Pengertian dan Pihak-Pihak dalam Perjanjian Kredit
Thursday, 5 January 2017
SUDUT HUKUM | Kata kredit berasal dari bahasa
Latin, yaitu credo yang berarti saya percaya. Credo merupakan
kombinasi dari bahasa Sanskerta, yaitu cred yang artinya kepercayaan dan
bahasa Latin, yaitu do yang artinya saya tempatkan. Memperoleh kredit
berarti memperoleh kepercayaan. Berdasarkan kepercayaan kepada seseorang yang
memerlukannya maka diberikan uang, barang, atau jasa dengan syarat membayar
kembali atau memberikan penggantinya dalam suatu jangka waktu yang telah
diperjanjikan. Dalam kehidupan sehari-hari, kredit diartikan sebagai pinjaman
atau utang.[1]
Pengertian kredit dalam Pasal 1
Angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka tertentu dengan pemberian
bunga. Pengertian kredit tersebut tercantum kata-kata persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam. Kata-kata tersebut menegaskan bahwa hubungan
kredit adalah hubungan kontraktual (hubungan yang berdasar pada
perjanjian) yang berbentuk pinjam meminjam. Perjanjian kredit sendiri mengacu
pada perjanjian pinjam meminjam.[2]
Menurut Pasal 1754 KUH Perdata, yang
dimaksud perjanjian pinjam meminjam adalah suatu perjanjian yang menentukan pihak
pertama menyerahkan sejumlah barang kepada pihak kedua dengan syarat bahwa
pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama
dalam jumlah dan keadaan yang sama.
Adapun pihak-pihak dalam
perjanjian kredit antara lain:
- Pihak pemberi kredit atau kreditor, yaitu bank atau lembaga pembiayaan lain selain bank;
- Pihak penerima kredit atau debitor, yaitu pihak yang bertindak sebagai subjek hukum. Pada dasarnya subjek hukum terdiri dari manusia (person) dan/atau badan hukum (rechtpersoon), misalnya Perseroan Terbatas (PT).[3]
Pasal 1340 KUH Perdata menyatakan
tentang ruang lingkup berlakunya perjanjian, yaitu hanya berlaku terbatas bagi
pihak-pihak yang membuat perjanjian itu saja. Jadi, pihak ketiga (pihak di luar
perjanjian) tidak dapat ikut menuntut suatu hak berdasarkan perjanjian itu. Pasal
1317 KUH Perdata memperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu
perjanjian bagi kepentingan seseorang (pihak ketiga) jika perjanjian tersebut memuat
ketentuan seperti itu.[4]
Rujukan:
[1] Iswi Hariyani, 2010, Restrukturisasi
& Penghapusan Kredit Macet, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, hlm. 9.
[2] Ibid.
[3]
Ibid., hlm. 134.
[4] Ibid., hlm. 17.