, yakni struktur,
substansi dan kultur.
Komponen struktur adalah bagian
yang bergerak dalam suatu mekanisme, misalnya pengadilan. Komponen
substansi merupakan hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum dan
meliputi kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis, sedangkan komponen
kulutr adalah nilai nilai dan sikap yang mengikat sistem hukum itu secara
bersama dan menghasilkan suatu bentuk penyelenggaraan hukum dalam budaya
masyarakat secara keseluruhan.
Komponen kultur memegang peranan
sangat penting dalam penegakan hukum. Adakalanya, tingkat penegakan
hukum pada suatu masyarakat sangat tinggi, karena didukung oleh kultur
masyarakat, misalnya melalui partisipasi masyarakat yang sangat tinggi dalam
melakukan usaha pencegahan kejahatan, yakni melaporkan dan membuat pengaduan
atas terjadinya kejahatan dilingkungannya dan bekerjasama dengan aparat
penegak hukum dalam usaha penanggulangan kejahatan, meskipun komponen
struktur dan substansinya tidak begitu baik dan bahkan masyarakat tidak
menginginkan prosedur formal itu diterapkan sebagaimana mestinya. Sebaliknya,
adakalanya suatu komponen struktur dan substansi yang sangat baik atau
dapat dikatakan modern, dalam kenyataannya untuk menghasilkan output penegakan
hukum yang tinggi, karena kultur masyarakat tidak mendukung
prosedur formal yang telah ditetapkan. Padahal
penegakan hukum akan selalu
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
Menurut Sudarto (1981 : 81)
didalam penegakan hukum terdapat tiga kerangka konsep yang dapat dibagi, yaitu :
- Konsep penegakan hukum preventif (pencegahan).
Penegakan hukum bidangnya luas
sekali, tidak hanya bersangkut paut dengan tindakan-tindakan apabila sudah
ada atau ada persangkaan telah terjadi kejahatan, akan tetapi juga
menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan.
- Konsep penegakan hukum tindakan represif.
Tindakan represif adalah segala
tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadi
kejahatan atau tindak pidana.
- Konsep penegakan hukum tindakan kuratif.
Tindakan kuratif pada hakekatnya
juga merupakan usaha preventif dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu dalam
usaha penanggulangan kejahatan.
Sedangka menurut Joseph Goldstein
(dalam Muladi dan Barda Nawai Arief, 1986:11-12) membedakan penegakan
hukum pidana menjadi tiga bagian, sebagai berikut :
- Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana secara total sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantsif (substantive law of crimes). Penegakan hukum secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana, yang antara lain mencakup aturan aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif itu sendiri memberi batasan batasan, misalnya dibutuhkan pengaduan terlebih dahulu, sebagai syarat penuntutan pada delik delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.
- Full enforcement. Ruang lingkup pada model ini mengharapkan para penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal. Tetapi oleh Joseph Goldstein, harapan ini dianggap tidak realistis, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan discretions.
- Actual enforcement. Penegakan hukum model ini dilaksanakan secara aktual disesuaikan dengan ketentauan dan kondisi yang ada dan berlaku pada saat itu Tujuan penegakan hukum seringkali dirumuskan sebagai penegakan keadilan, keamanan dan ketertiban masyarakat, menurut Satjipto Rahardjo (1983 : 179) ”penegakan hukum adalah suatu rumusan yang abstrak, sedangkan prosedur untuk melaksanakannya bersifat formal”. Lebih lanjut dinyatakannya bahwa, prosedur belum tentu dapat mengantarkan penegakan hukum secara baik kepada tujuannya, bahkan ia dapat mendorong ditempuhnya tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum.
Tetapi bukan berarti tindakan
yang demikian bertentangan dengan hukum, karena
penegakan hukum itu sesungguhnya tidak hanya mencakup “law
enforcement”, akan tetapi juga ”peace maintenance” sebagaimana dinyatakan oleh
Soerjono Soekanto (1980: 116), bahwa pada hakikatnya penegakan hukum
merupakan proses penyerasian antara nilai nilai,
kaidah-kaidah dan pola prilaku
nyata, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian”.
Karena itu menurut International
Criminal Investigative Training Asistance
Program (dikutip
oleh Bagus Setiawan dalam majalah Polda Lampung, Edisi 78, April 2004:27), ”Prosedur
adalah sebuah petunjuk tertulis yang merupakan bimbingan dalam
melaksanakan kegiatan organisasi. Sebuah prosedur dapat dijadikan sesuatu yang
bersifat wajib melalui penggunaan kata ’akan’ bukan ’dapat’ atau ’harus’.
Prosedur kadangkala memungkinkan sejumlah kebebasan dan keleluasaan dalam
melaksanakan suatu tindakan”.
Sehingga dapat dipahami adanya
kenyataan, bahwa dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum yang
terjadi dimasyarakat (termasuk penyelesaian yang dilakukan oleh polisi), tidak
seluruhnya diselesaikan melalui prosedur berdasarkan ketentuan hukum.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi
Arief (1986:12) sistem peradilan pidana sebagai sarana penanggulangan
kejahatan, dalam kerangka penegakan hukum pidana tidak merupakan sarana
satu-satunya untuk upaya penyelesaian. Hal tersebut disebabkan oleh
banyaknya perkara yang undetected (tidak diketahui), unreported (tidak
dilaporkan) dan unsolved (tidak diselesaikan). Berdasarkan hal tersebut dimungkinkan untuk
penegakan hukum melalui berbagai alternatif lainnya.