-->

Perjanjian Waralaba

SUDUT HUKUM | Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 1997 tentang waralaba yang sekarang diganti dengan PP 42 Tahun 2007 tentang waralaba, masalah waralaba menjadi persoalan besar, karena pewaralaba (Franchisor) harus menggantung pada kesepakatan yang tertulis didalam kontrak kerjasama. Perjanjian waralaba merupakan perjanjian yang lahir diluar ketentuan KUHPerdata tetapi tetap tunduk pada KUHPerdata.

Pengertian Perjanjian


Perjanjian dalam KUHPerdata diatur dalam Buku III tentang perikatan, Bab Kedua, Bagian Kesatu sampai dengan Bagian Keempat. Pasal 1313 KUHPerdata memberikan rumusan tentang “perjanjian”. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Perjanjian Waralaba


Baca Juga

Perjanjian juga bisa didefinisikan sebagai suatu perbuatan/tindakan hukum yang terbentuk dengan tercapainya kata sepakat yang merupakan pernyataan kehendak bebas dari dua orang (pihak) atau lebih, dimana tercapainya sepakat tersebut tergantung dari para pihak yang menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban pihak lain atau timbal balik dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan.

Singkatnya perjanjian adalah perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak atau menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak. Jika suatu perbuatan hukum adalah orang-orang yang melakukan tindakan hukum disebut pihak-pihak.

Didalam perjanjian ada beberapa asas yang dikenal, asas-asas ini merupakan dasar/pokok fundamental dan yang dikenal dalam hukum perjanjian. Asas-asas tersebut adalah:
  • Asas konsensualisme
Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak(consensus) dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui consensus belaka.
  • Asas kekuatan mengikat
Para pihak harus memenuhi apa yang telah mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka buat. Dengan kata lain, asas ini melandasi pernyataan bahwa suatu perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum dank arena itu para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual.

  • Asas kebebasan berkontrak

Para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Pihak-pihak juga bebas menetukan cakupan isi persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian itu tidak boleh bertentangan, baik dengan peraturan perundang-undang yang bersifat memaksa, ketertiban umum, maupun kesusilaan.

Syarat sah perjanjian


Dalam hukum perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan yang berlaku yang dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Agar perjanjian yang dibuat oleh para pihak menjadi sah harus dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu:
  1. Adanya kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian Artinya untuk membuat perjanjian tidak boleh ada paksaan, tidak boleh ada penipuan, dan tidak boleh ada kekhilafan. Kalau ada perjanjian dibuat dengan tidak sepakat maka perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya.
  2. Para pihak harus cakap (berwenang) bertindak dalam hukum. Artinya pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut harus cakap (berwenang) untuk membuat perjanjian. Maksudnya orang yang cakap (berwenang) adalah orang yang sudah dewasa, orang yang tidak berada dibawah pengampuan (curatele) seperti orang yang sakit otak, mata gelap, pemabok, penjudi, dan sebagainya.
  3. Sesuatu hal tertentu. Artinya yang menjadi objek perjanjian sudah jelas, yaitu perjanjian waralaba jenis retail atau makanan. Kalau hal ini tidak dapat ditentukan maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya perjanjian itu tidak sah. Sebab yang halal, artinya perjanjian itu dibuat tidak bertentangan dengan Undang-Undang, agama, ketertiban umum, dan kesusilaan. Kalau ini tidak halal, artinya bertentangan dengan Undang-Undang, agama, ketertiban umum dan kesusilaan, maka perjanjian yang dibuat itu tidak sah.
  4. Sebab yang halal, artinya perjanjian itu dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang, agama, ketertiban umum, dan kesusilaan. Kalau ini tak halal artinya beretentangan dengan undang-undang, agama, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Perjanjian waralaba

Dalam hukum perjanjian, perjanjian waralaba merupakan perjanjian khusus karena tidak dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian ini dapat diterima dalam hukum karena didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditemui satu pasal yang mengatakan adanya kebebasan berkontrak. Pasal itu mengatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi merekayang membuatnya (Pasal 1338).

Perjanjian waralaba dapat dikatakan suatu perjanjian yang tidak bertentangan dengan undang-undang, agama, ketertiban umum, dan kesusilaan, karena itu  perjanjian waralaba itu sah, dan oleh karena itu perjanjian itu menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya, dan mengikat kedua belah pihak.

Dalam perjanjian waralaba memuat kumpulan persyaratan, ketentuan, dan komitmen yang dibuat dan dikehendaki oleh franchisor bagi para franchiseenya. Didalam perjanjian waralaba tercantum ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban franchisee,persyaratan lokasi, ketentuan pelatihan, biaya-biaya yang harus dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor, ketentuan yang berkaitan dengan perjanjian waralaba dan perpanjangannya serta ketentuan lain yang mengatur hubungan antara franchisor dan franchisee.

Perjanjian waralaba harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
  • Kesepakatan kerja sama waralaba tertuang dalam perjanjian waralaba yang disahkan secara hukum.
  • Kesepakatan kerja sama ini menjelaskan secara rinci semua hak, kewajiban, dan tugas dari franchisor dan franchisee.
  • Masing-masing pihak bersepakat sangat dianjurkan, bahkan untuk beberapa negara dijadikan syarat, mendapatkan nasihat dari ahli hukum yang kompeten untuk memahami isi dari perjanjian tersebut dan dengan waktu yang dianggap cukup untuk memahaminya.

Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor42 Tahun 2007 TentangWaralabamemuat ketentuan bahwa dalam perjanjian waralabapaling sedikitharus memuat klausula sebagai berikut:
  • Nama dan alamat para pihak yaitu nama dan alamat jelas perusahaan dan nama dan alamat jelas pemilik/penanggung jawab perusahaan yang mengadakan perjanjian yaitu pemberi waralaba dan penerima waralaba.
  • Jenis Hak Kekayaan Intelektual yaitu jenis hak kekayaan intelektual pemberi waralaba seperti merek dan logo perusahaan, desain outlet/gerai, sistem manajemen/pemasaran atau racikan bumbu masakan yang diwaralabakan.
  • Kegiatan Usaha, yaitu kegiatan usaha yang diperjanjikan seperti perdagangan eceran/ritel, pendidikan, restoran, apotek atau bengkel.
  • Hak dan Kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba, yaitu hak yang dimiliki baik oleh Pemberi Waralaba maupun Penerima Waralaba, seperti : Pemberi waralaba berhak menerima fee atau royalty dari penerima waralaba dan selanjutnya pemberi waralaba berkewajiban memberikan pembinaan secara berkesinambungan kepada penerima waralaba, Penerima waralaba berhak menggunakan hak kekayaan intelektual atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba dan selanjutnya penerima waralaba berkewajiban menjaga kode etik kerahasiaan hak kekayaan intelektual atau ciri khas usaha yang diberikan pemberi waralaba.
  • Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba seperti bantuan fasilitas berupa penyediaan dan pemeliharaan komputer dan program IT pengelolan kegiatan usaha.
  • Wilayah usaha yaitu batasan wilayah yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba untuk mengembangkan bisnis waralaba seperti wilayah sumatera, jawa dan bali atau di seluruh Indonesia.
  • Jangka waktu perjanjian, yaitu batasan waktu mulai dan berakhir perjanjian seperti, perjanjian kerjasama ditetapkan berlaku selama 10 tahun terhitung sejak surat perjanjian ditandatangani oleh keduabelah pihak.
  • Tata cara pembayaran imbalan, yaitu tata cara cara/ketentuan termasuk waktu dan cara perhitungan besarnya imbalan seperti apabila disepakati dalam perjanjian yang menjadi tanggung fee atau royalty jawab penerima waralaba.
  • Kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris yaitu, nama dan alamat jelas pemilik usaha apabila perseorangan serta nama dan alamat pemegang saham, komisaris dan direksi apabila berupa badan usaha.
  • Penyelesaian sengketa yaitu penetapan tempat/lokasi penyelesaian sengketa, seperti melalui pengadilan negeri tempat/domisili perusahaan atau melalui pengadilan, arbitrase dengan memperhatikan hukum Indonesia.
  • Tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian seperti pemutusan perjanjian tidak dapat dilakukan secara sepihak, perjanjian berakhir dengan sendirinya apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian telah berakhir. Perjanjian dapat diperpanjang kembali apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan ketentuan yang ditetapkan bersama.

Dengan demikian, ketentuan minimum yang diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 tersebut harus terpenuhi, agar perjanjian waralaba dinyatakan sebagai perjanjian yang sah dan mengikat Para Pihak yang membuatnya.

Konsep perjanjian baku


Dalam praktek implementasi perjanjian waralaba di Indonesia, pada umumnya dibuat berdasarkan suatu perjanjian yang standar atau baku. Hal tersebut disebabkan oleh posisi tawar dari pihak penerima waralaba (franchisee) biasanya lebih lemah dibandingkan dengan posisi tawar dari pemberi waralaba (franchisor). Perjanjian baku itu sendiri secara hukum selama disepakati para pihak dan tidak melanggar ketentuan hukum dan kesusilaan tetap sah sebagai sebuah perjanjian yang mengikat para pihak.Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract.

Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara pihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah. Inti dari perjanjian baku adalah bahwa isi perjanjian itu tanpa dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. ciri-ciri perjanjian baku yaitu:
  • Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya kuat.
  • Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian.
  • Terdorong oleh kebutuhannya debitur, terpaksa menerima perjanjian itu.
  • Bentuk tertentu (tertulis)
  • Dipersiapkan secara massal dan kolektif. Hakikat perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah distandarisasi isinya oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya dapat memilih untuk menerima atau menolak isinya perjanjian tersebut.

Didalam perjanjian baku ada 3 unsur yang harus dipenuhi yaitu:
  1. Diatur oleh kreditur atau ekonomi kuat
  2. Dalam bentuk sebuah formulir
  3. Adanya klausul-klausul eksonerasia yaitu klausula yang berisi untuk membebaskan atauuntuk membatasi tanggung jawab seorang dalam melaksanakan perjanjian.

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel