Pengertian Pencatatan Perkawinan
Sunday, 25 December 2016
SUDUT HUKUM | Al-Quran dan Al-Hadis tidak
mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakan oleh
masyarakat mengenai pentingnya hal itu, sehingga diatur melalui
perundang-undangan, baik Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 maupun melalui
Kompilasi Hukum Islam. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan
berdasarkan hukum Islam. Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga
kesucian aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. Realisasi pencatatan
itu, melahirkan Akta Nikah yang masing-masing dimiliki oleh istri dan suami
salinanya. Akta tersebut, dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila ada
yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan
haknya.[1]
Dalam masyarakat Indonesia
status perkawinan ada yang dicatatkan dan ada yang tidak dicatatkan (kawin
siri). Menurut Jaih Mubarok, perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan yang
tidak dicatat oleh PPN (Pegawai Pencatat Nikah) atau perkawinan yang dilakukan
oleh orang – orang Islam Indonesia, memenuhi baik rukun maupun syarat
perkawinan, dan tidak didaftarkan pada pejabat pencatat nikah. Namun
sebaliknya, perkawinan tercatat adalah perkawinan yang dicatat oleh PPN
.Perkawinan yang tidak berada dibawah pengawasan PPN, dianggap sah secara agama
tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti perkawinan
yang sah menurut perundang-undangan yang berlaku.[2]
Dalam syari’at Islam baik dalam
al-Qur’an maupun hadist tidak mengatur secara kongkrit tentang adanya penetapan
perkawinan. Ini berbeda dengan ayat tentang muamalah yang dalam situasi
tertentu diperintahkan untuk mencatatnya sesuai dengan Surat Al – Baqarah ayat
282 yang menyerukan agar mencatat mengenai utang piutang.[3]
Al-Baqarah ayat 282 yang
berbunyi:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun dari padanya. Jika yang berutang itu orang yang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kafasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al – Baqarah : 282)
Penjelasan Surat Al – Baqarah
ayat 282 memang tidak mengungkapkan mencatat perkawinan seperti halnya dengan
utang piutang
, namun masalah perkawinan juga merupakan suatu hal yang penting di kehidupan
manusia.
Dalam suatu negara, segala
sesuatu yang mengenai kependudukan haruslah dicatatkan, seperti pernikahan,
kelahiran. Ini dimaksudkan agar nantinya akan mendapatkan kepastian hukum.
Dalam sebuah perkawinan ini merupakan sebuah peristiwa yang sangat penting yang
nantinya akan berkaitan dengan perihal lain, oleh karena itu didalam perkawinan
menjadi kekuatan dasar yang harus dijaga dan diselamatkan statusnya. Terkadang
banyak permasalahan yang muncul dalam perkawinan apalagi yang berkaitan dengan
akta nikah , sehingga untuk mengantisipasinya, perkawinan haruslah dicatatkan
sesuai dengan keterangan – keterangan aslinya Pencatatan
perkawinan bertujuan agar terwujudnya kepastian hukum. keterlibatan hukum dan
perlindungan hukum atas terjadinya perkawinan tersebut.
[1] Zainuddin
Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2007,
hlm. 26.
[2] Jaih
Mubarok,Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Pustaka Bani Quraisy,
Bandung, 2005,hlm.87
[3] Ahmad
Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta,1995,hlm.107