Pelaksanaaan Pencatatan Perkawinan
Sunday, 25 December 2016
SUDUT HUKUM | Pencatatan perkawinan
pelaksanaanya diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan
Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II pasal 2 ayat (1) .
Dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkannya
menurut agama Islam yang dilakukan oleh PPN. Ini juga sebagaimana yang
tercantumkan dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan
Perkawinan, Talak, Rujuk. Pencatatan perkawinan ini bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban perkawinan didalam masyarakat.
Pencatatan nikah dilakukan
sebagai upaya dari pemerintah untuk melindungi sebuah perkawinan agar tetap
terjaga harkat martabatnya dan kesucian perkawinan. Dan juga agar memberikan
perlindungan kepada perempuan dalam hal perkawinan. Dengan pencatatan
perkawinan ini untuk selanjutnya dengan dibuktikan adanya akta nikah, yang mana masing
– masing pihak memegang salinannya. Ini dimaksudkan agar jika suatu saat
terjadi perselisihan, percekcokan ataupun pertengkaran atau salah satu pihak
tidak bertanggung jawab , maka dapat melakukan upaya hukum untuk menindak
lanjutinya.
Baca Juga
Kompilasi Hukum Islam juga
menjelaskan adanya pencatatan perkawinan dalam pasal 15. Penjelasannya sebagai
berikut :
- Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam. Setiap perkawinan harus dicatat.
- Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang – Undang Nomor 32 Tahun 1954.
Adapun teknis pelaksanaannya,
dijelaskan dalam Pasal 6 yang berbunyi:
- Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatatan perkawinan
- Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatatan perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Berdasarkan pemahaman hukum
tersebut, dapat dipahami pencatatan perkawinan adalah sebuah syarat
administratif. Perkawinan tetap sah, karena standar sah dan tidaknya ditentukan
oleh aturan agama. Jika seseorang tidak mencatatkan perkawinannya dihadapan PPN
maka jika suatu hari nanti terjadi permasalahan dalam perkawinan atau salah
satu pihak melalaikan kewajibannya , maka pasti ada pihak yang dirugikan dan
pihak tersebut tidak dapat melakukan upaya hukum , karena tidak memiliki bukti
yang otentik dan kuat dari perkawinan yang dilangsungkannya.
Begitu pentingnya pencatatan
perkawinan bagi pasangan suami – istri. yang mana dari pencatatan perkawinan
tersebut akan mendapatkan akta
perkawinan dari pejabat PPN . akta perkawinan tersebut akan mempunyai kekuatan
hukum tersendiri sebagai pembuktian akan adanya sebuah perkawinan.
Namun terkadang dari pencatatan
perkawinan oleh pejabat PPN tersebut terjadi kesalahan dalam tulisan
redaksionalnya, contoh : Marzuki Ali ditulis Marjuki Aly . dan kesalahan yang
menyangkut dengan perubahan biodata yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya,
contoh: Jono Pranoto menjadi Tomo Subagyo. Tentu jika terjadi kesalahan
penulisan dalam akta nikah akan dapat menimbulkan permasalahan baru jika nanti
akta nikah digunakan bersamaan dengan surat – surat penting kependudukan
lainnya misalnya : Kartu Keluarga, Akta Kelahiran , KTP dan lain sebagainya.
Jika terjadi kesalahan dalam
penulisan akta perkawinan untuk memperbaruinya harus dengan mengajukan
permohonan ke Pengadilan Agama dengan perkara permohonan perubahan biodata. Hal
ini berdasarkan pada Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang
Pencatatan Nikah Pasal 34 ayat (2), yaitu “ Perubahan yang menyangkut biodata
suami, isteri ataupun wali harus berdasarkan kepada putusan Pengadilan pada
wilayah yang bersangkutan”. Yang mana pada Pasal 1 dijelaskan “Pengadilan
adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.
Sedangkan dalam pasal 52 ayat
(1) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juga
menjelaskan Pencatatan perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan
pengadilan negeri tempat pemohon.
Dalam pasal 93 angka (2)
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan
Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil juga menjelaskan:
“Pencatatan perubahan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memenuhi syarat berupa:
- salinan penetapan pengadilan negeri tentang perubahan nama
- Kutipan Akta Catatan Sipil
- Kutipan Akta Perkawinan bagi yang sudah kawin
- fotokopi KK dan fotokopi KTP.
Kedua Peraturan ini tidak
membedakan antara yang beragama Islam maupun non islam sehingga berlaku untuk
seluruh warga Negara Indonesia. Sehingga mengenai segala perubahan biodata atau
perubahan nama dapat diajukan di Pengadilan Negeri dan harus dengan hanya
penetapan dari Pengadilan Negeri.
Peraturan Menteri Agama Nomor
11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Pasal 34 ayat (2) tidak menjelaskan
secara rinci kesalahan yang mana yang dapat diajukan ke pengadilan agama.
Mengenai kesalahan perubahan biodata secara redaksional atau perubahan nama
yang berbeda dengan aslinya. Seharusnya diambil langkah penyelesaian yang
berbeda terhadap dua macam perubahan tersebut.Agar tidak menimbulkan
permasalahan baru dan kebingungan masyarakat jika mengalami permasalahan ini.
Dengan
beberapa Peraturan Perundang – Undangan yang mengatur berkaitan dengan
Permohonan Perubahan Biodata tersebut. Secara hierarki perundang – undangan pun
seharusnya lebih kuat Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008
Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil
jika dibandingkan dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007. Ini akan
menimbulkan kerancuan hukum dan kebingungan dimasyarakat apakah diajukan di
Pengadilan Agama ataukah diajukan di Pengadilan Negeri.