Tinjauan Historis Dasar Maulid Nabi
Saturday, 10 December 2016
SUDUT HUKUM | Kegiatan Maulid Nabi belum dilaksanakan pada
zaman Nabi, tetapi pekerjaan itu dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya
secara umum. Walaupun tidak ada nash yang nyata tetapi secara tersirat
Allah dan Rasul-Nya menyuruh kaum muslimin untuk merayakan suatu hari yang
menjadi peringatan-peringatan seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Nuzulul
Qur’an, tahun baru Islam, hari Asyura’ dan lain-lain.
Di antara 40 dalil yang
menjadi dasar Maulid Nabi antara lain:
Dari Ibnu Abbas ra. Beliau berkata: bahwasanya Rasulullah ketika di Madinah beliau dapat orang Yahudi puasa pada hari Asyura, maka Nabi bertanya kepada mereka: hari apakah yang kamu puasakan ini? Jawab mereka: ini hari besar di mana Allah telah membebaskan Musa dan kaumnya, maka Musa berpuasa pada hari semacam ini karena bersyukur kepada Allah dan kamipun mempuasakan pula untuk menghormati Musa disbanding kamu. Maka Nabi berpuasa pada hari Asyura itu dan beliau menyuruh umat Islam untuk berpuasa pada hari itu. (HR. Bukhari Muslim)”.
Al-Hafid Ibnu Hajar
Asqalani yaitu pengarang Shahih Bukhari yang bernama Fatkhul Bari’
mengatakan bahwa dari hadis tersebut dapat dipetik hukum:
- Umat Islam dibolehkan bahkan dianjurkan agar
memperingati hari-hari bersejarah, hari-hari yang dianggap besar seperti
Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj dan lain-lain.
- Nabi pun memperingati hari karamnya Fir’aun dan
bebasnya Musa dengan melakukan puasa Asyura sebagai rasa syukur atas
hapusnya yang bathil dan tegaknya yang hak.
Selanjutnya dalil yang
berkaitan dengan Maulid Nabi sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah
SWT. Surat al-A’raf ayat 157:
(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-A’raf: 157).
Dalam ayat ini
dinyatakan dengan tegas bahwa orang yang memuliakan Nabi Muhammad SAW.,
adalah orang yang beruntung. Merayakan Maulid Nabi termasuk dalam rangka
memuliakannya. Ayat di atas sangat umum dan luas. Artinya, apa saja yang
dikerjakan kalau diniatkan untuk memuliakan Nabi maka akan mendapat
pahala. Yang dikecualikan ialah kalau memuliakan Nabi dengan suatu yang
setelah nyata haramnya dilarang oleh Nabi seperti merayakan Maulid
Nabi dengan judi, mabuk-mabukan dan lain sebagainya.
Perayaan Maulid Nabi
diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang
gubernur Irbil, di Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin
Al-Ayyubi (1138-1193M). Adapula yang berpendapat bahwa idenya sendiri
justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk
membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW., serta meningkatkan
semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang
Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota
Yerusalem.
Fakta yang sesungguhnya
dari kehidupan Rasulullah SAW. menegaskan bahwa tidak ada riwayat yang
menyebutkan beliau pada tiap ulang tahun kelahirannya melakukan ritual
tertentu. Bahkan para shahabat beliau pun tidak pernah kita baca dalam
sejarah pernah mengadakan ihtifal (seremoni) secara khusus setiap tahun untuk
mewujudkan kegembiraan karena memperingati kelahiran Nabi SAW. Bahkan
upacara secara khusus untuk merayakan ritual maulid Nabi SAW. juga tidak
pernah kita dari generasi tabi'in hingga generasi salaf selanjutnya.
Perayaan seperti ini
secara fakta memang tidak pernah diajarkan, tidak pernah dicontohkan dan
juga tidak pernah dianjurkan oleh Rasulullah SAW., para shahabat bahkan
para ulama salaf di masa selanjutnya. Perayaan maulid Nabi SAW. Secara
khusus baru dilakukan di kemudian hari, dan ada banyak versi tentang siapa
yang memulai tradisi ini. Sebagian mengatakan bahwa Shalahuddin Al-Ayyubi
yang mula-mula melakukannya, sebagai reaksi atas perayaan natal umat
Nasrani. Karena saat itu di Palestina, umat Islam dan Nasrani hidup
berdampingan. Sehingga terjadi interaksi yang majemuk dan melahirkan
berbagai pengaruh satu sama lain.
Versi lain menyatakan
bahwa perayaan maulid ini dimulai pada masa dinasti Daulah Fatimiyyah di
Mesir pada akhir abad keempat hijriyah. Hal itu seperti yang ditulis pada
kitab Al-A'yad wa atsaruha alal Muslimin oleh Sulaiman bin Salim As-Suhaimi hal. 285-287:
Disebutkan bahwa para khalifah Bani Fatimiyyah mengadakan
perayaan-perayaan setiap tahunnya, di antaranya adalah perayaan tahun
baru, asyura, maulid Nabi SAW. bahwa termasuk maulid Ali bin Abi Thalib,
maulid Hasan dan Husein serta maulid Fatimah dll.
Versi lainnya lagi
menyebutkan bahwa perayaan maulid dimulai tahun 604 H oleh Malik Mudaffar
Abu Sa'id Kukburi. Hukum Merayakan Maulid
Nabi SAW bagi mereka yang sekarang ini banyak merayakan maulid Nabi SAW,
seringkali mengemukakan dalil. Di antaranya: Mereka berargumentasi dengan apa yang ditulis oleh Imam Al-Suyuti
di dalam kitab beliau, Hawi li al-Fatawa
Syaikhul Islam tentang Maulid
serta Ibn Hajar Al-Asqalani ketika ditanya mengenai perbuatan
menyambut kelahiran Nabi SAW. Beliau telah memberi jawaban secara
bertulis: Adapun perbuatan menyambut maulid merupakan bid'ah yang
tidak pernah diriwayatkan oleh para salafush-shaleh pada 300 tahun
pertama selepas hijrah. Namun perayaan itu penuh
dengan kebaikan dan perkara-perkara yang terpuji, meski tidak jarang
dicacat oleh perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya. Jika sambutan
maulid itu terpelihara dari perkara-perkara yang melanggar syari'ah, maka
tergolong dalam perbuatan bid'ah hasanah. Akan tetapi jika sambutan
tersebut terselip perkara-perkara yang melanggar syari'ah, maka tidak
tergolong di dalam bid'ah hasanah.
Selain pendapat di
atas, mereka juga berargumentasi dengan dalil hadits yang menceritakan
bahwa siksaan Abu Lahab di neraka setiap hari Senin diringankan. Hal itu
karena Abu Lahab ikut bergembira ketika mendengar kelahiran keponakannya,
Nabi Muhammad SAW. Meski dia sediri tidak pernah mau mengakuinya sebagai
Nabi. Bahkan ekspresi kegembiraannya diimplementasikan dengan cara
membebaskan budaknya, Tsuwaibah, yang saat itu memberi kabar kelahiran
Nabi SAW.
Perkara ini dinyatakan
dalam sahih Bukhari dalam kitab Nikah. Bahkan Ibnu Katsir juga
membicarakannya dalam kitabnya SiratunNabi jilid 1 halaman 124. Syamsuddin
Muhammad bin Nasiruddin Ad- Dimasyqi menulis dalam kitabnya Mawrid as-sadi fi Mawlid al-Hadi: "Jika seorang kafir yang memang
dijanjikan tempatnya di neraka dan kekal di dalamnya" (surat Al-Lahab
ayat 111) diringankan siksa kuburnya tiap Senin, apalagi dengan hamba
Allah yang seluruh hidupnya bergembira dan bersyukur dengan kehadiran
Ahmad dan meninggal dengan menyebut "Ahad". Hujjah lainnya yang
juga diajukan oleh para pendukung Maulid Nabi SAW. adalah apa yang mereka
katakan sebagai pujian dari Imam Ibnu Hajar al-'Asqalani.
Menurut mereka, Ibnu
Hajar telah menulis di dalam kitabnya, 'Al-Durar al-Kamina Fi 'ayn al-Mi'at al-Thamina' bahwa Ibnu Kathsir telah menulis sebuah
kitab yang bertajuk maulid Nabi di penghujung hidupnya, "Malam
kelahiran Nabi SAW. merupakan malam yang mulia, utama, dan malam yang
diberkahi, malam yang suci, malam yang menggembirakan bagi kaum mukmin,
malam yang bercahaya-cahaya, terang benderang dan bersinar-sinar dan malam
yang tidak ternilai.
Para pendukung maulid
Nabi SAW. juga melandaskan pendapat mereka di atas hadits bahwa motivasi
Rasulullah SAW. berpuasa hari Senin karena itu adalah hari kelahirannya.
Selain karena hari itu merupakan hari dinaikkannya laporan amal manusia.
Abu Qatadah Al-Ansari meriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW. Ketika ditanya mengapa beliau berpuasa pada hari
Senin, menjawab, "Itulah hari aku dilahirkan dan itulah juga hari aku
diangkat menjadi Rasul. "Hadits ini bisa kita dapat di dalam Sahih
Muslim, kitab as-siyam (puasa) Pendapat yang Menentang. Namun argumentasi
ini dianggap belum bisa dijadikan landasan dasar pensyariatan seremoni
Maulid Nabi SAW.
Misalnya cerita tentang
diringankannya siksa Abu Lahab itu, mereka mengatakan bahwa Abu Lahab yang
diringankan siksanya itu pun hanya sekali saja bergembiranya, yaitu saat
kelahiran. Dia tidak setiap tahun merayakan kelahiran Nabi dengan berbagai
ragam seremoni. Kalau pun kegembiraan Abu Lahab itu melahirkan keringanan
siksanya di neraka tiap hari Senin, bukan berarti orang yang tiap tahun
merayakan lahirnya Nabi SAW. akan mendapatkan keringanan siksa.
Demikian juga dengan
pujian dari Ibnu Katsir, sama sekali tidak bisa dijadiakan landasan
perintah untuk melakukan seremonial khusus di hari itu. Sebab Ibnu Katsir
hanya memuji malam hari di mana Nabi SAW. lahir, namun tidak sampai
memerintahkan penyelenggaraan seremonial. Demikian juga dengan alasan
bahwa Rasulullah SAW. Berpuasa di hari Senin, karena hari itu merupakan
hari kelahirannya. Hujjah ini tidak bisa dipakai, karena yang saat
dilakukan bukan berpuasa, tapi melakukan berbagai macam aktifitas setahun
sekali.
Kalau pun mau berittiba'
pada hadits itu, seharusnya umat Islam memperbanyak puasa sunnah hari
Senin, bukan menyelenggarakan seremoni maulid setahun sekali. Bahkan
mereka yang menentang perayaan maulid Nabi ini mengaitkannya dengan
kebiasaan dari agama sebelum Islam. Di mana umat Yahudi, Nasrani dan agama
syirik lainnya punya kebiasaan ini. Buat kalangan mereka, kebiasaan agama
lain itu haram hukumnya untuk diikuti.
Sebaliknya harus dijauhi. Apalagi Rasulullah SAW. tidak pernah
menganjurkannya atau mencontohkannya.
Dahulu
para penguasa Mesir dan orang-orang Yunani mengadakan perayaan
untuk tuhan-tuhan mereka. Lalu perayaan-perayaan ini di warisi oleh
orangorang Kristen, di antara perayaan-perayaan yang penting bagi
mereka adalah perayaan hari kelahiran Isa al-Masih, mereka menjadikannya
hari raya dan hari libur serta bersenang-senang. Mereka menyalakan
lilin-lilin, membuat makanan-makanan khusus serta mengadakan hal-hal
yang diharamkan. Dan akhirnya, para penentang maulid mengatakan
bahwa semua bentuk perayaan maulid Nabi yang ada sekarang ini adalah
bid'ah yang sesat. Sehingga haram hukumnya bagi umat Islam untuk menyelenggarakannya
atau ikut mensukseskannya.
Jawaban dari Pendukung
Maulid Tentu saja para pendukung maulid Nabi SAW, tidak rela begitu saja
dituduh sebagai pelaku bid'ah. Sebab dalam pandangan mereka, yang namanya
bid'ah itu hanya terbatas pada ibadah mahdhah (formal) saja, bukan dalam
masalah sosial kemasyarakatan atau masalah muamalah.
Adapun seremonial maulid
itu oleh para pendukungnya diletakkan di luar ritual ibadah formal.
Sehingga tidak bisa diukur dengan ukuran bid'ah. Kedudukannya sama dengan
seorang yang menulis buku tentang kisah Nabi SAW. Padahal di masa
Rasulullah SAW, tidak ada perintah atau anjuran untuk membukukan sejarah
kehidupan beliau. Bahkan hingga masa salah berikutnya, belum pernah ada
buku yang khusus ditulis tentang kehidupan beliau.
Lalu kalau sekarang ini
umat Islam memiliki koleksi buku sirah nabawiyah, apakah hal itu mau
dikatakan sebaga bid'ah? Tentu tidak, karena buku itu hanyalah sarana,
bukan bagian dari ritual ibadah. Dan keberadaan buku-buku itu justru akan
membuat umat Islam semakin mengenal sosok beliau.
Bahkan seharusnya umat Islam lebih banyak lagi menulis dan mengkaji
buku-buku itu.
Dalam logika berpikir
pendukung maulid, kira-kira seremonial maulid itu didudukkan pada posisi
seperti buku. Bedanya, sejarah Nabi SAW. tidak ditulis, melainkan
dibacakan, dipelajari, bahkan disampaikan dalam bentuk seni syair tingkat
tinggi. Sehingga bukan melulu untuk konsumsi otak, tetapi juga menjadi
konsumsi hati dan batin. Karena kisah Nabi disampaikan dalam bentuk syair
yang indah. Dan semua itu bukan termasuk wilayah ibadah formal (mahdhah)
melainkan bidang muamalah. Di mana hukum yang berlaku bahwa segala sesuatu asalnya boleh,
kecuali bila ada dalil yang secara langsung melarangnya secara eksplisit.
Kesimpulan sebagai
bagian dari umat Islam, barangkali kita ada di salah satu pihak dari dua
pendapat yang berbeda. Kalau pun kita mendukung salah satunya, tentu saja
bukan pada tempatnya untuk menjadikan perbedaan pandangan ini sebagai
bahan baku saling menjelekkan, saling tuding, saling caci dan saling
menghujat. Perbedaan pandangan tentang hukum merayakan Maulid Nabi SAW., suka atau tidak
suka, memang telah kita warisi dari zaman dulu. Para pendahulu kita sudah
berbeda pendapat sejak masa yang panjang. Sehingga bukan masanya lagi buat
kita untuk meninggalkan banyak kewajiban hanya lantaran masih saja
meributkan peninggalan perbedaan pendapat di masa lalu.
Sementara di masa
sekarang ini, sebagai umat Islam, bukanlah waktu yang tepat bila kita
saling bertarung dengan sesama saudara kita sendiri, hanya lantaran
masalah ini. Sebaliknya, kita justru harus saling membela, menguatkan,
membantu dan mengisi kekurangan masingmasing. Perbedaan pandangan sudah
pasti ada dan tidak akan pernah ada habisnya. Kalau kita terjebak untuk
terus bertikai.
Menurut catatan sejarah,
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. pertama kali diperkenalkan seorang penguasa
Dinasti Fatimiyah. Jauh sebelum Al-Barzanji lahir dan menciptakan
puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Langkah ini secara tidak langsung
dimaksudkan sebagai sebuah penegasan kepada khalayak, bahwa dinasti ini
betul-betul keturunan Nabi Muhammad SAW. Setidaknya ada dimensi politis
dalam kegiatan tersebut.
Selanjutnya peringatan
Maulid menjadi sebuah rutinitas umat Islam di berbagai belahan dunia. Hal
itu terjadi setelah Abu Sa’id al-Kokburi, Gubernur Irbil, Irak,
mempopulerkannya pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi
(1138-1193M). Waktu itu tujuan untuk memperkokoh semangat keagamaan umat
Islam umumnya, khususnya mental para tentara menghadapi serangan tentara
salib dari Eropa, yang ingin merebut tanah suci Jerusalem dari tangan kaum muslimin.
Memuliakan keagungan
pribadi junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. Sudah menjadi ketentuan
syari’at. Menyambut kegembiraan kelahirannya merupakan salah satu pertanda
rasa terima kasih dan syukur kepada Allah SWT. sekaligus merupakan bukti
tentang keikhlasan menerima hidayah Illahi yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Masyarakat muslim di
Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan
perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat Nabi, pembacaan
syair Barzanji dan pengajian. Menurut penanggalan Jawa bulan Rabiul Awal
disebut bulan Mulud, dan acara Muludan juga dirayakan dengan perayaan dan
permainan gamelan Sekaten.
Sebagian masyarakat
muslim Sunni dan Syiah di dunia merayakan Maulid Nabi. Muslim Sunni
merayakannya pada tanggal 12 Rabiul Awal sedangkan muslim Syiah
merayakannya pada tanggal 17 Rabiul Awal, yang juga bertepatan dengan
ulang tahun Imam Syiah yang keenam, yaitu Imam Ja'far ash-Shadiq.
Kaum ulama yang berpaham
Salafiyah dan Wahhabi, umumnya tidak merayakannya karena menganggap
perayaan Maulid Nabi merupakan sebuah Bid'ah, yaitu kegiatan yang bukan
merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW. Mereka berpendapat bahwa kaum muslim
yang merayakannya keliru dalam menafsirkannya sehingga keluar dari
esensi kegiatannya.
Maulid sebagai bagian
dari tradisi keagamaan dapat dilihat dari dua segi, yakni segi historis
dan segi sosial kebudayaan. Dari sudut historis, pada cacatan al Sandubi
dalam karyanya Tarikh al- ikhtilaf fi
al- Maulid al-Nabawi, al-Mu’izz li-Dinillah (341-365/953-975), penguasa dari
Fatimiyah yang pertama menetap di Mesir, adalah orang yang pertama yang
menyelenggarakan perayaan kelahiran Nabi yang tercatat dalam sejarah
Islam. Kemudian kurun-kurun berikutnya tradisi yang semula dirayakan hanya
oleh sekelompok Sya’i ini juga dilaksanakan oleh kaum Sunni, di mana
khalifah Nur al-Din, penguasa Syiria (511-569/1118-1174) adalah penguasa
pertama yang tercatat merayakan Maulid Nabi. Pelaksanaan secara
besar-besaran dilaksanakan untuk pertama kalinya oleh Raja Mudhaffar Abu
Said al Koukburi bin Zaid al-Din Ali bin Baktakin (549-643/1154-1232)
penguasa Irbil 80 km tenggara mosul Iran yakni pada awal abad ke 7/ke 13.
Adapun karya-karya
mengenai maulid tercatat memiliki keterkaitan tarekat adalah al-Barzanji,
yakni yang diadopsi dari tharekat tertua, Qadiriyyah, sedangkan kitab
maulid al-Diba’i tidak memiliki kaitan dengan thariqah.
Namun hampir terdapat
kepastian, bahwa munculnya kitab-kitab Maulid pada abad ke 15M/ ke 9-10H
sebagai ekspresi penggugah semangat kecintaan dan kerinduan pada rasul
terilhami dari budaya sufisme. Tentu saja antara tasawuf dan tarekat
dengan kitab-kitab Maulid Nabi serta, serta tradisi pembacaannya memiliki
garis hubungan spiritual yang menjadi titik tolak bertemunya doktrin tasawuf
dengan isi atau kandungan kitab Maulid tersebut. Antara sufisme dan maulid
itu, dihubungkan dengan doktrin cinta (mahabbah dan al-hubb). Maka
disini, posisi kitab Maulid dengan segala tradisinya menghubungkan
antara pembaca dengan yang dicintai yakni Nabi Muhammad.
Kecintaan kepada Nabi
Muhammad ini dalam tradisi Maulid menjadi inti, sebagai sarana wushuliyyah menuju kecintaan kepada Allah. Sebab di dalamnya terdapat
doktrin tentang Nur Muhammad sebagai pusat dan maksud penciptaan alam
dan manusia.
Belum didapatkan
keterangan yang memuaskan mengenai bagaimana perayaan maulid berikut
pembacaan kitab-kitab maulid masuk ke Indonesia. Namun terdapat indikasi
bahwa orang-orang Arab Yaman yang banyak datang di wilayah ini adalah yang
memperkenalkannya, disamping pendakwah-pendakwah dari Kurdistan. Ini dapat
dilihat dalam kenyataan bahwa sampai saat ini banyak keturunan mereka
maupun syaik-syaikh mereka yang mempertahankan tradisi pembacaan
Maulid. Di samping dua penulis kenamaan Maulid berasal dari Yaman (al-Diba’i) dan
dari Kurdistan (al-Barzanji), yang jelas kedua penulis
tersebut mendasarkan dirinya sebagai keturunan rasulullah, sebagaimana
terlihat dalam kasidah-kasidahnya.
Dapat dipahami bahwa
tradisi keagaman pembacaan Maulid merupakan salah satu sarana penyebaran
Islam di Indonesia, Islam tidak mungkin dapat tersebar dan diterima
masyarakat luas di Indonesia, jika saja proses penyebarannya tidak
melibatkan tradisi keagamaan tradisi keagamaan. Yang jelas terdapat fakta
yang juat bahwa tradisi pembacaan maulid meruapakan salah satu ciri kaum
muslim tradisional di indonesia.
Dan umumnya dilakukan
oleh kalangan sufi. Maka dari segi ini dapat diperoleh kesimpulan
sementara bahwa masuknya Perayaan Maulid berikut pembacaan kitab-kitab
maulid bersamaan dengan proses masuknya Islam ke Indonesia yang dibawa
oleh pendakwah yang umumnya merupakan kaum sufi.
Hal itu dilakukan karena
dasar pandangan ahl al-sunnah wa aljama’ah, corak Islam yang mendominasi
warna Islam Indonesia, lebih fleksibel dan toleran dibanding dengan
kelompok lain. Mempertahankan tradisi menjadi sangat penting maknanya
dalam kehidupan keagamaan mereka, berdasarkan pada kaidah ushuliyah al-muhafadzah li al qadim alshalih, wa al-ahdza min jadid al
ashlah. Inilah kemudian dalam
wacana kilmuan disebut sebagai Islam Tradisional.
Justru karena kemampuan
dalam menyesuaikan ajaran Islam dengan tradisi yang telah mengakar dalam
masyarakat inilah, maka kelompok tradisional Islam berhasil menggalang
simpati dari berbagai pihak yang menjadi kekuatan pedukung. Rozikin Daman
memandang bahwa hal inilah yang mendorong timbulnya kelompok
tradisionalisme dan sekaligus menjadi salah atu faktor pendorong bagi
tumbuhnya gerakan tradisionalisme Islam.
Salah satu sarana
efektif penggalangan simpati tersebut adalah pelestarian tradisi keagamaan
yang populer dimasyarakat, termasuk yang paling penting didalamya adalah
peringatan maulid serta pembacaan kitabkitab maulid, yang umumnya lebih
dikenal sebagi diba’an atau berjanjen. Ada beberapa faktor pendukung yang
menyebabkan kitab-kitab Maulid sangat populer di Indonesia, serta
menjadikannya sebagai tradisi ritual keagamaan, antara lain:
- Kenyataan sejarah bahwa proses penyebaran Islam di
Indonesia dimotori oleh Islam Sufistik.
- Kecenderungan masyarakat pada Islam sufistik, khususnya
tharekat, dimana tharekat memeng memiliki tradisi penghormatan terhadap
rasulullah, wali, syaikh/guru, yang salah satunya adalah pembacaan riwayat
hidup, yang bentuknya ada pada buku-buku maulid dan manaqib.
- Nilai sastra dalam kitab–kitab al-maulid, maupun syair-
syair yang memiliki pengaruh psikologis kuat, terhadap parapembacanya
apalagi yang tahu tentang maknanya.
- Kecenderungan masyarakat (tradisional) pada tradisi
mistik, dimana nilai, nilai tentang syafaat, tawasul, tabaruk, tabarruj sangat lekat dengan corak keagamaan.
Rujukan:
- Sirajudin Abbas, 40 Masalah Agama 2, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004),
- Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Libanon: Darul Fikr, t.th.)
- Hammad Abu Muawiyah As-Salafi, Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi (PKG goa-Sulawesi Selatan: Al Maktabah al-Atsariyah Ma’had Tanwir as-Sunnah, 2007)
- Rozikin Daman, Membidik NU Dilema Percaturan Politik Nu Pasca Khittah, Yogyakarta : Gama Media, 2001).
- Al-Hamid al-Husaini, Sekitar Maulid Nabi Muhammad SAW dan Dasar Hukum Syari’atnya, (Semarang: Toha Putra, 1987)
- Nico Kaptein, Perayaan hari sejarah lahir nabi Muhammad SAW, Asal usul sampai abad ke 10/16, terj Lillian D. Tedjasudhana, INIS, Jakarta 1994, hal 10/ ke – 16 terjemah lilian D. Tedjasudhana, INIS, Jakarta 1994,
- Macahasin , Dibaan / Barjanjen dan identitas keagamaan umat, dalam jurnal Theologia, Fak Ushuluddin IAIN Walisongo, vol 12, no 1 Pebruari, 2001,
- Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik Pengalaman Keagamaan Jamaah Maulid al-Diba’ Girikusumo, (Semarang: Pustaka Pelajar, 2003.
- Abd Rahman al-Diba’i, Maulid al-Diba’i, dalam al-Mawlid Wa Ad’iyyah, tt, Surabaya,
- Muhammad Nafis al Banjari, Durr al- Nafs, Singapura , 1928.