Pengertian Diversi
Sunday, 11 December 2016
SUDUT HUKUM | Diversion as program and
practices which are employed for young people who have initial contact with the
police, but are diverstedfrom the traditional juvenile justice processes before
children's court adjudication. (Diterjemahkan oleh penulis
sebagai berikut: Diversi adalah suatu program dan latihan-latihan yang mana
diajarkan bagi anak - anak yang mempunyai urusan dengan polisi, sebagai
pengalihan dari proses peradilan anak seperti biasanya, sebelum diajukan ke
pemeriksaan pengadilan).
Menurut Pasal 1 angka 7
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Diversi adalah pengalihan penyelesaian
perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Konsep diversi tertuang
dalam Undang-Undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
Konsep Diversi serta konsep Restorative Justice telah muncul
lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternative penyelesaian perkara
pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mendefinisikan Restorative Justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk
bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat
pada masa yang akan dating.
Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi
(kebijakan) dan diversi, yaitu pengalihan dari proses pengadilan
pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian
melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat
di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua
perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan
keseimbangan atau pemulihan keadaan. Dengan menggunakan metode restorative,
hasil yang diharapkan ialah berkurangnya jumlah anak anak yang ditangkap,
ditahan dan divonis penjara, menghapuskan stigma dan mengembalikan anak menjadi
manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari. Adapun
sebagai mediator dalam musyawarah dapat diambil dari tokoh masyarakat yang
terpercaya dan jika kejadiannya di sekolah, dapat dilakukan oleh kepala sekolah
atau guru.
Ide diversi
sebagai bentuk pengalihan atau penyampingan penanganan kenakalan anak dari
proses peradilan anak konvesional, kearah penanganan anak yang lebih bersifat
pelayanan kemasyarakatan, dan ide diversi dilakukan untuk menghindarkan anak
pelaku dari dampak negatif praktek penyelenggaraan peradilan anak.
Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses
peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan
pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu
pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang
dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk
menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana.Di Indonesia tujuan ide
diversi yaitu; untuk menghindari penahanan; untuk menghindari cap jahat/label
sebagai penjahat; untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku; agar
pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya; untuk mencegah pengulangan tindak
pidana; untuk mengajukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan
pelaku tanpa harus melalui proses formal; program diversi akan menghindari anak
mengikuti proses-proses sistem pengadilan. Langkah lanjut akan program ini akan
menjauhkan anak-anak dari pengaruh-pengaruh dan implikasi negatif dari proses
peradilan tersebut.
Hubungan
Diversi dengan Restoratif Justice Pada dasarnya suatu penegakan hukum akan
berhasil dan berjalan maksimal jika tidak terlepas dari tiga pilar yang saling
mempengaruhi, yakni memenuhi struktur (structure), substansi (substance),
dan kulturhukum (legal culture).
Pertama,
sistem hukum harus mempunyai struktur. Dalam hal ini sistem hukum yang berubah,
namun bagian-bagian sistem itu berubah dengan kecepatan yang berbeda, dan
setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka
panjang yang berkesinambungan struktur sistem hukum, dengan kata lain ini
adalah kerangka atau rangkaian, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi
semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Kedua, sistem hukum mempunyai substansi.
Yang dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku manusia
yang nyata dalam sistem hukum. Dan yang ketiga sistem hukum mempunyai kultur
(budaya hukum) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, didalamnya
terdapat kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.