Golput dan Demokrasi
Wednesday, 4 January 2017
SUDUT HUKUM | Golput (non-voting behaviour)
dipahami sebagai bentuk partisipasi politik warga negara yang muncul
karena beragam latar belakang. Memilih adalah hak (right) politik
warga negara yang by its nature mengandung arti legal or moral
entitlement (authority
to act), yang mengandung kebebasan pemilik hak itu untuk menggunakan
atau tidak menggunakannya. Karena esensi filosofis inilah maka
demokrasi memberi ruang bagi pilihan untuk golput secara setara dengan
pilihan untuk memilih.
Golput diberi ruang dalam
demokrasi, guna meluruskan demokrasi, meluruskan politik dan
pemerintahan yang korup melalui gerakan moral. Bagi kalangan pendukung golput, golput
diancangkan sebagai gerakan check and balances yang dalam
demokrasi dibutuhkan.
Disisi
lain, eskalasi golput juga sangat menghawatirkan perkembangan
demokrasi yang berkualitas karena merosotnya kredibilitas kinerja
partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik. Kehawatiran
ini juga dikemukan Anthony Giddens “haruskah kita menerima lembaga-lembaga
demokrasi tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang marak”.
Demokrasi identik dengan
kebebasan dan partisipasi dari semua kekuatan demokrasi. Kekuatan
demokrasi dimaksud di dalamnya termasuk masyarkat, selain juga partai
politik dan organisasi masyarkat. Partisipasi politik yang meluas merupakan
ciri dari modernisasi politik. Sikap dan persepsi bagian penting dari
pesta demokrasi. Maka tingginya angka golput menandakan sistem politik dan
sistem pemilu yang sedang dijalankan belum berada dalam ruang demokrasi
sesungguhnya.
Huntington dan Nelson memaknai partisipasi politik
sebagai:
Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi biasa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Dengan demikian, partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan politik lain (golput) yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan politik oleh pemerintah. Partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya. Sementara Budiardjo memaknai partisipasi politik sebagai: Kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan Pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau dengan anggota parlemen, dan sebagainya”.
Merujuk pemikiran politik
tersebut dalam konteks sejarah penyelenggaraan pemilihan umum
sebagai pesta demokrasi, secara empirik dapat dicermati tingkat
partisipasi politik dan perkembangan golput di
Indonesia.
Tingginya partisipasi rakyat pada
penyelenggaraan pemilu masa Orde Baru bukan berdasarkan apa yang
dikatakan Budiharjo sebagai kesukarelaan, melainkan mobilisasi massa yang
sengaja digerakkan. Maka partisipasi demikian merupakan partisipasi
semu, partisipasi yang didasarkan pada harmonisasi dan suatu waktu akan
menjadi ledakan emosi seperti lahirnya gelombang golput dii era
reformasi.
Penilaian Hantington dapat menjelaskan dengan cermat tentang hal
tersebut yang menyatakan:
Beberapa studi secara eksplisit tidak menganggap tindakan yang dimobilisasikan atau yang dimanipulasikan sebagai partisipasi politik, yaitu lebih menekankan sifat sukarela dari partisipasi dengan argumentasi bahwa menjadi anggota organisasi atau menghadiri rapat-rapat umum atas perintah pemerintah tidak termasuk partisipasi politik”.
Lebih lanju Hantington membedakan
partisipasi politik ke dalam dua karakter, yaitu:
- Partisipasi yang demokratis dan otonom adalah bentuk partisipasi politik yang sukarela;
- Partisipasi yang dimanipulasi, diarahkan, dan disponsori oleh pemerintah adalah bentuk partisipasi yang dimobilisasikan.
Oleh karenanya, tingginya angka
golput dapatlah dirumuskan bagian dari kesadaran perilaku politik.
Dalam tahapan demokrasi elektoral atau demokrasi prosedural, golput
adalah manifestasi politik, dimana rakyat tidak berpartisipasi politik
(menggunakan hak pilihnya) secara sukarela dalam pemilihan umum sebagai pesta
demokrasi. Secara faktual fenomena golput tidak hanya terjadi di negara demokrasi
yang sedang berkembang, di negara yang sudah maju dalam
berdemokrasipun juga menghadapi fenomena golput, seperti di Amerika Serikat yang
capaian angka partisipasi politik pemilihnya berkisar antara 50% s/d 60%,
begitu pula di Perancis dan Belanda yang angka capaian partisipasi politik
pemilihnya berkisar 86%.
Karenanya fenomena Golput menjadi
pembelajaran bagi partai politik dan penguasa untuk meningkatkan
kinerjanya sebagai mesin kerja demokrasi yang efektif dan memiliki
komitmen yang kuat, mewujudkan good public governance. Ketidakmampuan partai
politik dan pemerintah menampilkan kinerja tersebut, maka fenomena
Golput akan mengkristal menjadi faktor internal demokrasi yang potensial
menimbulkan pembusukan demokrasi atau pembusukan politik (Political
Decay), sehingga akan berimplikasi melumpuhkan demokrasi, dimana
partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik dalam
demokrasi secara moral ikut bertanggungjawab.
Kiranya perlu mendapatkan
apresiasi dan solusi oleh para aktor-aktor pemerintahan (penyelenggara
negara) agar pesta demokrasi lebih efisien dan berkualitas secara sistemik, baik
dalam tataran input, process, dan output, dan malah bukan bersifat kontra
produktif dalam berdemokrasi.
Sebab bagaimanapun juga golput
merupakan bagian dari indikator keberhasilan pemilu yang
demokratis. Artinya kehadiran golput justru mendorong peningkatan kualitas
proses dan bangunan demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, golput dapat
diletakkan bagian dari gerakan sosial yang menghendaki adanya perubahan
sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.
Salah satu pendekatan teori-teori
ilmu sosial yang justru melihat gerakan sosial sebagai “fenomena
positif”, atau sebagai sarana konstruktif bagi perubahan sosial.
Pendekatan ini merupakan
alternatif terhadap fungsionalisme, pendekatan sosail
semacam ini selanjutnya dikenal dengan “teori konflik”. Teori konflik
pada dasarnya mengunakan tiga asumsi dasar, yaitu:
- Rakyat dianggap sebagai sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan berusaha secara keras untuk memenuhinya,
- Kekuasaanadalah inti dari struktur sosial dan hal ini melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya, dan
- Nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing, dari pada sebagai alat mempertahankan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat.
Pada dasarnya, gerakan sosial
senantiasa berkaitan dengan perubahan menuju suatu arah yang dianggap
ideal oleh para penggeraknya. Dengan bahasa lain, gerakan sosial dan
perubahan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Asal usul gerakan sosial dapat
ditelusuri dari reaksi para pemikir Perancis. Sebut saja tokoh
seperti Marx dan Engels, Gramsci serta Lenin untuk mewakili gerakan ini.