Peranan Hukum Internasional dalam Pembentukan Hukum Nasional
Thursday, 15 December 2016
SUDUT HUKUM | Dalam hubungan antara hukum
internasional dengan hukum nasional terdapat dua teori utama yang dikenal, yaitu
monisme dan dualisme.
1 Monisme
Teori monisme didasarkan pada
pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup
manusia. Penulis-penulis
yang mendukung konstruksi monistik sebagian
besar berusaha menemukan dasar pandangannya pada analisis yang benar-benar
ilmiah mengenai struktur intern dari sistem-sistem hukum tersebut.
Pengikut-pengikut teori monisme
menganggap semua hukum sebagai ketentuan tunggal yang tersusun dari
kaidah-kaidah hukum yang mengikat, baik berupa kaidah yang mengikat
negara-negara, individu-individu, atau kesatuan lain yang bukan negara. Menurut pendapat
mereka, ilmu pengetahuan hukum merupakan kesatuan bidang pengetahuan dan
point yang menentukan, karenanya adalah apakah hukum internasional itu
merupakan hukum yang sebenarnya atau bukan.
Perangkat hukum nasional dan
hukum internasional mempunyai hubungan yang hierarkis. Hubungan hierarkis
dalam teori monisme melahirkan dua pendapat berbeda dalam menentukan hukum
mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum internasional. Ada
pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional.
Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum
nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari
hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum
internasional.
Menurut paham monisme dengan
primat hukum nasional, hukum internasional merupakan perpanjangan tangan
dari hukum nasional, atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai
hukum nasional untuk urusan luar negeri. Paham ini melihat bahwa kesatuan
hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum internasional
bersumber dari hukum nasional.
Alasan yang dikemukakan adalah sebagai
berikut:
- tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara;
- dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.
Monisme dengan primat hukum
internasional berangapan bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional.
Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional yang
pada hakikatnya berkekuatan mengikat
berdasarkan pada pendelegasian
wewenang dari hukum internasional.
2. Dualisme
Penganut aliran dualistik melihat
hukum nasional dan hukum internasional sebagai tidak saling tergantung
satu dengan lainnya. Kedua sistem itu mengatakan pokok permasalahan yang berbeda.
Hukum internasional mengatur hubungan antara negara yang berdaulat
sementara hukum nasional mengatur urusan dalam negeri negara bersangkutan,
contohnya hubungan antar eksekutif dengan warga negaranya dan hubungan antar
warga negara dengan yang lainnya secara individual. Sejalan dengan itu,
aliran dualis berpendapat bahwa kedua sistem saling tolak menolak satu sama
lain dan tidak bisa mempunyai kontak satu sama lain. Jika hukum internasional
diterapkan dalam negara, hanyalah karena hukum internasional telah secara jelas
dimasukkan ke dalam hukum nasional.
Aliran dualisme bersumber pada
teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara,
hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau
perangkat hukum yang terpisah. Terdapat beberapa alasan yang dikemukakan oleh
aliran dualisme, antara lain:
- sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional
- subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;
- struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya terdapat mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional
- kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.
3. Transformasi
dan Adopsi Khusus
Uraian di atas tampaknya belum
lengkap jika tanpa menyinggung secara ringkas beberapa teori yang berkenaan
dengan hukum internasional di dalam lingkungan hukum nasional.
Kaum positivisme telah
mengemukakan pandangan bahwa kaidah-kaidah hukum internasional tidak dapat
diberlakukan secara langsung di dalam lingkungan hukum nasional oleh pengadilan
nasional atau oleh siapapun, untuk memberlakukan kaidah tersebut
harus menjalani suatu proses adopsi khusus ke dalam hukum nasional. Menurut
teori kaum positivisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua
sistem yang sama sekali terpisah dan berbeda secara struktural, sistem yang
pertama tidak dapat menyinggung sistem hukum nasional kecuali sistem hukum
nasional adalah sistem hukum yang sepenuhnya logis, memperkenankan perangkat
konstitusinya dipakai untuk tujuan tersebut.
Berkaitan dengan kaidah-kaidah
traktat, dikatakan bahwa harus ada suatu transformasi traktat yang bersangkutan,
dan transformasi traktat ke dalam hukum nasional ini, yang bukan hanya
menjadi syarat formal, melainkan merupakan syarat substantif, dengan
sendirinya mengesahkan perluasan berlakunya kaidah yang dimuat dalam traktat-traktat
terhadap individu-individu.
Teori-teori transformasi
bersandar pada sifat konsensual hukum yang berbeda dengan sifat non-konsensual dari
hukum nasional. Secara khusus teori transformasi yang didasarkan atas
suatu anggapan adanya perbedaan antara traktat di satu pihak dan undang-undang
atau peraturan-peraturan nasional di pihak lain menurut teori ini ada perbedaan
antara traktat yang memiliki sifat janji-janji (promises) dan
perundang-undangan nasional dengan sifat perintah (commands).
Akibat dari perbedaan mendasar
ini adalah diperlukannya suatu transformasi dari satu tipe ke tipe yang lain baik
secara formal maupun secara substantif. Penentang teori transformasi berpendapat
bahwa hal perbedaan tersebut tampak dibuat-buat, mereka berpendapat bahwa apabila
diperhatikan fungsi sebenarnya dari ketentuan-ketentuan dalam traktat
atau undang-undang maka akan tampak bahwa tidak ada satupun yang terlalu
melebih-lebihkan “janji-janji” daripada “perintahperintah”.
Tujuan dari traktat dan
undang-undang yang menjadi landasan umum adalah untuk menetapkan bahwa
keadaan tertentu dari fakta akan menimbulkan akibat hukum tertentu, perbedaan
antara janji dan perintah memang relevan dengan bentuk dan prosedur, akan
tetapi tidak pada karakter hukum yang sebenarnya dari instrumen ini.
Oleh karena itu tidak benar menganggap bahwa transformasi dari sistem yang
satu ke sistem yang lain merupakan hal yang penting secara material.
Sebagai jawaban terhadap teori
transformasi, para penentang teori ini mengemukakan teori mereka, yakni
teori delegasi. Menurut teori delegasi, ada suatu pendelegasian kepada setiap
konstitusi negara oleh kaidah-kaidah konstitusional dari hukum
internasional yaitu hak untuk menentukan kapan ketentuan suatu traktat atau
konvensi berlaku dan bagaimana cara ketentuan tersebut dimasukkan ke dalam
hukum nasional. Prosedur atau metode-metode yang dipakai untuk maksud ini
oleh negara yang merupakan suatu kelanjutan dari proses yang dimulai sejak
penutupan traktat atau konvensi. Dalam hal ini tidak ada transformasi, tidak ada
penciptaan kaidah atau hukum nasional baru, yang ada hanyalah suatu perpanjangan dari
satu pembentukan hukum. Dengan demikian persyaratan-persyaratan hukum
nasional semata-mata merupakan bagian dari satu mekanisme tunggal untuk menciptakan hukum.[*]